Mohon tunggu...
Fathur Rachim
Fathur Rachim Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar Abad 21

Pengamat Pendidikan, Narasumber Nasional terkait Asesmen dan Bank Soal, Teknologi Pendidikan, STEAM, Computational Thinking, E-learning dan Kebijakan Pendidikan. Aktif di HIPPER Indonesia (hipper.or.id), Google Certified, INTEL Education Visionaries Ambassador. Pengalaman benchmarking dalam bidang pendidikan ke beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Amerika, Korea Selatan dan India. (www.fathur.web.id)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah Siapkah Anda Terbang? Renungan Air Asia QZ8501 !

15 Januari 2015   18:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:05 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_346413" align="aligncenter" width="300" caption="Pelayanan Air Asia"][/caption]

Senin, 29 Agustus 2014 sedari pagi hingga sore, perasaan ini benar-benar tidak tenang sehubungan rencana keberangkatan ke Surabaya via Balikpapan menggunakan Garuda Indonesia yang rencananya take-of pukul 19.05 wita via Sepinggan Balikpapan.

Bagaimana tidak was-was, sehari sebelumnya Air Asia QZ8501 hilang kontak dalam penerbangan Surabaya - Singapura. Hati ini coba ditenangkan dengan sedikit sugesti bahwa "anda terbang bersama penerbangan yang konon paling aman" di Indonesia.

Sepanjang perjalanan udara tersebut keadaan tampak hening, terlebih ketika pesawat melintasi gumpalan-gumpalan awan tipis, meski hanya awan tipis putih goncangannya pun sangat terasa. Suasana sedikit rileks ketika tampak para pramugari dan pramugara membagikan makanan dan minuman GRATIS dalam penerbangan tersebut. Sebelumnya sempat terfikir dalam benak saya bahwa penerbangan kali ini tidak akan mendapatkan makan dan minum mengingat saya berangkat menggunakan tiket promo dimana harganya hanya setengah dari biaya yang biasanya untuk penerbangan Garuda, namun yang menarik bahwa harga tiket promo tersebut masih dibawah harga penerbangan yang LCC (low-cost carriers) sehingga saya bisa memboyong keluarga saya untuk bisa berlibur.

Disaat menunggu jatah makan tiba dibarisan saya, tiba-tiba ada instruksi dari pilot untuk mengencangkan seftybelt dan dengan terburu-buru para pramugari bergegas menarik kereta makanan menuju kabin belakang sambil berlalu dengan mengatakan sesuatu kepada kami "maaf pak, nanti kami kembali lagi !", ternyata benar saja beberapa menit kemudian kami sudah mulai memasuki awan yang sedikit gelap dan mulai lah terasa goncangan demi goncangan bahkan beberapa penumpang tampak memegang erat handle kursinya masing-masing, memang cuaca akhir tahun sepertinya kurang bersahabat bagi dunia penerbangan kita. Beberapa waktu berselang ketika kondisi sudah normal kembali, para pramugari dengan pakaian khasnya kembali menghampiri kami membagikan makanan dan minuman sambil berusaha tersenyum ramah kepada kami.

Saya ingin berbagi pengalaman terbang kepada anda semua baik menggunakan Maskapai LCC maupun yang Non-LCC, namun sebelumnya saya ingin mengajak anda menyimak pengalaman saya beberapa tahun lalu saat saya masih bekerja di sebuah kota penghasil emas hitam kualitas tinggi di Kutai Timur.

Dahulu saya sering melakukan perjalanan darat Samarinda - Sangatta menggunakan sepeda motor. Sampai pada suatu ketika saya berada di daerah Teluk Kaba, sebuah daerah konservasi orang utan yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) yang terletak di jalan poros antara Bontang - Sangatta. Saat itu saya memacu kendaraan dengan kecepatan sedang, terlebih saat itu saya dalam posisi menanjak, ketika hampir mencapai puncak jalanan tersebut saya dikagetkan dengan munculnya sebuah truk yang berada di sisi kiri jalan berlawanan arah dengan saya, reflek saya harus turun ke tepi jalan untuk menghindar dan truk tersebut juga berupaya menghindar ke kanan jalan dan supir tersebut langsung memacu kendaraannya terlebih ketika melihat saya terjatuh dan terseret beberapa meter bersama motor yang saya kendarai.

Menurut orang yang melintas dan mencoba menolong saya, bahwa saya sempat tidak sadar sekitar 10 menit, saya dibantu berjalan menuju sebuah pondok yang tidak jauh dengan lokasi saya jatuh. Beberapa waktu kemudian saya mencoba mengingat - ingat dan menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata saya terseret hampir 10 meter dan hampir masuk kedalam parit yang cukup dalam. Saya pun mengamati mengapa supir truk tersebut mengambil jalan kanan (jalan saya) yang ternyata sisi kiri jalan terdapat kerusakan yang cukup parah. Pesan yang ingin saya sampaikan sebenarnya bukan mengenai supir yang melarikan diri atau jalanan rusak yang tak kunjung diperbaiki, akan tetapi saya ingin menyampaikan pesan bahwa seberapa besar harga kepala ANDA (nyawa) bergantung dari seberapa besar harga helm anda.

Saat itu saya menggunakan helm Full-Face, saat itu helm Full-Face kebanyakan import dengan label DOT atau SNELL, bukan SNI. Kaca bagian depan helm saya tergores parah seperti habis di amplas dengan amplas kasar, yang lebih membuat bulu kuduk berdiri adalah sisi kanan depan helm saya juga habis penuh dengan goresan dan cakaran bebatuan di tepi jalan dimana saya terseret tadi. Saya hanya bisa mengucap syukur kepada Allah saat itu memakai helm yang kualitasnya terjamin, saya tidak bisa membayangkan jika saya menggunakan helm Half-Face atau Open-Face. Pertanyaaan saya kepada Anda (pengendara motor), seberapa mahal anda menghargai Kepala anda ?

Selanjutnya pada suatu hari saya harus mengawal rombongan anak-anak sekolah untuk mengikuti perkemahan di daerah Sangkimah yang juga berada di kawasan Taman Nasional Kutai (TNK). Untuk mencapai perkemahan itu setelah naik kendaraat darat selama 20 menit dari pusat kota Sangatta, kami harus menggunakan Chess/Ketinting (perahu bermesin) melalui Sungai Sangatta (sungai yang dikenal banyak buayanya) dengan waktu tempuh lebih kurang 50 menit untuk sampai di kawasan perkemahan tersebut.

Singkat cerita, saya dan beberapa teman harus menunggu ketersediaan chess/ketinting hingga pukul 17.30 wita baru bisa berangkat ke lokasi perkemahan, karena chess/ketinting yang tersedia hanya ada dua buah sehingga kami dapat giliran terakhir setelah beberapa kali chess/ketinting tersebut bolak-balik melakukan penjemputan dan droping.

Saat itu hari hampir gelap ketika chess/ketinting membawa kami menyusuri sungai sangatta, sungai yang tampak kecoklatan itu semakin tampak hitam ketika mulai memasuki kawasan hutan ditambah keadaan yang memang sudah menjelang magrib, yang terlihat di sisi kanan sungai hanyalah tebing-tebing tinggi dengan ketinggian 2-4 meter dari permukaan air sungai.

Suasana benar-benar mencekam, memasuki kawasan hutan menggunakan transportasi sungai yang konon penuh dengan buaya dan suasana sore menjelang malam yang gelap ditambah suara-suara aneka binatang hutan semakin membuat hening kami yang berada diatas kapal ketinting tersebut.

Tiba-tiba sang pengemudi ketinting berdiri dan berupaya menghindari sesuatu yang awalnya kami kira buaya namun ternyata hanyalah sebuah batang kayu yang hanyut terbawa arus. Celakanya kami sepertinya menabrak batang kayu tersebut, sehingga beberapa rekan yang duduk dibagian depan tampak panik karena ada air yang masuk kedalam kapal, akhirnya semua panik dan perlahan-lahan kapal ketinting itu dipenuhi dengan air.

Beberapa teman termasuk sang pengemudi kapal berlompatan dan berusaha berenang untuk mencari dan mencapai tepi sungai hingga akhirnya tinggal saya sendiri diatas kapal berdiri terpaku, terdiam tidak mengerti harus berbuat apa karena memang saya tidak bisa berenang, yang sempat terfikir dibenak saya bahwa hari itu adalah hari akhir hidup saya. Perlahan-lahan kapal mulai tenggelam, separuh kaki saya hingga lutut sudah berada didalam air namun tetap berada diatas kapal yang karam itu.

Beberapa detik berselang, hati saya tergerak untuk keluar dari kapal yang sudah karam itu dan berusaha berenang, ketika saya keluar dari kapal kaki saya langsung menyentuh tanah meski ketinggian air hampir mencapai leher saya, kemudian saya berjalan ketepi sambil melihat beberapa rekan tampak seperti masih berupaya berenang ketepi padahal didaerah karamnya kapal tersebut ternyata cukup dangkal. Dan ajaibnya ketika keesokan harinya kami melewati lokasi kejadian, merupakan satu-satunya lokasi dimana tidak terdapat tebing tinggi, lokasi itu ternyata sangat landai dan terdapat pasirnya bahkan masih tergambar jejak kaki kami kemarin sore.

Pesan yang ingin saya sampaikan bukan masalah saya tidak bisa berenang, bukan tentang " jika tragedi itu terjadi 1 menit sebelum atau 1 menit sesudahnya" dimana terdapat pusaran air yang deras dan dalam serta bukan mengenai keajaiban tidak ada buaya yang menghampiri kami saat itu. Melainkan pesan mengenai keselamatan perjalanan di laut (air).

Sejak kejadian itu ketika saya naik transportasi laut/sungai, saya selalu mencari posisi dan lokasi dimana jaket/pelampung berada, dimana ban berada, dimana perahu/skoci berada bahkan saya mencari benda-benda yang mungkin mengapung disekitar saya, seperti botol galon, botol air mineral besar dll. Karena saya berasumsi dalam keadaan panik semua akan berebut ke tempat lemari jaket/pelampung berada dan pasti akan terjadi hal-hal yang diluar dugaan, belum lagi mungkin kondisi peralatan keselamatan penumpang yang telah rusak karena tidak terawat.

Oke, selanjutnya saya ingin berbicara mengenai transportasi udara, gambar disamping adalah foto saya dapat sajian kelapa muda utuh dari Air Asia yang saat itu tengah menerbangkan saya dari Balikpapan menuju Kuala Lumpur-Malaysia. Sempat terfikir oleh saya, dimana tukang kelapanya ya ? wah pasti merepotkan sekali membuang kulit dan memotong kelapa tersebut didalam pesawat, hehehe maaf just kidding, karena bukan itu yang ingin saya bahas.

Saya pernah naik dua buah pesawat dengan jenis yang sama dari dua buah maskapai yang berbeda, maskapai pertama Maskapai yang masuk kategori LCC, total jumlah penumpang kedua pesawat tersebut berbeda, terpaut selisih mencapai 15-30 orang (mungkin) setelah saya amati ternyata jarak antara kursi penumpang yang berbeda, pernah saya ukur untuk yang LCC hampir-hampir tidak ada jarak antara lutut saya dengan kursi dibagian depan, sedangkan yang Non-LCC ada jarak sekitar satu jengkal antara dengkul dengan kursi dibagian depan.

Mungkin anda akan mengatakan bahwa namanya juga murah ya wajarlah duduknya sedikit mepet-mepetan. Sebenarnya bukan itu pesan yang ingin saya sampaikan, yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana saat kondisi darurat dan kebetulan anda duduk dibagian tengah atau disisi bagian jendela, pernahkah anda coba untuk menjangkau jaket pelampung (Lifejacket) yang berada dibawah kursi anda dengan kondisi sempit ? Tentu sangat sulit sekali apalagi dalam kondisi darurat dan panik (belum lagi jika ternyata jacket tersebut memang tidak ada ditempatnya)!

Saya pernah mencoba mengambil Jaket Pelampung dalam kondisi normal ternyata masih cukup sulit, malah sering teraba kantung dimana jaket tersebut tergantung dibawah kursi. Disisi lain saya tidak cukup yakin jika dalam kondisi darurat, andaipun saya bisa meraih dan mengambil jaket tersebut, maka jaket tersebut bisa saya pakaikan kebadan saya. Andaipun bisa dipakai, sayapun tidak begitu yakin bagaimana menggunakannya, karena ketika para pramugari melakukan demo penggunaan hanyalah sebuah "demo semu" yang tidak realistik dan faktual. Ketika saya naik maskapai "plat merah" dimana terdapat demo dalam bentuk audio-video, baru saya sedikit lebih memahami prosedurnya. Mungkin saya murid yang susah belajar jika tidak menggunakan audio-visual atau Apa mungkin karena yang saya perhatikan selama ini adalah pramugarinya, bukan demo yang dia lakukan, hehehehe becanda lagi.

Pertanyaan saya kepada anda semua, pernahkah anda memeriksa apakah pelampung benar ada dibawah tempat duduk anda ? apakah anda pernah mencoba meraih dan mengambilnya ? Apakah anda pernah meminta IZIN kepada pramugari untuk mengambil dan meletakkan lifejacket tersebut di kantung depan anda ? atau pernahkan anda meminta izin kepada pramugari agar lifejacket tersebut dipasangkan saja di tubuh anda ?

Jika kita melihat prosedur keamanan dan keselamatan transportasi kapal laut / sungai seperti Speedboat perusahaan-perusahaan besar/asing, biasanya jaket pelampung wajib dipakai dalam kondisi telah ditiup/dikembangkan/terisi udara. Mengapa ? karena kecepatan speedboat biasanya diatas rata-rata kecepatan kapal lain yang sewaktu-waktu bisa terbalik.

Yang ingin saya sampaikan, berapa banyak kejadian tabrakan antar kapal angkutan laut/sungai khususnya kapal-kapal tradisional yang penumpangnya ditemukan menggunakan mengapung di air menggunakan pelampung ?

Berapa banyak yang kita temukan kejadian-kejadian kecelakaan pesawat udara yang terjadi dilaut, para penumpangnya ditemukan selamat mengapung menggunakan lifejacket ? Untuk kasus kecelakaan Air QAsia QZ8501 terbaru, seberapa banyak penumpang yang ditemukan dalam kondisi menggunakan jacket pelampung (lifejacket) ? Jawabannya tentu anda sudah mengetahui, hampir-hampir tidak ada.

Andai sejak awal life jacket berada di kantung depan tempat duduk, tentu akses untuk mengambil dan memakainya dalam kondisi darurat bisa cepat terpasang, apalagi jika para penumpang sudah menggunakan lifejacket yang telah terpasang ditubuhnya sejak awal terbang (tidak dikembangkan), sehingga saat-saat darurat para penumpang tinggal melepaskan seftybelt dari tubuhnya dan menarik tuas lifejacket.

Dengan cara semacam ini, "mungkin" peluang dan harapan hidup para penumpang yang pesawatnya melakukan pendaratan di laut/air akan lebih banyak.

Mari kita kampanyekan pemasangan lifejacket sejak memasuki pesawat seperti kita naik kapal laut dan mari kita dorong agar pemerintah selaku regulator penerbangan mengubah posisi lifejacket tidak berada di bawah kursi, melainkan dikantung depan tempat duduk penumpang.

Dan yang terakhir akan lebih baik jika pramugari menggunakan seragam dan sepatu yang bisa membuat mereka gesit, mudah dan praktis dalam menolong para penumpang. Hendaknya hal-hal ini dapat diatur ulang dalam regulasi baru berbarengan dengan regulasi mengenai hal-hal teknis lainnya seperti jam maksimum terbang sebuah pesawat dalam sehari serta lain sebagainya.

Salam Selamat untuk penerbangan kita, Yang sefty / aman tidak harus selalu mahal, dan saya yakin itu pasti bisa !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun