Aktivitas dalam Intel Education Visionaries (Sumber: Intel)Perkenalan saya dengan Intel dalam bidang pendidikan dimulai tahun 2010 saat kami diundang sebagai peserta workshop e-learning bagi guru TIK oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam salah satu sesi diperkenalkan tentang “Intel Teach : Getting Started “, dalam sesi ini kami diberikan penjelasan dan pengenalan tentang kontribusi Intel dalam dunia pendidikan serta pembelajaran berbasis proyek.
Pada bulan Agustus tahun 2014, melalui rekomendasi bapak Budi Prasetya (Senior Trainer Intel), kami di undang untuk mengikuti pelatihan “Indonesia Digital Learning” (IDL) yang diselenggarakan kerjasama Intel, PGRI, PT. Telkom dengan Direktorat Pembinaan SMA Kemdikbud mewakili Kalimantan Timur. Dalam kegiatan tersebut kami dipersiapkan oleh para trainer untuk dapat menjadi trainer di daerah (ToT) guna pengimbasan program Intel Teach : Easy Step dan Intel Teach : Essensial Course.
Selanjutnya kami mendapat tugas untuk pengimbasan IDL mulai 9 September 2014 di Kota Samarinda hingga saat ini telah melatih lebih dari 1000 guru di Indonesia baik direct maupun indirect, khususnya guru-guru yang ada di kota Samarinda. Kegiatan IDL ini sendiri dilangsungkan secara serentak di 61 titik/witel telkom seluruh Indonesia sejak 1 September dan berakhir secara nasional pada 30 Oktober 2014 (tahap awal).[caption caption="IntelVisonaries"]
Untuk materi Intel Teach : Easy Step, peserta/guru akan diajarkan bagaimana membuka dan membuat sebuah usaha baik di bidang industri rumah tangga maupun bidang jasa atau layanan. Mereka diajarkan bagaimana memulai sebuah usaha dari membuat mind map atau peta konsep atas usaha yang akan didirikan, perencanaan usaha, membuat analisis usaha, business plan, rencana pemasaran, logo/merk atau brand, kartu nama, browser, fans page jejaring social, website dan form feedback dari pelanggan, semua itu dilakukan berbantuan TIK.
Dalam bahasa kurikulum 2013 materi Easy Step ini merupakan contoh pembelajaran berbasis proyek yang dilaksanakan dari sisi peserta didik (siswa), sedangkan materi Essential Course merupakan contoh perencanaan pembelajaran dari sisi tenaga pendidik (guru). Dalam pelatihan ini peserta atau guru diajarkan merencanakan pembelajaran berbasis proyek sampai dengan pelaksanaanya terhadap peserta didik hingga penilaian yang dilakukan.
Selama pelatihan peserta atau guru diajarkan bagaimana membagi siswa kedalam kelompok dengan cepat berbatuan TIK, diajarkan pula bagaimana melakukan diskusi dan kolaborasi online dengan praktis, efektif, menarik dan menantang partisipasi aktif peserta serta diajarkan pula bagaimana membuat form feedback dan materi dasar lainnya.
Aplikasi diskusi dan kolaborasi yang digunakan dalam kegiatan ini dimanfaatkan pula untuk merubah mainset peserta mengenai teknologi pembelajaran, penugasan dan pengiriman tugas peserta didik berbantuan TIK, tidak hanya sampai disitu saja, peserta juga diajarkan hingga penilaian peserta didik.
Dalam implementasi kurikulum 2013 banyak guru dan sekolah masih terkendala dalam masalah penugasan dan penilaian, dalam kegiatan ini peserta diajarkan pula dari produk hilir penilaian yakni LCK/Raport hingga produk hulunya yakni instrument penilaiannya. Kendala dalam penilaian otentik pun dapat teratasi dalam kegiatan ini, dimana peserta diajarkan teknik merancang penilaian hingga implementasinya di kelas. Bagaimana merancang dan menghasilkan penilaian Keterampilan yang terdiri dari nilai praktek, nilai proyek, nilai produk dan nilai portfolio, selain itu juga merancang penilaian sikap yang terdiri dari observasi, penilaian diri dan penilaian antar peserta didik serta jurnal. Semua dirancang dengan sangat mudah karena berbantuan TIK.
Ketika model pembelajaran berbasis proyek sudah menjadi pilihan utama bagi para pendidik, maka semua jenis penilaian yang dituntut dalam kurikulum 2013 akan mudah diimplementasikan di kelas. Yang lebih penting lagi adalah perubahan maindset para pendidik dalam proses pembelajaran dimana guru akan lebih difahamkan mengenai Konsep, Fakta, Prinsip dan Prosedur dalam pembelajaran berbasis proyek sehingga akan membuat peserta didik menjadi “belajar” sebagai bentuk output dari sebuah pembelajaran.
Mengingat begitu bermanfaatnya program Indonesia Digital Learning yang mengajak dan membawa pembelajaran kearah pencapaian kecakapan abad 21 yang digagas oleh Intel ini maka kami beserta teman-teman melalui AGTIFINDO melakukan desiminasi mengenai program ini ke berbagai daerah baik secara offline/onsite maupun dengan model blended learning seperti di Samarinda, Jakarta, Yogayakarta dan Ambon melalui pengurus-pengurus AGTIFINDO yang ada di daerah sebagai bentuk peningkatan kompetensi guru-guru TIK sekaligus kesiapan guru-guru TIK dalam menghadapi implementasi kurikulum 2013 dimana TIK sebagi layanan dan kurikulum 2006 dimana TIK sebagai mata pelajaran. Selanjutnya AGTIFINDO melalui portal http://belajar.agtifindo.org masih terus melatih guru-guru secara online untuk Indoensia Digital Learning (IDL) tersebut dan materi-materi lainnya.
Hasil dari kegiatan ini sangatlah baik terbukti dari respond an tanggapan bapak/ibu guru pasca kegiatan IDL yang dilakukan, mereka mengatakan bahwa IDL benar-benar merupakan pelatihan sesungguhnya yang diperlukan oleh guru-guru saat ini. Kendala yang tersisa hanyalah bagaimana agar pimpinan sekolah dan dinas pendidikan dapat terus mendorong agar mindset yang sudah mulai berubah dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan sehingga guru-guru benar-benar menjadi tenaga pendidik professional.
Selanjutnya kami terpilih mewakili Indonesia dalam kegiatan “Intel Education Visionaries Program and Kick-off” yang dilaksanakan di markas Intel di Santa Clara, California dan San Francisco pada tanggal 11 - 15 Oktober 2015. Kegiatan yang berlangsung selama empat hari tersebut sangat menarik dan interaktif memberikan kesempatan bagi para visioner di seluruh dunia untuk berkolaborasi, belajar sesuatu yang baru dan terinspirasi oleh siswa, pendidik lain dan para pengembang aplikasi di bidang pendidikan.
Menurut Liz Crawford, Lead Educator Advocate Intel® Education, kami terpilih karena dianggap memiliki kemampuan untuk dapat mengubah kelas, sekolah dan dapat mewarnai wajah pendidikan di Indonesia secara lebih luas. Penggunaan dan pemanfaatan teknologi dengan cara-cara baru dan inovatif, melaksanakan ide dan gagasan dalam bentuk kegiatan dan selalu berupaya menempatkan keberhasilan peserta didik sebagai tujuan akhirnya. Termasuk pula mengispirasi para pendidik dan pembuat kebijakan tentang betapa pentingnya penguasaan teknologi dalam pendidikan, berbagi ide dan pengalaman dalam pendidikan dan pembelajaran, membawa ide-ide dan kesempatan untuk guru dan siswa agar dapat memasuki dunia global serta membantu Intel Education untuk membentuk masa depan teknologi pendidikan di Indonesia.
Keberangkatan ke Amerika Serikat (USA) ternyata tidaklah mudah seperti halnya ketika kami mengikuti studi banding ke Malaysia atau Singapura, kendala awal yang kami hadapi adalah saat pengurusan Visa dimana kami harus melakukan dua kali pengajuan Visa baru disetujui. Namun demikian nasib kami sedikit lebih beruntung dibanding rekan kami bapak Made Mahendra dari Bali dimana telah mengajukan Visa sebanyak dua kali dan ditolak kedua-duanya, sehingga dari dua orang perwakilan Indonesia hanya tersisa kami sendiri. Untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada Mrs. Liz Crawford (Intel Headquarter California) dan ibu Widyasari Listyowulan (Corporate Affairs Manager - Intel Indonesia) yang telah memberikan rekomendasi khusus ke kedutaan Amerika Serikat untuk pengurusan Visa di Jakarta termasuk bantuan pembiayaan pengurusan Visa tersebut.
Meski sebelumnya saya sudah pernah ke Malaysia dan Singapura, namun pengalaman ke Amerika merupakan pengalaman pertama dan sangat berbeda karena ini kali pertama saya menaiki pesawat Jumbo sejenis Boeing 777-200. Perjalanan sampai tiba di Hotel Hilton - Santa merupakan perjalanan traveling terpanjang yang pernah saya alami, berangkat dari Samarinda tanggal 10 Oktober pukul 07.00 pagi menggunakan mobil carteran dan tiba di Balikpapan pukul 09.30 kemudian boarding pukul 10.20 menggunakan Silk Air menuju Singapura, setelah transit di Singapura selama 4 jam kemudian melanjutkan penerbangan menggunakan Singapore Airline menuju San Francisco dengan terlebih dahulu transit di Hongkong sekitar 1,5 jam.
Sesampainya di San Francisco dan membuat hati sedikit nearvous ketika melewati Imigrasi Amerika, ini kali pertama saya harus lepas sepatu dan ikat pinggang untuk melintasi sebuah negara, benar - benar pengalaman ini saya alami sendiri dan hanya sendiri mulai dari pengurusan Visa hingga kembali ke tanah air. Dari San Francisco saya masih harus menempuh jalur darat ke kota Santa Clara dimana kegiatan akan dibuka. Ketika saya tiba di hotel saya mencoba melihat jam tangan saya dan mencoba menghitung waktu perjalanan yang saya tempuh dari Samarinda ke Santa Clara hampir 31 Jam, namun karena selisih waktu antara Indonesia dengan Amerika sekitar 12 jam lebih lambat maka saya tiba di Amerika saat itu masih ditanggal yang sama yakni 10 Oktober 2015 pukul 23.00.
Sebuah acara Welcome Dinner yang diselenggarakan oleh Intel Education Lead Educator Advocate Liz Crawford dilaksanakan di Hilton Santa Clara Coastal Ballroom pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 18.00 hingga selesai. Para Visioner disambut oleh Intel Education Curriculum Designers dari seluruh dunia dan John Galvin (The General Manager of Intel Education). Jumlah peserta (visionaries/visionary) adalah 40 orang yang berasal dari 33 negara.
Hari pertama dimulai dengan gambaran Intel Education Programs yang disampaikan oleh Intel Education’s General Manager John Galvin. John Galvin memberi penekanan pada Intel’s Education Transformation Model yakni Sukses Peserta Didik, Pembelajaran Profesional, Penelitian dan Evaluasi, Sumberdaya yang mencukupi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Kurikulum dan Penilaian, Kebijakan serta Kepemimpinan. Model tersebut mencerminkan bukti - praktik terbaik berdasarkan yang muncul dari kolaborasi Intel dengan sekolah dan pemerintah untuk menjalankan Transformasi Pendidikan.
Setelah paparan John Galvin mengenai Intel Education Program, Liz Crawford, Intel Education Visionaries Program Manager, menjadi host dalam diskusi panel dengan tema “Amazing Student Innovators”. Para Student Inovator berbagi mengenai pandangan mereka dalam hal membuat, menciptakan dan berinovasi dengan teknologi. Seorang pelajar menyatakan bahwa 'Setiap siswa di kelas dapat menjadi kreatif', sekolah seharusnya menyediakan lingkungan yang mendukung untuk mengembangkan kreativitas dalam setiap diri peserta didik. Student Inovator juga menantang para pendidik untuk melihat bagaimana mereka menilai prestasi siswa dengan obyektif, banyak siswa yang tidak begitu baik dalam ujian tetapi mereka seorang inovator dan kreatif.
Dalam diskusi student innavator tersebut juga terungkap bahwa disekolah, mereka diajarkan computer science (TIK) mereka menulis program (coding) dan mereka dilatih untuk membuat robot-robot sederhana. Computer Science melatih peserta didik untuk berfikir kritis dan komputasi (computational thinking/CT), berfikir komputasi adalah sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran. CT memang memiliki peran penting dalam pengembangan aplikasi komputer (coding), namun CT juga dapat digunakan untuk mendukung pemecahan masalah disemua disiplin ilmu, termasuk humaniora, matematika dan ilmu pengetahuan. Siswa yang belajar dimana CT diterapkan dalam kurikulum (proses pembelajaran) dapat mulai melihat hubungan antara mata pelajaran, serta antara kehidupan di dalam dengan di luar kelas.
Dalam kesempatan tersebut kami sempat bertanya kepada para Student Inovator tersebut, apakah mereka menyukai mata pelajaran Computer Science dan tanggapan mereka jika mata pelajaran Computer Science dihapuskan atau dihilangkan dari kurikulum di sekolah mereka. Dan jawaban mereka cukup kritis, bahwa mereka sangat menyukai Computer Science, Computer Science mengantarkan mereka menjadi Student Innovator, Computer Science juga membantu mereka dalam penguasaan mata pelajaran lainnya. Hampir semua student innovator menyatakan bahwa mereka berharap Computer Science tidak hilang dari kurikulum di sekolah mereka, meski mereka bisa mencari informasi dari banyak sumber yang ada mengenai computer atau technologi, namun jika Computer Science diajarkan tentu akan sangat baik dan lebih mempermudah mereka dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan technologi.
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengenai penghapusan Kurikulum 2013 disebabkan karena konten mata pelajaran TIK yang “out of date” mestinya disikapi dengan lebih arif dan bijaksana demi kepentingan nasional kita. Jika karena kontennya yang out of date, mestinya kontennyalah yang diperbaharui. Kontennya bukan hanya Using Technology seperti mengetik atau menggunakan aplikasi, namun lebih dari itu yakni “Membuat Aplikasi” atau making technology, coding dan konten-konten yang mengarah kepada berpikir komputasi, kreatifitas, membuat dan menganalisis.
Computer Science di beberapa negara yang sempat kami temui seperti Amerika, Jepang dan Korea Selatan untuk level pengenalan coding dasar bahkan telah dipelajari di jenjang sekolah dasar grade 4 hingga grade 9, sehingga tidak perlu heran jika banyak technocrat muda yang berasal dari negara-negara tersebut karena memperoleh Computer Science sejak dini. Lantas bagaimana dengan Indonesia ? inilah yang masih kami perjuangkan bersama teman-teman AGTIFINDO.ORG dan Kogtik agara TIK (computer science) masuk lagi dalam struktur kurikulum nasional tentunya dengan mengupgrade konten kurikulumnya terlebih dahulu.
Selanjutnya Intel Museum tour memberikan sejarah informasi di balik teknologi tinggi dunia - Silicon Valley dan Intel Corporation. Pemandu wisata menjelaskan dengan jelas pada apa yang di dalam, proses yang bersih, pabrik chip yang otomatis dan terhubung dengan teknologi yang memberikan cara baru untuk bekerja, belajar, bermain dan berkomunikasi. Mulai dari sejarah awal berdirinya intel, sejarah chipset Intel dari proses pembuatannya dengan technologi terkini.
Dr. Wayne Grant, Direktur Intel menyampaikan presentasi mengenai “Education Transformation by Design”, perkembangan yang muncul dari Multimedia menjadi Transmedia. Dr. Grant menantang pendidik untuk mempertimbangkan cara-cara kreatif pada transformasi pendidikan dari Multimedia menuju Transmedia sehingga memberi peluang-peluang dan terobosan baru untuk dunia pendidikan. Guru seharusnya mengembangkan keterampilan siswa menuju Transmedia - kapasitas untuk mencari, mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi yang disampaikan di banyak media.
Sesi Dr Leslie Wilson dengan tema “Blazing the trail for Today’s School leaders” difokuskan pada Kepemimpinan dalam membimbing perubahan secara sistemik. Dia menekankan bahwa pemimpin yang efektif saat ini memiliki dan dapat menggunakan keterampilan yang dapat mendorong lingkungan pendidikan yang begitu cepat berubah. Dia menekankan pada keterampilan kepemimpinan untuk perubahan transformasional. Dia juga mengatakan, membimbing kearah Perubahan Sistem: Ini sulit, pekerjaan yang berani, dan itu membutuhkan waktu dan kesabaran. Kita harus meninggalkan ego kita dan membuang jauh serta menjadi agen perubahan sehingga kita dapat lebih melayani kebutuhan setiap pelajar secara maksimal. Transformasi teknologi pendidikan memerlukan perubahan dan peningkatan kemampuan pedagogi, kurikulum, penilaian, kebijakan, dan pendanaan ICT. Kemampuan mengelola transformasi tersebut membutuhkan seorang pemimpin yang sangat terampil yang memiliki kemampuan untuk:
Menginspirasi, individu yang berpikiran dengan sudut pandang luas, yang berbeda untuk bekerja bersama menuju tujuan bersama
Menerapkan perubahan yang signifikan di seluruh sistem yang kompleks yang mencakup menyatukan pemangku kepentingan yang beragam
Memajukan budaya sekolah untuk meningkatkan kerjasama, menginspirasi, inovasi dan membangun siklus perbaikan secara terus-menerus.
Para Visionaries melihat, menyaksikan dan mengintip produk perusahaan edtech bagaimana pengkajian ide, proses pembuatan dan kegunaan serta pemasarannya dengan para founder dan ownernya seperti Echelon Creative, GotIt app, Griti, Myriad Sensors, ToneTree, VidCode, WriteReader dll (GSVlabs with the Accelerator companies informative). Dalam sesi ini, visioner memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik pada aplikasi yang disajikan oleh masing-masing perusahaan. Dalam sesi ini kami semakin menyadari bahwa Computer Science (TIK) harus diajarkan sejak kelas awal (kelas 5 SD), coding sederhana dapat dimasukkan dalam pelajaran komputer di sekolah-sekolah dasar. Menggunakan aplikasi VidCode akan mengajar siswa untuk menjadi seorang programmer di usia dini mereka. Lebih dari itu tidak sekedar menjadi seorang programer atau menciptakan para programer namun lebih dari itu peserta didik memiliki kemampuan berfikir komputasi sebagai salah satu kecakapan penting di abad 21 yang harus dimiliki peserta didik.
Dr. Milton Chen yang menulis buku "The Six Leading Edges of Innovation in our Schools" membahas mengenai perubahan mendasar untuk pemikiran kita tentang sekolah sangat penting bagi para pemimpin sekolah; cara bagaimana teknologi ditransformasikan adalah kapan, dimana dan bagaimana siswa dapat belajar dan peran guru serta peran siswa sebagai guru bagi siswa lainnya, sebagai tim dalam pembelajaran dengan para ahli lain dan siswa bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri. Dr. Chen menunjukkan contoh praktik inovatif dari edutopia.org.
Kami juga sempat diajarkan mengenai Design Thinking dan Computational Thinking oleh para senior trainer dan penggiat serta praktisi dibidang ini yang berasal dari sekolah-sekolah di Amerika yang telah melaksanakannya bertempat di Skywalker Ranch. Skywalker Ranch adalah kawasan seluas lebih dari 7000 hektar yang sering digunakan dalam pembuatan film - film terkenal seperti Indiana Jones dan Star Wars, terletak di daerah terpencil, di Marin County - California. Tempat ini tidak terbuka untuk umum dan sangat private sekali dan “no-picture” sehingga tidak banyak yang bisa kami abadikan dari tempat ini selain sesi Dr. Chen dan Design Thinking yang disampaikan di dalam Gedung Pertemuan Pemutaran Film yang terdapat dilokasi ini.
Sesi “Visionary Meet and Mangle” adalah sesi dimana para visionary diberikan kesempatan untuk berbagi kisah sukses dalam transformasi pendidikan, keberhasilan siswa dan keberhasilan pembelajaran, proses mengajar, dan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Dalam sesi ini kami berbagi tentang Project Based Learning, Assesment dan Paperless School dalam proses pembelajaran di Indonesia serta tentunya dampak dari hilangnya TIK sebagai mata pelajaran dalam kurikulum nasional di Indonesia.
Kegiatan “Intel Education Visionaries Program and Kick-off” yang dibuka di Hotel Hilton Santa Clara - California, akhirnya di tutup dalam sesi closing ceremony dan foto bersama di “The Exploratorium’s Fisher Bay Observatory” sambil menikmati pemandangan matahari tenggelam di tepi teluk San Fransisco dengan latar belakang salah satu Golden Gate di San Francisco. Sebelum closing ceremony, para visionary di presentasikan oleh pemandu Exploratorium tentang sejarah berdirinya Exploratorium yang ada dan melihat koleksi-koleksi yang ada guna menemukan ide-ide untuk menginspirasi rasa ingin tahu siswa ketika kembali ke negaranya maasing-masing.
Exploratorium sendiri dibangun bermitra dengan perusahaan terkemuka California untuk memperluas atau mengembangkan program yang memperkuat Literasi Sains yang akan memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan untuk pendidikan lokal dan membuatnya lebih mudah bagi lebih banyak guru untuk mengakses sumber daya yang ada di Exploratorium. Program ini akan berdampak bagi ribuan sekolah dan guru di seluruh negara bagian bahkan dunia. Exploratorium mengajak kita bertualang untuk mengidentifikasi cara-cara baru dalam mendukung pendidikan dan penyelarasan STEAM CS.
Akhirnya kami harus segera kembali ketanah air pada 15 Oktober 2015 pukul 13.00 waktu San Franscisco dan tiba kembali di Tanah Air (Samarinda) pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 20.00 waktu Samarinda (Wita). Jika keberangkatan kami sempat transit di Hongkong, saat pulangnya kami transit di Korea Selatan dengan rute San Francisco - Korea Selatan - Singapura - Balikpapan dan Samarinda.
Sebuah pengalaman traveling panjang dan pembelajaran yang mahal untuk ukuran seorang guru di Indonesia bisa memperoleh kesempatan langka seperti ini, Untuk itu sekali lagi kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu mulai dari persiapan keberangkatan hingga kembali ke tanah air seperti Intel Corporation Headquarter California, Intel Corporation Indonesia dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur yang telah memberikan rekomendasi untuk mengikuti kegiatan ini.
Sebagai catatan terakhir kami dari perjalanan kegiatan ini adalah “TIK (Computer Science) mesti dikembalikan sebagai mata pelajaran wajib di kurikulum nasional dengan perbaikan konten ke arah berfikir komputasi. Konten Computer Science yang diajarkan di beberapa negara maju seperti Amerika, Korea dan Jepang mulai dikenalkan dan diajarkan mulai jenjang sekolah dasar, sementara di Indonesia saat ini konten computer science tersebut baru didapatkan dan diajarkan oleh beberapa sekolah tertentu di Indonesia, itupun di jenjang sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, bagaimana mungkin kita bisa mengejar ketertinggalan tersebut terlebih jika TIK sudah tidak menjadi mata pelajaran wajib dalam struktur kurikulum nasional”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H