Di samping itu, Al-Raniri juga menjalin hubungan dengan banyak ulama lokal dan internasional. Kontak ini memperkaya pemahaman dan pengetahuannya tentang berbagai aspek ajaran Islam. Dalam konteks ini, Al-Raniri dapat dianggap sebagai jembatan antara tradisi keilmuan Timur Tengah dan masyarakat Melayu-Indonesia.
Warisan dan Dampak
Meskipun Al-Raniri menghadapi banyak tantangan, termasuk kontroversi dengan pendatang baru yang membawa ajaran berbeda, pengaruhnya tetap kuat dalam sejarah Islam di Nusantara. Ia meninggalkan warisan pemikiran yang terus menginspirasi generasi berikutnya untuk menegakkan ajaran Islam yang lebih murni. Kembali ke Ranir pada tahun 1644 menandakan akhir dari periode kepemimpinannya di Aceh, tetapi karya-karyanya tetap menjadi rujukan penting dalam studi Islam di Nusantara.
Warisan Al-Raniri tidak hanya terlihat dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam pengaruhnya terhadap masyarakat. Ia berkontribusi dalam membentuk identitas religius masyarakat Melayu-Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi berbagai tradisi dan praktik keagamaan yang khas. Melalui ajarannya, ia mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H