Mohon tunggu...
Fatih Alfali
Fatih Alfali Mohon Tunggu... -

college student, fat, curly and 18 :-)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pelangi

10 Januari 2011   18:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah kereta, melaju kencang menuju kota impian, ya kota impian sebuah anak kecil yang pergi bersama ayahnya. Mereka berdua hanyut dalam suasana menggembirakan perjalanan menuju kota impian tersebut, sang anak bertanya, "ayah, bisa kah nanti aku menggapai pelangi?", lalu dengan bijak sang ayah menjawab, "tentu, suatu saat nanti engkau dapat menggapai pelangi nan indah disana", sekejap, sang anak tersenyum lebar mendengar jawaban ayahnya. Waktu saat itu menunjukkan pukul 5 sore, saat sang matahari bersiap untuk kembali bersembunyi dari malam. Cahaya jingga berkilau menusuk setiap jendela kereta dengan indahnya. Perjalanan mereka terus berlanjut hingga sampai pada tujuannya, ya mereka sampai di kota impian sang anak kecil. Mereka bergegas keluar dari stasiun untuk mencari kendaraan berikutnya. Sang anak pun kembali bertanya, "ayah, apakah nanti aku akan bersama ayah saat aku mencapai pelangi?", dengan senyuman bijak sang ayah menjawab,"tidak anakku, kelak nanti saat engkau mencapai pelangi, dirimu hanya sendiri, menuju kebahagiaan", mendengar kata tersebut, sang anak marah dan menangis seraya memeluk ayahnya, ia terus berbicara dan memohon ayahnya untuk menemaninya saat menggapai pelangi. Tujuh belas tahun kemudian, sang anak tumbuh menjadi seorang yang dewasa, ia pun mendapatkan kehidupan yang baik, kehidupan yang didambakan setiap orang. Suatu hari, ia pergi kembali ke kota impiannya sewaktu kecil, namun ia pergi sendiri, tanpa seorang ayah. Kakinya pun telah menginjak tanah kota impian tersebut, menatap setiap jarak yang ia pernah lalui, yang ia ingat sebagai kisah yang akan selalu menjadi pijakkannya. Berhenti pada sebuah tempat yang indah, penuh dengan pohon serta rerumputan hijau. Berlutut lah ia di hadapan sebuah gundukan tanah yang terhiasi rapi oleh rumput dan berbagai macam warna bunga. "Ayah, kini aku mengerti mengapa aku tidak bisa menggapai pelangi itu denganmu, aku mengerti mengapa aku harus sendiri menggapai pelangi itu", ia pun menaruh sekuntum bunga dan menaburkan wewangian yang membuat tanah itu harum nan menyejukkan. "Ayah, aku akan terus menjaga agar pelangi itu tetap indah, tetap indah seperti kasihmu kepada seorang anak". Ia pun melangkahkan kakinya pergi dari tanah itu, setiap langkah kakinya terus berderap dengan senyuman, senyuman seorang anak yang telah tumbuh menjadi dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun