Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dompet..

27 Juli 2010   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_206072" align="alignnone" width="295" caption="doc : www.legaljuice.com/wallet.png"][/caption] Kereta Api kelas ekonomi terakhir menuju Jogja mulai meninggalkan stasiun Jatinegara. Penumpang sudah memenuhi semua kursi yang ada, bahkan banyak pula yang berdiri di dalam gerbong dan diantara gerbong. Aku termasuk penumpang yang harus berdiri, tepat di depan toilet kereta, yang selalu menyebarkan aroma menusuk hidung.

Entah hingga berapa jam aku kuat berdiri dengan kondisi seperti ini. Apalagi hari ini aku belum makan dan kemarin hanya makan sebungkus mie instan sehari sekali. Uang yang kupunya, kumpulan lembaran ribuan dan recehan ternyata hanya cukup untuk membeli tiket. Itupun sebenarnya kurang 500 perak. Karenakebaikan penjaga loket saja aku mendapat tiket meskipun uangku kurang.

Stasiun demi stasiun terlewati. Penumpang bukanya berkurang malah makin padat saja. Mereka terus saja memenuhi gerbong yang sudah sesak ini.Diantara gerbong yang tadinya masih cukup longgar untuk berdiri kini juga mulai sesak.

“Maaf Nak minta tempatnya sedikit!” Seorang ibu tua menyusup diantara penumpang dan berdiri di dekatku. Ibu itu membawa tas dan terlihat dompet menyembul dari dalam. Mataku langsung tertuju ke benda berwarna coklat dan nampak tebal tersebut.

Dompet coklat, berukuran besar, tebal. Bisa kubayangkan berapa banyak lembaran uang yang ada di dompet itu. Tentunya isinya lebih dari cukup jika hanya sekedar untuk membeli mie rebus telur dan air mineral.

Entah darimana asalnya perlahan tanganku mulai menyentuh benda coklat tersebut. Tanganku gemetar dan hatiku mulai berdegup kencang. Ketika tanganku bisa meraih dompet itu dan kereta berhenti di stasiun... tiba-tiba saja...

“Copettttt!” terdengar suara orang berteriak dan aku pasrah menunggu yang terjadi dan memejamkan mata. Mungkin sebentar lagi semua orang berkerumun dan aku mati.

Beberapa lama aku diam, namun tak seorangpun menyentuhku. Akupun membuka mata. Aku melihat ibu tua diseret petugas keamanan dibawa ke kantor petugas.

Kereta kembali melaju. Dari jaket kukeluarkan dompet warna coklat. Dompet itupun kubuka namun hanya berisi dua lembar dua ribuan.

FATHONI ARIEF

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun