Kutulis sekisah senja dan rinai. Mereka menggelayut mesra di atas rindu. Kombinasi yang epik teruntuk para penyair. Menghukum aksara-aksara nakal yang tak mau menjalin cerita pada luka. Puisi!!
Senja tak sengaja menemukan pemuda di pojok taman. Meringkuk, tetesan darah disekitarnya. Bahasa tubuhnya berisyarat ia baru saja dibunuh. Digoyang-goyang tangannya tanpa respon. Tubuhnya dingin. Dengar, hatinya masih mendesah pelan. Semakin pelan dan pelan dan pelan.
Rinai merintik menurunkan hujan. Berharap pemuda itu masih selamat. Desertai debu yang menutup rindu. Kondisi kian pilu. Semakin terseok-seok, matanya mulai membuka. Rinai hanya ingin mendengar sebab ia tergeletak.
Senja datang, menghardik rinai.
Membiarkan ia mati adalah pilihan terbaik. Perihal hatinya cukup olesi dengan air matanya. InshaAllah sembuh.
Rinai menentang, ini soal manusia. Mengatasnamakan ketegaan dan sedikit welas. Cinta tak dikodratkan mati seperti ini.
Sore itu, ribuan puisi kabur dari sangkarnya. Mengorbit si empunya. Tepat diatas pemuda, mereka duduk bergerombol. Menyanyi alunan musik tanpa syair.
Duuu naaa naaa naaa duu duuu
Senja mengadu pada gemuruh soal perilaku rinai. Langit seketika gelap mendung.
Rinai mengadu pada jingga soal perilaku senja. Langit seketika menyala terang.
Bagian utara gelap gulita,
Bagian selatan terang benderang,
Si pemuda bangkit
Menyeduh kopi panas
Lalu, menyeburkan diri ke dalam kopi
Sedetik kemudian
Ia mengambang
Mati? Mungkin
Surabaya, 17 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H