Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas: Sajian Aksi-Romansa yang Subversif

19 November 2022   13:43 Diperbarui: 19 November 2022   13:53 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ulasan film yang saya tulis ini sebelumnya telah dipublikasi di situs Fopini.id pada Desember 2021. Ulasan ini dipublikasi ulang di Kompasiana menjelang perayaan Festival Film Indonesia 2022. 

"Buuaangsat tenan!" 

Ya kurang lebihnya itu impresi saya ketika selesai membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dua tahun yang lalu. Jujur, selain tertarik akan premis ceritanya, alasan saya membaca novel Seperti Dendam juga agar khusyuk ketika menonton filmnya. Sepanjang merenungi muatan ceritanya, saya jadi membayangkan, akankah filmnya bisa seberani novelnya? Akankah ekspektasi saya dibayar tuntas?

Film Seperti Dendam mengikuti kisah Ajo Kawir (Marthino Lio), si jagoan dari Bojongsoang yang berani berkelahi tanpa takut mati. Nyali tebal Ajo Kawir dilatarbelakangi oleh fakta menyakitkan: burungnya gabisa ngaceng. Hidup Ajo Kawir berubah setelah bertemu Iteung (Ladya Cheryl), gadis yang juga jago dalam berkelahi. Kemudian kisah Ajo Kawir menjadi soal benturan antara cinta, dendam dan rindu.

Kompleksitas Naratif dan Muatan Subversif

Walaupun lupa-lupa ingat dengan alur persisnya di novel, tapi saya tetap merasa beruntung telah membaca novelnya sebelum menonton film ini. Saya serasa menjadi penonton yang tinggal menunggu suguhan spesial yang akan saya nikmati sepanjang menonton. Terbukti, Edwin dan Eka Kurniawan mampu mengemas kompleksitas cerita novelnya ke dalam kemasan sinema. 

Naskahnya yang sangat padat, tetap berhasil mengadaptasi kegilaan dan kenekatan materi novelnya. Serta yang terpenting, film ini masih mampu menjaga muatan ceritanya yang subversif. Terdapat beberapa perubahan plot yang ada dalam cerita di film ini, yang mana menjadi bagian aneh sekaligus unik. Walau begitu, saya malah menyukai beberapa perubahan tersebut, tanpa terasa mengkhianati sumber aslinya.

Nah, di tengah-tengah film saya mencoba untuk berempati kepada penonton yang belum sempat membaca novelnya. Saya baru menyadari segala kepadatan dan kompleksitas cerita bisa jadi memberi jarak kepada penonton non-pembaca. Pacing film yang terasa cukup ngebut, bahkan terkesan jumpy di paruh awal saya rasa cukup membuat penonton ngos-ngosan. Di tambah lagi dengan banyaknya tokoh yang muncul dan harus diperkenalkan satu persatu. Penonton belum sempat mengenal Iwan Angsa, sudah harus mengenal Paman Gembul, kemudian siapa itu Pak Lebe? Tunggu dulu, Si Macan itu siapanya siapa? Lha ini Rona Merah siapa lagi? Lho iya, Ajo Kawir punya sahabat namanya Tokek toh, dsb dsb.  Konsentrasi penonton memang sangat dibutuhkan saat menonton film ini. Serius.

Dibalik kompleksitas ceritanya, penceritaan Edwin yang compelling dapat dengan mudah menggaet perhatian penonton. Terlebih lagi presentasi di paruh ketiga film ini yang menyimpan unsur magis yang bahkan tidak pernah diantisipasi kedatangannya. Paruh ketiga film ini juga mampu membantu penonton untuk connecting the dots, menginterpretasi maksud ceritanya dan dapat memicu pemantikan ruang diskusi antar penonton.

Pendekatan yang Imersif nan Antik

Hal lain yang harus diapresiasi setinggi mungkin adalah hebatnya penyutradaraan Edwin dalam mempresentasikan aspek sinematik film ini. Pemilihan Edwin sebagai nahkoda film ini buat saya adalah pilihan paling tepat, mengingat keberanian bertuturnya di film Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) yang membuat saya istighfar sekaligus terpesona. Di film ini, Ia berhasil membangun nuansa 80an yang imersif, termasuk segala referensi yang terasa sebagai tribute ke film-film aksi dan romansa era 80an. Di tambah dengan cara Edwin mengeksekusi adegan-adegan kelahi yang sangat realistis sekaligus indah, memperkuat nuansa "jagoan" yang dibangun sedari awal.

Dialog yang baku nan mendayu memang cukup terasa berjarak di telinga penonton, namun di semesta yang Eka Kurniawan ciptakan ini tentu itu menjadi hal yang unik. Terlebih cara castnya dalam men-deliver dialog pun tidak membuat saya banyak protes walau terdengar agak teatrikal. Marthino Lio berhasil menghidupkan persona bang jago dalam diri Ajo Kawir begitupula Ladya Cheryl---yang mana saya cukup merindukan kehadirannya di layar lebar---berhasil menghidupkan persona femme fatale dalam diri Iteung. Satu hal yang saya yakini adalah Reza Rahardian, yang berperan sebagai Budi Baik, akan (minimalnya) masuk ke nominasi pemeran pendukung pria terbaik di gelaran Festival Film Indonesia 2022.

Film ini memiliki pencapaian estetika dan teknis sinematik yang mampu membangun nuansa 80an dengan sangat believable. Production design serta tata kostum yang ikonik ditambah pemilihan musik dan lagu jadul---Sekuntum Mawar Merah--yang yahut menunjang penggambaran aspek sosiologis eranya. Kolaborasi Edwin dan Akiko Ashizawa di lini sinematografi berbuah manis. Kamera 16mm-nya mampu mengabadikan gelaran aksi-romansa menjadi teramat antik nan cantik. Pencapaian sinematik terbaik yang pernah saya saksikan di sinema Indonesia.

Kausalitas Kuasa dan Trauma

Kembali ke perihal muatan, kita dibenturkan dengan unsur maskulinitas dan feminisme, yang diwakilkan oleh pasangan jagoan Ajo-Iteung. Menepis stigma peranan si laki dan si perempuan di masyarakat, narasi maskulin dan feminis dalam film ini dicairkan dalam hubungan romansa Ajo-Iteung yang intim. Tidak lupa pula kedua unsur tersebut justru yang memperkuat realitas kebrutalan para jagoan dalam ceritanya.

Menilik lebih dalam, nyatanya Seperti Dendam berhasil menjadi film yang merekam kondisi kelam di masa Orde Baru. Orde kelam itu tidak asing dengan kekerasan, premanisme, PetRus dan kebangsatan para pemegang kuasa dengan segala abuse of powernya. Tanpa bermaksud spoiler, film ini memang menempatkan isu abuse of power sebagai akar konfliknya. Hal tersebut memperkuat alasan akrabnya unsur kekerasan dalam lingkup sosial film ini, termasuk soal kekerasan seksual.

Eratnya kaitan antara abuse of power dengan kekerasan seksual dalam film ini digambarkan secara kausal. Tentang bagaimana si pemegang kuasa merasa berhak melakukan apa saja tanpa peduli dampaknya, dan tentang bagaimana si lemah---dalam hal ini korban--harus menanggung dampak yang berujung trauma. Dan apa yang menjadi trauma bisa jadi berbuah dendam yang harus dituntaskan. Hal itu yang terjadi pada sepasang jagoan kita, Ajo Kawir dan Iteung. Di balik kebajingan Ajo Kawir, ada "si penyebab" yang jauh lebih bajingan. Sama halnya dengan Iteung. Di balik keahliannya dalam berkelahi, terdapat trauma yang mengendap jadi luka lama. Belum lagi kisah pilu Rona Merah sebagai potret korban represif Orde Baru dan abuse of power aparat yang terlupakan begitu saja.

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah film tidak boleh dilewatkan begitu saja. Sajiannya mengemas aksi-romansa klasik dengan muatan kritik masa lampau yang masih terasa relevan. Sajian yang tergolong langka dan terlampau spesial untuk ukuran sinema Indonesia. Bahkan sebagai karya alih wahana, film ini berhasil menjadi companion yang sama subversifnya dengan novelnya. Pada akhirnya, ekspektasi saya terbayar tuntas dan jika ditanya apa impresi saya terhadap film ini, maka jawaban saya :

"Super buuaanggsaatt tenan!"

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas | 114 Min. | Dir. By Edwin | Writ. By Eka Kurniawan & Edwin | Drama, Romance, Action | 18+

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun