Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak Inggris di Bumi Rafflesia

3 Juni 2010   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_157569" align="alignleft" width="300" caption="Monumen Thomas Parr/doc.Fathoni Arief"][/caption] Waktu belum memasuki Isya ketika kami tiba di Pasar Baru Koto Bengkulu. Tujuan kami deretan tempat makan samping pasar. Masing-masing dari kami memesan menu pilihannya. Kali ini saya memesan seporsi sate padang, teh dalam kemasan botol serta segelas kopi hitam. Menunggu pesanan tiba saya menikmati suara parau pengamen cilik. Sayapun hanyut oleh permainan musik mereka sambil menatap lalu-lalang pembeli. Tak jauh dari tempat saya duduk tugu Thomas Parr nampak dalam suasana remang-remang. Remang-remang seakan ingin menyembunyikan kisah pilu dan tragis yang pernah terjadi. Cerita tentang matinya pejabat Inggris, tentang kesewenang-wenangan, perlawanan rakyat dan pembantaian.

Tugu Thomas Parr dibangun pemerintah Inggris tahun 1808 untuk memperingati tewasnya seorang

[caption id="attachment_157308" align="alignright" width="300" caption="doc.fathoni Arief"][/caption] pejabat bernama, Thomas Parr. Tugu ini bentuknya cukup unik mirip sebuah pos berbentuk segi delapan dengan 4 buah tiang penyangga berukuran besar. Penutupnya juga unik mirip kubah masjid.

Lalu siapa sebenarnya Thomas Parr? Thomas Parr merupakan seorang deputi yang berkuasa antara tahun 1805 hingga 1807. Ia terkenal karena menerapkan sistem tanam paksa perkebunan kopi di Bengkulu. Di masa inilah banyak korban jiwa jatuh yang memicu kebencian dan amarah rakyat Bengkulu. Puncaknya tanggal 23 Desember 1807, malam hari massa nekad menyerang Mount Felix ( bangunan ini sekarang digunakan sebagai rumah dinas Gubernur) tempat kediaman Thomas Parr. Terbunuhlah sang deputi dengan cara mengenaskan, kepalanya dipenggal dan diarak keliling kota oleh rakyat Bengkulu.

[caption id="attachment_157309" align="alignleft" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Bengkulu, atau Bencoolen dulu memang pernah menjadi daerah jajahan Inggris sebelum diserahkan ke Hindia Belanda dengan imbalan Malaka melalui perjanjian London tahun 1824. Maka tak heran jika banyak peninggalan Inggris tersebar di daerah ini. Tak jauh dari lokasi saya berada terdapat bangunan bersejarah yang lain, Fort Malborough atau benteng Malborough. Bangunan sudah berusia hampir 3 abad. Didirikan tahun 1713-1719 saat Bengkulu dipimpin oleh Gubernur Joseph Callet benteng ini pernah diklaim sebagai benteng Inggris terkuat di wilayah Timur setelah benteng St.George di Madras, India.

Beberapa bulan lalu saya dua kali berkunjung. Pertama kali kesana saat malam hari karena tertarik dengan suasana dalam benteng beberapa hari setelahnya saya kembali ke benteng Malborough.

[caption id="attachment_157311" align="alignright" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Benteng tersebut dibuka untuk umum mulai dari pagi hingga sore hari. Untuk bisa masuk kedalam kita dikenakan retribusi. Seorang petugas penarik retribusi sudah siap di dekat pintu pertama yang ukurannya besar tersebut. Tak ada semacam karcis yang diberikan. Saya hanya mengisi buku tamu setelah membayar uang masuk. Saya benar-benar terkesan dengan penampakan benteng yang begitu kokoh dengan tembok yang begitu tebal.

Ketika memasuki pintu gerbang di  dekat pintu masuk di kanan dan kiri terdapat batu nisan kuno yang berukuran besar dalam posisi berdiri. Salah satu nisan tertulis “ Here Interred the body of Henry Stirling..”. Ternyata itu adalah penutup makam dari Henry Stirling, seorang pegawai sipil East India Company sekaligus anggota Majelis di Bengkulu. Ia meninggal 1 April 1744, di usia yang masih sangat muda, 25 tahun.

[caption id="attachment_157560" align="alignleft" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Selepas gerbang pertama sebelum memasuki kompleks utama benteng ada sebuah jembatan sebagai penghubung. Dulu jembatan ini bisa dinaik turunkan fungsinya untuk memperlambat pergerakan musuh karena di bawah jembatan ada semacam parit yang mengitari benteng. Selepas jembatan ada sebuah gerbang lagi. Di sebelah kanan terdapat ruangan dengan terali besi layaknya penjara. Itu memang sempat digunakan sebagai penjara di masa pendudukan Belanda. Pemerintah kolonial menjadikan ruangan ruangan tersebut sebagai ruang tahanan mereka yang dianggap melawan pemerintah.

Dari pintu kedua kita akan berada di tempat lapang di tengahnya ada taman. Diantara rerumputan kita bisa menjumpai beberapa meriam kuno dengan ukuran cukup besar yang usianya sudah ratusan tahun. Posisi meriam tersebut berderet dan masing-masing meriam menghadap arah yang berbeda.

Dari benteng Malborough kita juga bisa melihat pemandangan pantai. Ada akses untuk naik ke atas dinding tebal benteng. Dari sana pantai Bengkulu nampak jelas maklum lokasi benteng hanya berjarak sekira 30 meter dari bibir pantai di kawasan Ujungkarang, kelurahan Kampung Cina, kecamatan Teluksegara.

[caption id="attachment_157316" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Di atas selain melihat Samudera Hindia kita juga bisa melihat deretan meriam di setiap sudut benteng. Meriam-meriam tersebut moncongnya mengarah tepat menghadap Samudera Hindia.  Meriam inilah senjata ampuh menghalau serangan musuh yang berniat memasuki Bengkulu melalui Samudera Hindia.

[caption id="attachment_157315" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Tugu Thomas Parr dan Benteng Malborough hanya sebagian kecil peninggalan Inggris yang ada di Bengkulu. Masih banyak peninggalan lain berupa gedung kantor gubernur sekarang, makam dan peninggalan lain.

[caption id="attachment_157571" align="alignleft" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption] Setelah beberapa saat menanti pesanan kamipun datang. Dalam waktu singkat mungkin karena lapar selepas beraktifitas seharian Sate padang itupun terlahap habis. Teh kemasan botol juga ludes dan sesaat kemudian segelas kopi hitam hanya menyisakan bagian kehitaman di dasar gelas. Kamipun segera mengakhiri malam ini kembali menuju tempat penginapan kami di jalan Fatmawati.

Catatan Perjalanan Bengkulu Oktober 2009

Another Journey Another Story

Fathoni Arief

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun