Tidak lebih dari sepuluh menit, Markoya telah siap membawa kopi dengan aroma khas Arab yang sekali teguk saja bisa menghilangkan kantuk hingga subuh.
"Mari diminum, Guru!"
"Terimakasih, Mar. Wah kopi buatanmu benar-benar sempurna. Rupanya kamu jago bikin kopi. Belajar dari mana bikin kopi seenak ini, Mar?"Â
"Biasa aja guru tidak pernah belajar. Ya... mungkin karena pengalaman aja. Saya tidak pernah belajar dan tidak punya trik khusus bikin kopi"
"Tapi kopi buatanmu benar-benar sempurna. Kamu bisa meramu dengan tepat antara kadar kopi dan gulanya. Sehingga karakter masing-masing bagian tidak saling mendominasi. Rasa manisnya gula tidak menghilangkan karakter pahitnya kopi. Pun, sebaliknya".Â
"Begitulah hidup itu, tercapainya kesempurnaan justru terjadi karena keberagaman. Bahkan, Tuhan membangun semesta dengan pola keberagaman. Bukankah sesuatu itu diketahui hakikatnya dari arah sebaliknya? Bisa dibayangkan bagaimana susahnya mendefinisikan atas jika tidak ada bawah. Pun, laki-laki selamanya tidak akan terdefinisikan jika tidak ada perempuan. Jadi, bukan tanpa maksud Tuhan menciptakan keberagaman, agar saling mengenal".
Markoya hanya bisa diam mencerna apa yang diutarakan gurunya. "Sepertinya, guru sengaja memberikan penjelasan yang justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru", batinnya.Â
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan angka 04.40 dan kopi pun sudah tinggal ampasnya di dasar cangkir.
"Aku pulang dulu, Mar!" seru Mukidi memecah lamunan Markoya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H