Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Pelukis Tua

25 Juni 2010   23:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sudah lebih dari lima bis kota melintas di depanku. Bis-bis tua yang sudah sangat kelelahan dan seringkali terbatuk-batuk. Jika saja bisa bicara mungkin mereka akan teriak-teriak minta segera dipensiunkan. Hasil keluaran dari kendaraan yang sudah uzur itu dari tahun-ke tahun makin memperburuk kualitas udara di kota budaya ini. Selain bis tua itu juga kulihat lalu-lalang sepeda motor, mobil dan terkadang beberapa mahasiswa yang jalan kaki.

Sudah setengah jam lebih aku berdiri di sudut kampus ini. Di dekat sebuah gerbang universitas yang baru saja selesai pembangunannya kira-kira sebulan yang lalu. Gerbang yang begitu gagah, anggun, megah dengan karakter kuat yang ditunjukkannya. Bangunan baru yang menghiasi universitas negeri tertua di negeri ini.

Bangunan dengan struktur yang terbuat dari beton dan pipa-pipa baja ini memang disusun dengan sedemikian rupa. Dominasi garis dan bentuknya yang menyerupai candi memunculkan kesan unik tetapi futuristik. Setidaknya ketika orang melihat gapura ini akan memandang Universitas yang memilikinya adalah sebuah lembaga yang penuh dengan ciri khas tetapi punya wawasan kedepan. Tak tahu secara pasti biaya yang dihabiskan untuk membangun hingga seperti ini. Jika diamati sekilas untuk membangun gerbang ini setidaknya uang hampir dua miliar rupiah harus dikeluarkan. Sebuah harga wajar di satu sisi jika melihat hasilnya.

Beberapa meter dari tempatku berada duduk seorang tukang becak, ia nampak sedang memandang kedepan menembus batas lamunannya. Apakah yang sebenarnya sedang dia fikirkan? Apakah kenaikan bahan bakar minyak atau bakal naiknya tarif dasar listrik? Memikirkan sepinya penumpang karena hampir semuanya kini telah memiliki sepeda motor atau mobil? Atau mungkin berfikir tentang anak-anaknya nanti bisakah melanjutkan kuliah di universitas ini? Semua hanya dugaanku hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya.

Tak jauh dari tukang becak itu mangkal, duduk seorang pelukis jalanan yang tengah asyik membuat karya-karyanya. Ciri khas dari kota pelajar, kota budaya begitu banyak seniman jalanan yang tertebar di sana. Lelaki yang sudah tua renta itu nampak masih sangat kuat dan segar bugar. Ketertarikanku memaksa langkah kakiku mendekati lelaki tua itu. Dia terus saja melukis, saat melihatku datang dengan ramah dia persilahkan aku duduk dan kembali meneruskan pekerjaannya. Bapak tua ini kutaksir usianya kira-kira mendekati delapan puluh tahun hal yang luar biasa bagi orang seusia itu. Lukisan-lukisan hasil karyanya dipajangnya di pagar besi kampus tua ini..

"Maaf pak boleh saya numpang lihat!", tanyaku.

"Ya nak silahkan duduk, maaf bapak sambil melanjutkan kerjaan ya!", begitu jawab lelaki tua itu.

Kuamati satu demi satu lukisannya, diantara lukisan-lukisan itu kebanyakan temanya pertempuran. Ya dari sepuluh yang ia pajang tujuh diantaranya bertemakan pertempuran. Sebuah lukisan yang kini sedang ia selesaikanpun juga bertema serupa. Sebuah lukisan tentang seorang anak yang berusia belasan tahun yang tergeletak di dekat sebuah saluran, ada luka yang cukup parah di dada sebelah kirinya. Tak jauh dari lelaki muda itu lewat beberapa orang tentara di antara sebuah kendaraan perang Belanda.

"Lukisan tentang apa pak?" aku coba tanyakan cerita yang dikandung dalam lukisan yang tengah diselesaikannya.

"Dia seorang anggota tentara pelajar yang terluka parah dalam sebuah pertempuran", bapak tua itu termenung dan matanya mulai berkaca-kaca. Sesaat kemudian ia termenung sambil menghisap sebatang rokoknya.

"Bapak dulu juga anggota tentara pelajar?", tanyaku.

Ia hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Kemudian mulai cerita lagi tentang sosok dalam lukisan itu. Menurut ceritanya lelaki yang ada dalam lukisan itu adalah salah satu rekannya sesama tentara pelajar.

"lalu bagaimana nasibnya pak?", tanyaku.

"Dia terlambat diberi pertolongan. Dia gugur sebagai salah satu putra bangsa yang mempersembahkan jiwa dan raganya buat ibu pertiwi", bapak tua itu seakan kembali akan kenangan-kenangan sekitar tahun empat puluhan.

Korps tentara pelajar merupakan salah satu barisan pejuang yang mencoba mempertahankan kemerdekaan. Dari namanya bisa ditebak anggotanya juga terdiri dari para remaja yang masih belia dan berusia belasan tahun. Markas besarnya sendiri dulu berada di kota ini; Yogyakarta. Tentara pelajar adalah satu diantara barisan-barisan pejuang yang ada saat itu selain tentara pelajar ada juga laskar Hisbullah, kakekku adalah satu anggotanya dan gugur dalam peristiwa sepuluh November sembilan belas empatpuluh lima. Kakekku bagian dari puluhan ribu pejuang yang darahnya membasahi kota Surabaya.

Aku kembali mengamati lukisan bapak itu yang lainnya. Satu demi satu ia ceritakan dan banyak diantaranya yang dia alami sendiri. Ada yang bercerita tentang agresi militer Belanda kedua, pertempuran di daerah kota Baru, peristiwa perebutan kota Yogyakarta lewat serangan kilat sebelas Maret hingga pertempuran lainnya yang tak kalah menyimpan kisah kepahlawanan.

Bapak tua itu kini telah melukiskan lukisan tentara pelajarnya. Kini ia menaruh kuasnya kemudian mengambil sebatang rokok kretek sambil melepas lelah ia menghisap sebatang rokok lintingan sendiri yang hanya tersisa setengah bagian. Dari tas usangnya ia keluarkan sebuah botol bekas air mineral yang terisi air teh.

"Mau teh nak?", ia menawariku, dengan halus aku menolak dan mempersilahkannya menikmati tehnya.

Topi yang sedari tadi ia pakai kini dilepasnya dan digunakan sebagai kipas untuk mengurangi rasa panas yang diakibatkan teriknya sinar matahari dan tingkat polusi udara yang sudah cukup parah di kota ini. Rambutnya sudah putih dan mulai jarang tapi tubuhnya masih tetap kelihatan segar bugar.

"Sudah lama berjualan lukisan pak?", tanyaku pada pelukis tua itu.

"Ya sudah lama nak ya hampir lima puluh tahun lebih kira-kira sejak penyerahan kedaulatan penuh oleh Belanda semenjak Republik Indonesia Serikat berubah menjadi negara kesdatuan republik Indonesia", jawabnya.

Bapak itu kini mulai bercerita tentang awal mula dia menggeluti dunia seni lukis ini, tentang keluarganya dan semua kisah hidupnya. Bapak itu kini punya tiga orang anak, sebelas cucu dan dua puluhlima cicit. Dari hasil membuat lukisan ketiga anaknya kini semuanya menjadi orang-orang yang cukup mapan dengan karirnya masing-masing.

"Anak-anak saya kini sudah sukses dengan kehidupannya masing-masing", ujar bapak itu dengan sebuah senyuman yang terpancar dari wajahnya.

Ketiga putra penjual lukisan itu memang telah menjadi orang semua. Anak yang pertama menjadi pengusaha rumah makan dan saat ini tinggal di kota Solo dengan anak-anaknya yang sudah besar dan berkeluarga semua. Anak yang kedua tinggal di kota ini menjadi dosen di sebuah Universitas tertua bahkan sempat juga meneruskan studi dari beasiswa pemerintah ke negeri Belanda. Ia seorang ahli dalam bidang teknologi keairan. Anak yang ketiga menjadi seorang guru SMU di kota Surabaya. Cucunya dari putera ke tiga ini ada yang menjadi seorang perwira muda lulusan akademi angkatan laut.

Ada satu hal yang membuatku keheranan setelah mendengar semua cerita dari bapak itu. Kenapa ia masih saja mau berjualan lukisan di usianya yang sudah sangat tua renta ini.

"Bapak sekarang tinggal dengan siapa?", tanyaku keheranan

"Saya tinggal sendiri sudah sejak lima tahun yang lalu istri saya meninggal. Terkadang pada akhir pekan cucu-cucu saya datang dan menginap di rumah", begitu jawabnya.

Llalu kenapa dalam usia setua ini masih saja berjualan dan melukis tidak istirahat dan santai-santai dirumah saja?

Apakah anak-anak anda menelantarkan bapak?", tanyaku sekali lagi mencari tahu jawaban dari tanda tanya yang besar itu.

Bapak itu diam sebentar kemudian mengambil botol air mineral yang isinya masih tersisa dua pertiga bagian itu. Setelah minum dia mengambil sebungkus tembakau dan selembar kertas linting yang terselip di tasnya. Dengan cekatan ia meracik sendiri rokok lintingannya kemudian ia nyalakan dan hisap perlahan-lahan. Lelaki tua itu tidak langsung menjawab pertanyaanku kini ia cerita tentang keadaan dirinya dan rekan-rekannya lama setelah kemerdekaan. Nasib mujur baginya, dengan berbekal kemampuan untuk menghasilkan karya-karya lukisan ia mampu mengais rezeki yang lumayan. Bahkan sempat pula ada yang membeli lukisan-lukisan dengan harga yang tak pernah ia bayangkan. Dari hasil itu ia sedikit demi sedikit mampu menabung dan akhirnya membeli sebuah rumah di sebuah daerah di Yogyakarta. Dengan hasil karya-karyanya ia membiayai sekolah anak-anaknya hingga bisa seperti saat ini. Saat masih muda bahkan ia sempat mengunjungi beberapa negara di eropa dalam sebuah misi kebudayaan. Dia banyak cerita tentang kota-kota budaya di eropa bahkan dia sempat juga mengunjungi berbagai museum terkenal diantaranya museum Van Gogh dan melihat secara langsung ratusan hasilkarya sang maestro seni lukis itu.

"Saya sangat bersyukur. Diantara mantan pejuang nasib saya paling baik", ujarnya

Dia kembali bercerita kini tentang rekan-rekan seperjuangannya. Diantara mereka ada yang nasibnya baik seperti apa yang dia alami tapi banyak juga yang hidupnya sangat terlunta-lunta hingga hari-hari terakhir hidupnya. Ada rekan seperjuangannya yang hidup di daerah kumuh di bagian kota ini yang sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal karena tidak punya ongkos untuk berobat dan telah lama ditinggalkan keluarganya. Ada pula yang sampai saat ini harus bersusah payah menajdi seorang pengayuh becak. Bapak itu sesaat terdiam dan meneteskan air mata.

"Sebenarnya anak-anak dan cucu saya memaksa untuk berhenti. Mereka begitu perhatian dan bahkan tidak menelantarkan saya namun dengan kondisi badan yang masih sehat seperti ini rasanya saya tak sanggup untuk hanya sekedar berpangku tangan dari pemberian orang lain meskipun itu anak-anak saya. Terlebih jika melihat kondisi rekan-rekan seperjuangan yang hingga kini masih berjuang untuk menyambung hidup mereka. Saya ingin meninggalkan dunia juga sebagai seorang pejuang", kata bapak itu.

Pembicaraan yang tak terasa telah berlangsung hampir dua jam itu berhenti dengan adanya seorang asing yang melihat-lihat lukisan bapak tua itu. Satu hal yang membuatku kaget beliau ternyata sangat fasih berbicara dalam bahasa Belanda.

Waktu terus berjalan aku teringat tentang keraguanku dalam memilih jalan hidup yang akan kutempuh selama ini yang ada difikiranku adalah materi danpenghargaan. Aku bimbang memilih antara mengambil beasiswa sekolah lanjutku ke luar negeri atau menerima tawaran bekerja di sebuah perusahaan terkenal.

Kulangkahkan kaki menuju sebuah halte bis yang terdapat tak jauh dari tempatku berada. Sebuah bis kota warna oranye berhenti di depanku. Melihatku yang masih berdiri awak bus itu teriak dan menarik badanku. Aku segera melompat masuk kedalam bis itu. Bis dalam kota inipun segera melaju dengan begitu kencang seperti tengah beradu balap di sirkuit balap. Sesuatu yang seringkali membuatku sumpah-sumpah tak akan menggunakannya lagi tapi nyatanya kini aku tetap menggunakannya. Aku menyadari apa yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk perjuangan mereka demi mencari sesuap nasi buat keluarga mereka.

*****

Lima tahun sudah aku meninggalkan kota budaya ini. Sebuah pilihan yang kuambil menjadi seorang pendidik; aku kini dosen di Universitas ini. Keputusan yang bulat tak lagi sebuah keterpaksaan. Sebuah pengabdian, benar-benar ingin memberi hal yang terbaik. Berjuang lewat ilmu pengetahuan membantu melahirkan putra-putra terbaik bangsa yang lain.

Memang perpisahan yang cukup lama membuatku kangen dengan suasana kota ini. Saat pertama kali datang dari bandara hal yang teringat olehku adalah bapak penjual lukisan tersebut. Semua cerita yang dulu diberikan bapak tua pelukis tentang eropa ternyata benar. Aku membuktikan sendiri tentang kunjungannya ke museum Van Goh dan semua paparannya tepat.

Tujuan pertama adalah sebuah bundaran di kampus tertua di negeri ini. Bundaran kini telah banyak berubah.walaupun masih ada yang tetap sama. Tukang becak yang biasa mangkal disini masih saja di posisinya yang dulu. Cuma kini tak lagi terlihat bis-bis kota yang berjalan bagaikan disirkuit balap dengan asapnya yang mirip kompor berjalan itu. Aku tak mendapati bapak tua penjual lukisan itu. Mungkin saja beliau memang tak jualan hari ini.

Taksi yang membawaku terus saja melaju menuju tempat tinggalku. Di sebuah jalan yang dulu katanya tempat tinggal bapak tua penjual lukisan kulihat iring-iringan kendaraan dan nampaknya banyak terdapat orang-orang berseragam. Sebuahpemakaman militer.

Dari beberapa sumber yang kudapat setelah beberapa hari kedatanganku ternyata bapak tua itu telah meninggal dunia. Beliau terserempet sebuah mobil pick up saat menyeberang di sebuah jalan kecil didekat rumahnya.Beliau mungkin kini bisa tersenyum dia meninggal dengan cara yang lebih terhormat sebagai kisah perjuangan sampai akhir hayat. Bapak tua itu mungkin masih saja bersyukur jika melihat rekan-rekannya sesama pejuang yang meninggal dengan cara tak terhormat dan penuh dengan kesia-siaan. Mungkin saja beliau kini sudah bisa tersenyum mampu memberikan persembahan terbaik hingga akhir hayat buat ibu pertiwi tercinta. Menjadi tanggung jawab buatku meneruskan perjuangan mereka ,-walaupun tak lagi harus dengan memikul senjata-, hingga darah yang mereka tumpahkan tak sia-sia.

"Selamat Jalan Pahlawan!".

Yogyakarta, Maret 2006

Fathoni Arief

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun