Di Kota Para Wali 1
Di kota inilah, kita akan bertemu sebagai angin yang saling bertukar siul, berteduh di antara daun-daun pohon cemara yang masih menyimpan hujan; tangan-tangan Tuhan penuh kasih sayang. Kadangkala kita akan menjadi kabar tentang negeri kemarau. Mantra-mantra pun berlesatan bersama peluh debu-debu, menggarami mata kita yang kehilangan gelombang.Â
Pada masjid itu, kita sama-sama menuju.
Menuju pernikahan doa-doa sebelum memulai kembara.
Ingin aku terjerat dalam toanya, menghantarkan jampi pelepas tenung pada tengkorak mereka, pada mata mereka, pada telinga mereka, pada hati mereka, pada sawah mereka, pada rumah mereka, pada istri mereka, pada burung mereka,
'pada, pada, pada',
Pada diriku jua
Dari masjid itu, kita akan berlari
Mengetuki pintu yang tertutup, terkunci, terborgol; terpenjara.
Menanyakan; berkenankah kau jadikan aku sebagai musim di hatimu.
Sumenep, 20
21
Di Kota Para Wali 2
Di kota ini, nenekku lahir sebagai sajak-sajak baru yang hilang ingatan.
Setelah gelombang menerjang, cahaya menyiram, hujan menangis; meretakkan tebing batu.
Nenekku adalah ihwal kembara yang selalu menafsir angin dan cerita.
Dari pori-porinya berloncatanlah aji-aji; jembatan soal yang menyusun doa di atas jurang.
Di kota ini, nenekku temukan rayuan angin
Ialah dzikir yang berkumandang, menakar pahala
Menghancurkan tangga buntung para brahmana.
Dari kota ini, nenekku melayari waktu yang gemetar, meraba jalan pulang, lalu sebelum berpulang, lahirlah ari-ari iman dari rahim mendungnya.
Dari mendungnya lahirlah hujan, dari hujan lahirlah tangisan, dari tangisan lahirlah benih angin; benih angin adalah yang berdesir di hatiku.
Ibarat nenekku yang melahap mantra-mantra di kota ini, aku mengais doa-doa paling purba yang berserakan, yang sebentar lagi akan hilang.