Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menyusuri Kompleks Taman Sari

15 Juni 2010   02:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

doc.Fathoni Arief

Akhirnya saya memiliki kesempatan juga berkunjung lagi ke kompleks Taman Sari, Yogyakarta. Menelusuri sisa-sisa kemegahan peninggalan kraton Yogyakarta yang sebagian besar telah rusak. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya sekira dua tahun lalu yang begitu singkat kini saya lebih leluasa melihat bagian demi bagian kompleks bersejarah yang terus direnovasi.

Kerumunan orang di depan gerbang sebelah Timur kompleks Taman Sari menghentikan langkah saya. Ternyata sekelompok mahasiswa tengah mendengarkan penjelasan seorang pemandu wisata. Sekilas yang bisa saya tangkap ia bercerita tentang bahan bangunan yang digunakan untuk membangun dinding-dinding di belakangnya. Ia juga menuturkan kenapa warnanya kecoklatan. Menurut sang pemandu tembok Taman Sari terbuat dari campuran bahan bangunan yang disebut bligon berupa materi traditional coating yang terdiri dari campuran pasir, kapur, dan semen merah. Semen merah dibuat dari bata merah yang ditumbuk halus, sedangkan kapur yang digunakan adalah gamping. Asal mula warna kecoklatan tak lain akibat penggunaan bligon.

doc.Fathoni Arief

Hari ini memang bertepatan dengan libur. Tak mengherankan jika ada banyak pengunjung yang berdatangan. Mereka kebanyakan datang berkelompok. Namun ada juga yang hanya berdua. Pasangan muda-mudi berbekal kamera saku mencari tempat paling menarik untuk sekedar jeprat jepret. Diantara pengunjung tak hanya berasal dari wisatawan lokal saja nampak pula wisatawan manca negara.

doc.Fathoni Arief

Ketika melangkahkan kaki menuju pintu masuk beberapa orang petugas sudah menanti memeriksa tiket dari para pengunjung. Tiket masuk kompleks Taman Sari relatif ramah bagi kantong. Untuk pengunjung dari luar dikenakan biaya retribusi Rp.5000,- sedangkan bagi wisatawan lokal Rp.3000,-.

doc.fathoni Arief

Dari pintu masuk di sisi Timur setelah melangkahkan kaki beberapa puluh langkah ada sebuah pintu lagi. Dari pintu tersebut terdapat anak tangga menurun. Nampak bangunan seperti kolam. Setelah mendekat ternyata memang terdapat 2 buah kolam nampak di kolam-kolam tersebut jamur-jamur buatan dan di pinggir kolam terdapat beberapa buah pot besar. Saya hanya bisa menduga-duga apa fungsi dari kolam tersebut meski pernah membaca artikel mengenai taman sari. Taman Sari dibangun di era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758-1769. Tahun pembuatannya tertulis di atas gerbang dalam bentuk ukir-ukiran simbol. Bangunan dengan perpaduan gaya Portugal, Jawa, Islam, dan Cina.

Ketika asyik mengamati ornamen-ornamen bangunan sambil sesekali mengambil gambar seorang pemandu datang dengan tiga orang pengunjung. Pertanyaan saya terjawab sudah. Kolam ini dulunya berfungsi sebagai tempat pemandian bagi Sultan, istri , serta putri-putrinya. Namun meski demikian mereka tak mandi secara bersamaan antara putra dan putri. Untuk menjaga privasi kompleks ini dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Ternyata masih ada satu kolam lagi. Kolam tersebut terletak di balik menara di sebelah kiri saya. Di kolam yang lebih tertutup tersebut sultan mandi ditemani seorang selir yang telah ia pilih.

doc.Fathoni Arief

Setelah puas berkeliling kolam dan mengamati bagian-bagianya saya melanjutkan ke lokasi lain. Saya terus berjalan menuju Barat. Nampak sebuah pintu yang bentuknya mirip dengan yang ada di sisi Timur tempat saya masuk tadi. Seorang bapak-bapak menghentikan langkah saya.“Masih ada 3 lokasi lain lagi,” kata lelaki yang nampaknya seorang pemandu.

Lelaki tersebut menyebut beberapa nama tempat namun yang saya tangkap hanya masjid bawah tanah. Lokasi-lokasi yang katanya bagus buat diambil gambarnya. Saya hanya iya-iya saja. Lalu kembali melangkah.

Saya hanya menduga-duga kemana jalan menuju lokasi lain. Ketika ada dua orang bule menuju ke suatu lokasi sayapun mengikuti mereka melewati pemukiman penduduk. Entah kenapa bule tersebut berhenti dan kemudian berbalik arah. Namun saya terus apalagi setelah melihat sebuah gerbang besar. Di atasnya tertulis gerbang carik. Dari artikel-artikel yang pernah saya baca gerbang carik dulunya merupakan tempat bagi abdi penjaga.

doc.Fathoni Arief

Dari Gerbang carik saya terus melangkah mengikuti jalan lorong tersebut hingga tibalah di bangunan bertulis Gedung Madaran. Gedung ini merupakan dapur tempat menyiapkan makanan bagi Sultan. Ketika tengah asyik mengamati bangunan tersebut lagi-lagi lewat seorang guide dengan beberapa orang pengunjung. Mereka menuju ke lokasi dan saya mengikuti saja. Mereka tiba di Gedung Ledoksari. Konon di tempat inilah Sultan bersemadi dan berjumpa ratu pantai selatan.

doc.Fathoni Arief

Guide tersebut kembali melangkah diikuti dua orang pengunjung. Mereka melewati gang-gang diantara pemukiman penduduk. Sang pemandu bercerita tentang buah-buahan yang ditanam sewaktu kompleks ini masih berfungsi. Menurut kisahnya dulu ada beragam buah-buahan bahkan lengkap.

Pemandu tersebut melanjutkan kisahnya namun saya berjalan ke arah lain kembali ke depan. Saya menuju ke bangunan menjulang yang terlihat tiap kali berada di depan pasar Ngasem lama. Untuk menuju kesana sebelumnya kita harus melewati lorong yang cukup panjang. Diantara lorong-lorong tersebut ada bagian-bagian yang terbuka sehingga cahaya bisa masuk. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik. Ternyata di sudut lorong sekelompok pemusik tengah beraksi memainkan aneka jenis lagu.

doc.Fathoni Arief

Tak jauh dari lorong tersebut terdapat masjid bawah tanah dan sisa reruntuhan gedung Pulo Cemeti, tempat perjamuan makan Sultan. Di puing-puing gedung pulo cemeti inilah kerapkali dipakai mereka yang hobi fotografi mengambil gambar dengan membawa model. Dari sini saya bisa mengamati beberapa bangunan lain tengah direnovasi.

doc.fathoni Arief

Lumayan juga berjalan berkeliling kompleks taman sari. Kompleks ini awalnya memang menempati areal yang luas. Bayangkan ada 57 bangunan di tanah seluas 10 hektar. Bangunan yang sebagian besar rusak sejak gempa besar yang melanda pada 10 Juni 1867. Beragam bangunan seperti kebun, gapura, danau buatan, kolam pemandian, kanal air, juga masjid dan lorong bawah tanah akhirnya tak lagi berfungsi dan kawasan sekitar tersebut ditempati oleh para abdi dalem hingga sekarang.

Catatan Perjalanan, 6 Juni 2010

Fathoni Arief

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun