Mohon tunggu...
fathul geograf
fathul geograf Mohon Tunggu... Editor - Suka Menulis

Agar saya tetap dapat berkarya dan memperbaiki karya saya, maka mohon komentarnya dan like.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Climate Smart Agriculture Modal Adaptasi Pertanian Pada Era Perubahan Iklim

30 September 2024   10:55 Diperbarui: 30 September 2024   10:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fathul Bari, M.Pd

 

PENDAHULUAN

Perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya kekeringan dan perubahan temperatur udara yang berdampak terhadap sektor pertanian. Selain itu dampak dari perubahan iklim dapat menimbulkan adanya perubahan temperatur udara sehingga hama dan penyakit berkembang pada tanaman padi menyebabkan produksi padi petani di Indonesia dan Vietnam mengalami penurunan. Penurunan hasil panen yang telah dialami oleh petani di Eropa sebesar 22%, petani di Tanzania sebesar 13%, dan petani di Indonesia sebesar 11%.

Indonesia merupakan negara yang terdampak perubahan iklim dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian. Pada Persetujuan Paris Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca terhadap skenario bussines as usual di tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan dapat terus meningkat hingga 41% dengan adanya dukungan dan kemitraan nasional.

Sektor penentu dalam hal ketanahanan pangan ada dua sektor yangi perikanan dan pertanian sedangkan kegiatan ekonomi menjadi menentukan ketahanan air ditentukan serta terjaganya terjaganya ketahanan pangan maupun ketahanan energi nasional. Terdapat kerentanan pada ketahanan energi nasional yakni sektor energi dan di sektor pembangkitan listrik yang selama ini dianggap sebagai sektor penyebab perubahan iklim. 

Oleh karena itu petani memerlukan kapasitas adaptif agar mempunyai kemampuan untuk menghadapi perubahan iklim yang ditopang oleh keragaman bentuk jaringan kapital sosial. Melalui adanya identitas komunitas, partisipasi komunitas, tindakan kolektif komunitas, solidaritas dan pembelajaran sosial memberikan daya bagi petani melakukan tindakan adaptasi. Tindakan kolektif komunitas merupakan mekanisme adaptasi kolektif petani yaitu kapasitas perencanaan komunitas yang diperkuat oleh jaringan bonding dan jaringan bridging dengan indikator partisipasi, keragaman pengetahuan, kerjasama, dan kolaborasi.

Memahami dampak perubahan iklim menjadi hal yang sangat penting terutama bagi para petani. Hal ini dikarenakan adanya perubahan suhu dan curah hujan, perubahan angin, iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan dan pergeseran musim. Melalalui adanya persepsi tersebut kesiapan petani menjadi terbentuk di dalam melakukan adaptasi serta penyesuaian teknik-teknik budidaya.

Dampak perubahan iklim air yang diperlukan sulit untuk diperoleh karena suhu udara yang meningkat dan jumlah curah hujan yang semakin lama semakin menurun yang sehingga memicu terjadinya musim kemarau panjang lebih panjang dan kekeringan.

Menerapkan adaptasi yang tepat menjadikan petani dapat meminimalkan dampak negatif dari perubahan iklim pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Proses adaptasi bisa saja terjadi dengan sendirinya akibat adanya dorongan permasalahan yang sedang berlangsung seperti masalah sosial-ekonomi, budaya, geografi, ekologi dan kelembagaan yang dapat membentuk interaksi antar lingkungan dan manusia. 

Adaptasi yang berkelanjutan dipengaruhi oleh pengetahuan pengetahuan, kapasitas adaptif, keterampilan, sumberdaya, kelembagaan yang dapat diakses untuk bisa menrapkan adaptasi secara efektif dan persepsi. Sejatinya pemikiran terhadap dampak perubahan iklim yang memengaruhi adaptasi. Pemahaman terhadap adaptasi dapat membantu dalam merespon dampak perubahan iklim agar dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas tentang pertanian cerdas iklim sebagai modal adaptasi pertanian di tengah terjadinya perubahan iklim.

PERTANIAN CERDAS IKLIM

Menerapkan mekanisme kolektif diperlukan adanya kepercayaan para petani akan pengetahuan baru sehingga memberikan dukungan dalam memperkuat keputusan kolektif gunan menentukan penanaman padi. Maka akan ada peningkatan kapasitas kolektif petani dalam hal koordinasi berdasarkan informasi dari masing masing bonding, bridging, dan linking. Kapasitas koordinasi menjadi cerminan gabungan distribusi daya dari masing-masing jaringan dalam hal informasi yang mendukung perencanaan waktu tanam padi. Informasi yang relevan adalah informasi pertumbuhan hama di lahan sawah yang berasal dari jaringan bonding, informasi ketersediaan air di saluran irigasi berasal dari jaringan linking dan informasi iklim berasal dari jaringan bridging.

Beberapa indikator dalam bonding social capital yakni kohesi sosial, identitas sosial, keterikatan dengan tempat, komunitas yang partisipatif dalam pengambilan keputusan, kesiapan sosial dalam menghadapi bencana, kesukarelaan dan kepemimpinan dalam komunitas. Fungsi dari bridging social capital sebagai pelekat hubungan di luar kelompok yang bekerja dalam lingkup kelembagaan dengan indikator yang meliputi jaringan komunitas dan jaringan informasi. Bridging social capital mampu memberikan pengaruh positif dalam resiliensi sosial komunitas dalam menghadapi bencana maupun relasi dalam lingkungan sosial. Selanjutnya jaringan linking social capital adalah hubungan dan interaksi sosial di antara aktor-aktor lembaga formal yang memiliki kuasa yang penerapannya berupa hubungan patron client. Adanya hubungan patron client pada komunitas nelayan dapat memberikan ketersediaan alat produksi. Hal ini menjadi faktor yang memperkuat mekanisme resiliensi komunitas berbasis tempatan (place-based). Jaringan kapital sosial memberikan kapasitas terbatas bagi nelayan dalam hal akses kapital fisik dan distribusi sumber daya (Izmen & Grel, 2020).

Implementasi pertanian cerdas dapat pula menerapkan konsep SLPHT (Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu) yang menekankan pada prinsip PHT (Pengelolaan Hama Terpadu) sebagai bagian praktek pertanian yang berbasis pada pengamatan petani di lahan sawahnya. Menurut Wulansari (2022) SLPHT memperkenalkan petani pada prinsip PHT (Pengelolaan Hama Terpadu) dengan menitikberatkan pada kehadiran predator alami hama. Penggunaan pestisida dapat dilakukan jika hama di lahan sawah tidak bisa dikendalikan oleh predator alami hama. Prinsip ini menekankan bahwa pestisida dapat dipakai jika proses pengamatan hama telah dilewati. Apabila ditemukan 10 ekor hama dalam satu rumpun padi maka sudah mencapai ambang batas hama namun jika di bawah itu, maka pengendalian hama cukup bergantung pada keberadaan musuh alami hama seperti tomcat, capung, maupun laba-laba. Selai itu SLPHT menekankan pemakaian pestisida yang tidak bersifat sistemik atau tidak membunuh musuh alami hama.

Selanjutnya metode penerapan pertanian cerdas dapat dilakukan dengan menerapkan Warung Ilmiah Lapangan (WIL) yang memiliki tujuh jasa pelayanan iklim bagi petani meliputi pengukuran curah hujan harian dengan pengamatan di lahan sendiri, pengamatan harian agroekologi, pengukuran panen dan memahami perbedaan antara penanaman, musim dan tahun, pelembagaan, pembangunan dan pertukaran prediksi iklim musiman yang diperbaharui perbulan berbentuk skenario curah hujan musiman, pertukaran pengetahuan baru serta pembangunan percobaan lahan untuk membangun praktek baik. WIL juga memberikan dampingan kepada petani melalui Kelompok Petani Pengukur Curah Hujan. Keterlibatan petani tersebut ditandai dengan kerelaan untuk melakukan pembelajaran melalui mengukur curah hujan, mencatat dan mengamati di lahan sawah setiap harinya. Kerelaan untuk melakukan pembelajaran menjadi hal yang signifikan terbentuknya pembelajaran petani secara berkelompok. Pencatatan dilakukan sebagai proses pembelajaran yang melibatkan partisipasi petani secara aktif guna mengukur curah hujan, membuat observasi terkait kondisi tanah, pengelolaan air, pengamatan hama serta perkembangan pertumbuhan tanaman, yang penting sebagai dasar keseharian, serta berpartisipasi dalam diskusi (Wulansari, 2022).

Menurut Winarto dkk (2019) ada sejumlah tujuh jasa layanan iklim telah dikembangkan dalam WIL, termasuk panduan diantaranya :

Pengukuran curah hujan harian dilakukan oleh semua pengukur curah hujan di petak pertanian mereka sendiri;

Pengamatan agroekosistem dilakukan setiap hari;

Perhitungan hasil panen dan memahami perbedaan antarpetak, musim dan tahun;

Pengorganisasian WIL;

Pengembangan dan pertukaran informasi prakiraan cuaca bulanan terkini dalam format skenarion curah hujan musiman;

Pertukaran pengetahuan baru terkait dengan kelima hal yang telah disebutkan;

Melakukan eksperimen lapangan untuk mengembangkan praktik-praktik budidaya tanaman yang terbaik dan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan urgen yang muncul di tingkat lokal.

ADAPTASI PERTANIAN DALAM PERUBAHAN IKLIM

Beberapa negara telah menerapkan kampung cerdas iklim sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim yaitu kampung cerdas iklim (Climate Smart Village/CSV). Konsep ini mempunyai 5 pendekatan yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan kampung cerdas iklim (Climate Smart Village/CSV), yaitu:

  • Pendekatan pengelolaan DAS
  • Pendekatan multimodel futuristic
  • Pendekatan teknologi digital
  • Pendekatan sistem pertanian dengan acuan iklim, dan
  • Pendekatan iklim dan pemodelan tanaman.

Berdasarkan perbandingan pengembangan CSV di Asia, Afrika dan Amerika Latin kebanyakan berupa adaptasi bidang pertanian. Pendekatan desa cerdas iklim (CSV) mengarusutamakan pertanian cerdas iklim (CSA) menunjukkan peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pengurangan risiko iklim. Sedangkan program kampung iklim bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim dan memahami dampak dari perbuhan iklim. Melalui adanya pemahaman tersebut diharapkan dapat mendorong tindakan nyata agar meningkatkan ketahanan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi terhadap upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (Peraturan Direktur Jenderal Pengedalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2017). Program Kampung Iklim dalam tahap pelaksanaan mencakup 2 kegiatan utama yang dijadikan sebagai prioritasi program, meliputi: adaptasi perubahan iklim dan mitigasi perubahan iklim (Zo et al., 2022).

Ketahanan iklim dalam era rovolusi industri 4.0 menjadi tantangan yang semakin berat seiring dengan peningkatan populasi penduduk karena semakin banyak kebutuhan sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Prof. Dr Siti Nurbaya Bakar (2019) yakni bertambahnya populasi tekanan pada sumber daya alam yang sudah terbatas akan semakin meingkat, maka Indonesia perlu membangun ketahanan iklim dalam sistem pangan, air dan energi nasional melalui aksi pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan, pengelolaan daerah aliran sungai terpadu, rekduksi deforestasi hutan, konservasi lahan, pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan, perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi.

Salah satu intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka pembangunan rendah karbon adalah meningkatkan produktivitas pertanian, intensifikasi pertanian dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam. Kemudian memastikan upaya reforestasi, pencegahan deforestasi, restorasi lahan dan gambut, implementasi RTRW, memoratorium kelapa sawit dan hutan primer (Brojonegoro & Rudiyanto, 2019). Kedua tindakan tersebut sangat mengarah pada sektor pertanian dalam rangka menghadapi perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim juga menyebabkan semakin langkanya sumerdaya air untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian dan industri (Yuwono dkk, 2019). Selain itu sektor pertanian didominasi metana dan budidaya padi sawah mengalami penggenangan (Murdiyarso & Adiwibowo, 2019).

Terdapat faktor yang membuat golongan miskin menjadi rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim global yakni negara-negara miskin di negara sedang berkembang umumnya bergantung pada sekotr yang sensitif terhadap gejolak perubahan iklim, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Di negara-negara tersebut penduduk miskin menggantungkan kehidupan pada sektor-sektor yang sensitif iklim sehingga dampak perubahan iklim lebih dulu dan lebih berat menimpa penduduk miskin (Sunito dkk, 2019). Oleh karena itu adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan program yang sesuai kapasitas seperti Proklim (Program Kampung Iklim). Ada keunggulan dan keunikan Proklim yaitu pada upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan bersama-sama di tingkat lokal meliputi (Peraturan Menteri LHK No 84/MENLHKSETJEN/KUM.1. 11/2016, tentang program kampung iklim :

  • Mitigasi : Pengelolaan sampah, limbah padat cair, penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi dan pencegarahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;
  • Adaptasi : pengendalian kekeringan, banjir dan longsor, peningkatan ketahanan pangan (food resiliency), penanganan antisipasi kenaikan muka iar laut, rob, intrusi air laut, abrasi, ablasi, atau erosi akibat angina dan gelombang tinggi dan pengendalian penyakit terkait iklim (Justianto dkk, 2019).

Konsep Integrated Forestry Farming System (IFFS), merupakan konsep dan sekaligus program Forest Conservation Policy. Pada konsep tersebut menekankan pertanian yang renah emisi. Menurut Justianto dkk (2019) kegiatan yang terkait dengan penurunan atau pengurangan emisi gas rumah kaca salah satunya Pertanian Kota (Urban Farming) yang merupakan prakarsa cerdas untuk mendukung keamanan pangan, mengatasi keterbatasan lahan dan mengurangi produksi sampah di kawasan perkotaan. Hal ini sejalan dengan konsep penurunan emisi yang ditempuh melalui 5 sektor yaitu energi, limbah industri, pertanian dan kehutanan (land use, lan-use change, and forestry), termasuk lahan gambut (NDC Indonesia dalam Sugardiman dkk, 2019). Selai itu sektor pertanian juga mempunyai fungsi ekologis, karena mampu menghasilkan jasa lingkungan, termasuk perannya dalam upaya penurunan emis Gas Rumah Kaca. Hingga saat ini salah satu target utama pembangunan pertanian adalah mewujudkan kedaulatan pangan dan agar Indonesia dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat (Reuter dan Dariah, 2019).

Fenomena perubahan iklim sangat berdampak terhadap variabilitas produksi pertanian, tertama terhadap produktivitas komoditas tanaman pangan. Adapun dampak perubahan iklim di sektor pertanian ada yang bersifat langsung maupun tidak langsung, continue (terus menerus) dan permanen (sulit atau tidak bisa dipulihkan), atau discontinue (tidak berlanjut) dampak ini mencakup aspek biofisik maupun sosial ekonomi. Berdasarkan First Biennal Update Report (2015) pada skala nasional, proporsi emisi dari aktivitas pertaian (non farm) adalah sekitar 122.727 Gg CO2eq atau 7,8% dari total emisi nasional. Sember emisi terbesar dari aktivitas pertanian bersumber dari lahan sawah (31%), direct N20 tanah yang bersumber dari peggunaan pupuk N yaitu urea, ZA, dan NPK (29%), dan peternakan (27%), indirect N20 (7%), sisanya emisi CO2 dari aplikasi urea (4%), pembakaran biomassa (3%) dan kapur (2%). Pertanian juga berkontribusi dalam menghasilkan yang bersumber dari perubahan penggunaan lahan yang proporsinya sekitar 48% dari total emisi nasional (Reuter dan Dariah, 2019). Maka dengan cara teknologi budidaya sektor pertanian bisa memenuhi penurunan emisi melebihi yang ditargetkan, yaitu sebesar 8-11 juta ton CO2 equivalen pertahuan sebelum 2020.

Saat ini pemerintah melakukan pengembangan 1.000 desa organik di 23 Provinsi mendukungan pengembangan sistem pertanian organik. Sampai dengan tahun 2019 adalah 600 desa organik, berbasis tanaman pangan, 250 desa berbasis hortultura, dan 150 desa berbasis tanaman perkebunan. Selain itu pemerintah telah melakukan bimbingan teknis termasuk dalam sertifikasi produk organik. Berdasarkan data statistik yang dikemukakan oleh FiBL & IFOAM Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kelompok 10 negara dengan luasan pahan pertanian organik tertinggi di Asia. Meningkatkan adaptasi sektor pertanian penting dilakukan dengan cara memperbaiki sarana penyediaan air. Program ini dilakukan melalui pengembangan teknik panen air hujan dan aliran permukaan dengan membangun embung, long storage, dan dam parit, pengembantan sistem irigasi, peningkatan upaya efisiensi pemanfaatan air irigasi dengan melakukan rehabilitasi jaringan tersier, pemasangan pipa, perbaikan pintu air, dan sistem irigasi suplemen, perbaikan daerah hulu dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) serta peningkatan kelembagaan pengelolaan air (Reuter dan Dariah, 2019).

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 497 MTonCO2e pada tahun 2030 atau setara dengan 29% dari tingkat emisi dasar (baseline emission); dan lebih jauh yaitu sampai 650 MTonCO2e dengan dukungan internasional (setara 38% emisi BAU). Sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lannya (AFOLU) ditargetkan berkontribusi sebesar 61% dari target penurunan emisi tersebut. Sementara untuk sektor energy ditargetkan sebesar 38% (MoEF, 2016). Sedangkan menurut (Boer dkk (2019) strategi kebijakan lainnya adalah :

  • Mempercepat pembangunan unit pengelolaan hutan (KPH) yang dapat mengurangi kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan dan meningkatkan keberhasilan kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan.
  • Menerapkan sistem sertifikasi wajib pengelolaan hutan lestari (PKPHPL) dan perkebunan (ISPO)
  • Mengurangi ketergantungan pada hutan alam dan memenuhi permintaan kayu dengan meningkatkan penggunaan kayu dari perkebunan khususnya karet dan sawit.
  • Mengurangi tekanan pada hutan alam untuk perluasan pertanian melalui optimalisasi penggunaan lahan tidak produktif atau perbaikan tata ruang dan peningkatan produktivitas tanaman dan intensitas tanam.
  • Memoratorium izin konsesi baru di lahan gambut.

Terdapat tantangan dalam menerapkan aplikasi Good Agrculture Pratices (GAP) dan High Yelding Variety (HYV) untuk petani kecil yakni akses ke pendanaan dan impor pertanian, khususnya bagi warga masyarakat yang tidak memiliki hak atas tanah untuk kegiatan pertanian mereka. Warga yang melakukan budidaya pertanian di dalam kawasan hutan sebagaian besar tidak dapat mengakses atau menerima dukungan dari pemerintahan karena berada di dalam kawasan hutan. Oleh karena itu target produksi jangka menengah minyak sawit (2030) harus dikurangi dari 160 juta ton CPO menjadi sekitar 80 juta ton Crude Palm Oil (CPO). Sehingga Indonesia masih dapat mengeskpor CPO dengan nilai sekitar US$50 miliar dan memenuhi permintaan domestik untuk produksi biofuel yang ditargetkan untuk energi NDC. Pengurangan target produksi sawit memberikan peluang perluasan areal bagi komoditas pertanian lainnya tanpa harus mendorong konversi hutan (Boer dkk, 2019). Mitigasi sektor energi dan program efisiensi energi juga melibatkan sektor pertanian. Konsumsi energi final digolongkan dalam sektor industri transportasi, rumah tangga, komersial, sera sub sektor pertanian konstruksi dan pertambangan. Target pencapaian 17% pada tahun 2025 yang diterapkan ke dalam sektor rumah tangga, sektor industri, bangunan gedung atau komersial, dan transportasi (Sutijastoto dkk, 84:2019).

KESIMPULAN

Jaringan bonding petani berhasil mempertahankan mekanisme adaptasi kolektif yang merupakan kapasitas perencanaan kolektif yang difasilitasi oleh aktor petani berpengetahuan. Mekanisme adaptasi kolektif berupa penentuan waktu tanam padi kolektif yang telah ditetapkan menjadi mekanisme formal sejak tahun 1998 pasca berakhirnya pengayaan pengetahuan petani dari SLPHT yang berupa kegiatan petani dalam hal pengamatan hama maupun perhitungan siklus pertumbuhan hama. perkembangan mekanisme ini menghadapi penyempurnaan yang berasal dari WIL yang memberikan informasi iklim sebagai tambahan komponen untuk keputusan waktu tanam padi yang lebih akurat. Mekanisme adaptasi kolektif petani menciptakan interaksi antara jaringan bonding dan jaringan bridging dalam membangun kapasitas perencanaan kolektif berbasis pembelajaran kelompok.

Perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dari tahun sebelumnya sehingga jumlah pasokan air berkurang bahkan petani mengalami kekeringan pada usahanya. Perekonomian rumah tangga petani juga terpengaruh sehingga petani memiliki keterbatasan finansial untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Pilihan adaptasi yang bisa dilakukan oleh petani adalah membersihkan irigasi secara rutin, mengganti varietas yang lebih tahan pada kondisi musim panas dan menyesuaikan waktu tebar benih dengan kondisi iklim, dimana adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani tidak memerlukan biaya yang mahal. Usia serta pengalaman mempengaruhi keputusan petani melakukan adaptasi perubahan iklim yakni petani yang berusia lebih tinggi dan produktif lebih mampu merespon perubahan iklim dengan lebih baik karena memiliki pengalaman lebih lama dalam mengelola usahataninya.

SARAN

Memperkenalkan program edukasi perlu pemahaman adanya hal yang dipertimbangkan diantanya memperkenalkan kepada petani bahwa petani sebagai peneliti dan pembelajar merupakan hal penting guna mendukung pengembangan program penelitian kolaboratif transdisiplin. Mengakui kepemilikan petani atas temuan dan data mereka dalam kapasitas mereka sebagai pengukur curah hujan dan penyedia pengetahuan agar memotivasi petani untuk menyuarakan pandangan. Mendorong petani untuk saling bertukar pengalaman di dalam pertemuan-pertemuan rutin sehingga mendorong timbulnya motivasi untuk berpartisipasi dalam program berjangkan panjang. Membuka akses petani terhadap pengetahuan melalui dialog dan diskusi dengan pakar dan sumber-sumber pengetahuan lain untuk memperbaiki praktik-praktik uji adopsi dan budidaya tanaman. Meningkatkan kemampuan antisipasi dan adaptasi petani berdasarkan pengamatan dan pembelajaran agrometeorologi yang telah mereka lalui agar meningkatkan posisi tawar petani dalam setiap negosiasi dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan termasuk pemerintah sebagai upaya meraih peluang mendapatkan proyek dan dukungan pendanaan.

Pemerintah pusat dan perangkat daerahnya perlu bekerja sama membuat peta jalan untuk membangun pusat pengetahuan perubahan iklim guna mendukung penguatan masyarakat akan pengetahuan dampak perubahan iklim dan sikap perilaku yang perlu dilakukan sebagai tindakan mitigasi adaptasi. Perlu dilakukan kampanye baik langsung maupun tidak langsung melalui berbagai media sosial, sehingga akan timbul kesadaran bagi masyarakat terkait perubahan iklim. Perlu membentuk kelompok kecil dan penuebaran tenaga ahli terintegrasi dengan tenaga penyuluh pertanian serta program kegiatan pembangunan yang lain akan sangat efektif dan efisien bisa segera terbangun dan terlaksana hingga sampai ke pelosok perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA 

Boer, R. Immanuel, G, S. Anggraeni, L. Penulisan, A. Las, I. Ardiansyah, M. Sugardiman, R,A. dan Margono, B, A. 2019. Jalur Emisi Alternatif NDC Untuk Pertanian, Penggunaan Hutan Dan Lainnya (AFOLU) Dalam Memenuhi Target Paris Dan Implikasinya Pada Kedaulatan Pangan. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas 

Brojonegoro, B, P, S. & Rudiyanto, A. 2019. Perubahan Iklim Dan SDGS. Urgensi, Politik dan Tata Kelola Perubahan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Candaningrum, D. Tanuhandaru, M & Utari, A, D. 2019. Gander, Perubahan Iklim & Konservasi Lingkungan. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Izmen, Umit & Grel, Yesim dogruk. 2020. The Importance of Linking Social Capital in Enequal and Fragmented Societies: an Analysis of Perceived Economic Well-being in Turkish Rural and Urban Households. The Annals of Regional Science.

Justianto, A. Dhewanti, L. & Katili, A, N. 2019. Praktik-Praktik Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Peraturan Direktur Jendral Pengendalian Perubahan Iklim Nomor P.1/PPI/SET/KUM.1/2/2017. Sekertariat Negara.

Murdiyarso, D. Haryanto, J ,T. & Adiwibowo, S. 2019. Nationally Determined Contribution : Antara Komitmen Global Dan Agenda Nasional. Urgensi, Politik dan Tata Kelola Perubahan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Nurbaya, S. Masripatin, N. & Sugardiman, R, A. 2019. Evolusi Kelembagaan Dan Proses Pelembagaan Perubahan Iklim. Urgensi, Politik dan Tata Kelola Perubahan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Nurbaya, S, N. Masripatin, S. Adhiwibowo, Y. Sugandi, dan T. Reuter. 2019. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Nurbaya, S, N. Masripatin, S. Adhiwibowo, Y. Sugandi, dan T. Reuter. 2019. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Reuter, T. & Dariah, A. 2019. Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Sunito, S. Shohibuddin, M. & Soetarto, E. 2019. Perubahan Iklim Dan Jerat Kemiskinan. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Sugardiman, R, A. Prihanto, J. Margono, B, A. Budiharto & Purwanto, J. 2019. Kehutanan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Sutijastoto, Hariyanto & Harris. 2019. Eneri Dan Perubahan Iklim. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Wulansari, I. (2022). Jaringan Bonding Kapital Sosial Petani Melestarikan Mekanisme Adaptasi Kolektif Petani. Jurnal Sosiologi Andalas, 8(2), 98-114.

Winarto, Y, T. Walker, S. Ariefiansyah, R. Prihardiani, A, F. Taqiuddin, M. & Nugroho, Z, C. 2019. Melembagakan 'Warung Ilmiah Lapangan' (Science Field Shops): Mengembangkan Pertanian Yang Tanggap Pada Perubahan Iklim. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Yuwono, A. Rachman, N, F. & Heroepoetri, A. 2019. Perubahan Iklim Dan Agenda-Agenda Penanganyannya Pada Tingkatan Lokal, Nasional, Dan Global. Krisis Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Zo, A. N., Muryani, C., Noviani, R., & Ajar, S. B. (2022). Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Penguatan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Pelaksanaan Program Kampung Iklim (ProKlim) di RW 07 Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Indonesian Journal of Environment and Disaster, 1(1), 73-81.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun