Setelah pulang dari dhalem Mukidi, hari-hari Markoya berubah drastis. Waktunya lebih banyak dilalui dengan menyendiri. Rupanya wejangan Mukidi cukup membuat batinnya terus berkecamuk. Setiap kata yang keluar dari lisan Mukidi melesat begitu kuat menembus jantung kesadarannya. Kalimat-kalimat itu bak untaian intan berlian yang melumat endapan batu jahiliah di ceruk sanubarinya.
"RASA HAMBAR ITU ADA KARENA KETIADAAN RASA CINTA"
Kalimat itu terus melayang-layang mengitari penjuru langit hatinya. "Bagaimana aku harus memulai belajar mencintai Dzat yang tak kasat mata?" Pertanyaan inilah yang terus bergelayut di awan fikirnya.Â
Ditengah kelinglungannya itulah tiba-tiba Markoya dikejutkan oleh suara ketukan pintu diiringi salam.Â
"Assalamualaikum..."
"Assalamualaikum..."
Markoya bergegas menuju pintu dan membukanya.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah...rupanya guru. Mari masuk, Guru!", jawab Markoya dengan nada gembira
Markoya tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya melihat Mukidi datang. Setelah mempersilahkan duduk, Markoya segera pamit ke dapur untuk membuat kopi kesukaan gurunya.
"Pamit ke dapur dulu, guru"
"Gak usah repot-repot, Mar" tukas Mukidi.