Islam di Nusantara memiliki sejarah yang kaya dan kompleks, dipenuhi dengan berbagai tokoh yang berperan penting dalam perkembangan pemikiran dan praktik keagamaan. Salah satu tokoh yang menonjol dalam gerakan pembaruan Islam di wilayah ini adalah Nur Al-Din Al-Raniri. Lahir di Ranir, Gujarat, Al-Raniri membawa angin segar dalam pemikiran Islam di Aceh dan sekitarnya pada abad ke-17. Melalui karyanya dan pengaruhnya, ia tidak hanya memperkuat ajaran Islam tetapi juga membentuk identitas religius masyarakat Melayu-Indonesia.
Latar Belakang Sejarah
Sebelum kedatangan Al-Raniri, wilayah Melayu-Indonesia telah dipengaruhi oleh pemikiran dua ulama besar: Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Samatrani. Keduanya dikenal sebagai pendukung ajaran mistiko-filosofis wahdah al-wujud, yang menganggap setiap aspek alam sebagai manifestasi Tuhan. Konsep ini, meskipun menarik, juga menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk Al-Raniri.Â
Pada masa itu, pemikiran mistik mendominasi di Aceh dan wilayah sekitarnya, di mana ajaran sufi sering kali disalahartikan. Hal ini menciptakan kebutuhan akan pembaruan dan penegasan kembali nilai-nilai Islam yang murni. Al-Raniri muncul sebagai jawaban atas tantangan tersebut, bertekad untuk membawa kembali pemahaman yang lebih ortodoks dan sesuai dengan ajaran syariat.
Al-Raniri: Ulama Pembaru
Al-Raniri memulai kariernya di Aceh setelah menunaikan ibadah haji. Ia diangkat sebagai Syekh al-Islam pada tahun 1637, sebuah posisi yang memberinya kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran keagamaan di kesultanan tersebut. Dalam pandangannya, Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman yang ada pada doktrin sufi. Ia merasa perlu untuk meluruskan ajaran yang dianggap menyimpang dari substansi dan prinsip dasar Islam.
Selama tujuh tahun di Aceh, Al-Raniri menjadi penulis produktif. Karya-karyanya mencakup berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk fikih, tasawuf, dan kalam. Ia menulis untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip syariat dan mengkritik ajaran-ajaran yang dianggapnya menyimpang. Dalam beberapa karyanya, ia bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan penanggulangan ajaran yang dianggap sesat, termasuk tindakan drastis seperti pembakaran buku-buku yang berisi ajaran tersebut. Ini menunjukkan komitmennya untuk menegakkan ajaran Islam yang ortodoks.
Al-Raniri tidak hanya seorang penulis, tetapi juga seorang pengajar yang berpengaruh. Melalui pengajaran dan tulisannya, ia berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk kalangan elite politik di Aceh. Dalam posisinya sebagai Syekh al-Islam, ia memiliki pengaruh yang signifikan dalam kebijakan keagamaan dan sosial di kesultanan.
Jaringan Ulama dan Pengaruhnya
Al-Raniri tidak berdiri sendiri dalam perjuangannya. Ia merupakan bagian dari jaringan ulama yang lebih luas, yang mencakup banyak tokoh dari Hadhramaut dan Gujarat. Jaringan ini sangat penting dalam menjaga kesinambungan pemikiran Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran baru ke Nusantara. Melalui hubungan ini, gagasan-gagasan keagamaan dari Timur Tengah dapat mengalir masuk ke Nusantara dan beradaptasi dengan konteks lokal.
Salah satu gurunya, Abu Hafs 'Umar bin 'Abd Allah Ba Syayban al-Tarimi, juga berperan penting dalam menyebarkan tarekat dan pemikiran keagamaan di kawasan ini. Ba Syayban dikenal sebagai salah satu tokoh yang memperkenalkan Tarekat Rifa'iyah, yang kemudian diadopsi oleh Al-Raniri. Dengan adanya hubungan ini, Al-Raniri dapat mengakses sumber-sumber pengetahuan Islam yang lebih luas, yang membantunya dalam merumuskan pemikiran dan ajarannya.
Di samping itu, Al-Raniri juga menjalin hubungan dengan banyak ulama lokal dan internasional. Kontak ini memperkaya pemahaman dan pengetahuannya tentang berbagai aspek ajaran Islam. Dalam konteks ini, Al-Raniri dapat dianggap sebagai jembatan antara tradisi keilmuan Timur Tengah dan masyarakat Melayu-Indonesia.
Warisan dan Dampak
Meskipun Al-Raniri menghadapi banyak tantangan, termasuk kontroversi dengan pendatang baru yang membawa ajaran berbeda, pengaruhnya tetap kuat dalam sejarah Islam di Nusantara. Ia meninggalkan warisan pemikiran yang terus menginspirasi generasi berikutnya untuk menegakkan ajaran Islam yang lebih murni. Kembali ke Ranir pada tahun 1644 menandakan akhir dari periode kepemimpinannya di Aceh, tetapi karya-karyanya tetap menjadi rujukan penting dalam studi Islam di Nusantara.
Warisan Al-Raniri tidak hanya terlihat dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam pengaruhnya terhadap masyarakat. Ia berkontribusi dalam membentuk identitas religius masyarakat Melayu-Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi berbagai tradisi dan praktik keagamaan yang khas. Melalui ajarannya, ia mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H