Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak Mataram Kuno di Bokoharjo

24 Mei 2010   14:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_149051" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni arief"][/caption] Berkunjung ke Jogja dan menyebut candi tak hanya identik dengan Borobudur dan Prambanan saja. Ada banyak candi peninggalan Hindu Budha yang menarik dikunjungi seperti yang terdapat di kawasan Bokoharjo.

Badan saya sudah merasa meriang dan tenaga menurun drastis ketika kami memarkir sepeda motor di rumah penduduk. Namun bayangan indahnya lokasi yang belum pernah saya jangkau ini mengalahkan semuanya. Kami mulai melewati jalan berundak dari batu yang terasa licin. Meski kondisinya tak begitu ekstrem kewaspadaan penuh selangkah demi langkah diperlukan.

Kami melewati jalan yang masih tertutup rimbunnya pepohonan. Sehingga meski setengah tersengal-sengal udara segar cukup membantu. Di jalan yang kondisinya terbuka pandanganya saya tertarik dengan sebuah candi yang nampak dari atas. Candi yang berada di tengah-tengah persawahan. Berdasarkan informasi dari rekan candi tersebut bernama Candi Banyunibo.

Tak jauh dari lokasi ini pula terdapat beberapa candi lain. Awal tahu lalu tempat yang sudah pernah saya kunjungi adalah kompleks istana Boko. Situs sejarah yang menurut saya luar biasa. Betapa orang masa lalu sudah mampu membuat bangunan seperti itu.

Sebenarnya dari lokasi kami parkir lokasi candi yang kami tuju tak begitu jauh. Namun bagi yang jarang berolahraga cukup membuat ngos-ngosan juga. Dari jalan pematang sawah di kejauhan mulai nampak bangunan besar berbentuk seperti piramid yang terpotong.

[caption id="attachment_149055" align="aligncenter" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Kamipun mendekat. Inilah kompleks Candi Barong. Panas terik sudah menyapa kedatangan kami. Untung saja saya berbekal topi. Meskipun saya mulai terganggu dengan rasa panas yang berasal dari demam yang saya derita.

Suasana sekitar Candi lengang. Yang kami temui hanya dua orang anggota pramuka dan empat orang bocah kecil yang tengah bermain di pelataran Candi. Entah mereka tengah bermain apa. Dari kejauhan dengan lensa tele bisa saya lihat mereka berguling-guling dan bergerak menirukan sesuatu.

[caption id="attachment_149056" align="alignright" width="192" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Saya duduk di pinggir halaman candi sambil terus memperhatikan anak-anak kecil tersebut. Halaman candi Barong teridiri dari tiga tingkatan, makin ke belakang makin tinggi. Pada teras ketiga atau yang paling atas terdapat dua bangunan candi yang mempunyai bentuk dan ukuran hampir sama. Candi pertama berukuran 8,20 m x 8,20 m dengan tinggi 9,25 m, sedang candi kedua berukuran 8,25 m x 8,25 m dengan tinggi 9,25 m. Perbedaan antara keduanya terletak pada ragam hias dan arcanya. Berdasarkan kedua hal tersebut, candi pertama diduga dibangun untuk pemujaan dewa Wishnu, sedangkan candi kedua untuk dewi Sri. Di halaman teras kedua terdapat struktur bangunan berukuran 12,30 m x 7,80 m dan beberapa umpak batu berbentuk segi delapan. Diduga struktur tersebut merupakan pondasi bangunan pendapa dengan atap dari kayu . Sedangkan pada halaman teras pertama tidak ditemukan struktur bangunan.

Tak tahan dengan panas yang menyengat saya mencari tempat yang lebih teduh. Saya naik lagi mendekat ke dua buah candi yang teletak di bagian atas. Cukup rindang ditambah hembusan angin dalam kondisi lelah dan mengantuk orang bakal cepat terlelap di sini.

[caption id="attachment_149063" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Candi Barong, sesuai dengan namanya memiliki mempunyai hiasan berupa kala dan naga, mirip seperti barong pada pintu masuknya. Candi ini diperkirakan dibangun antara abad 9 hingga 10 ketika era keemasan Kerajaan Mataram Kuno. Bangunan candi ini diperkirakan berfungsi untuk pemujaan yang berhubungan dengan permohonan kesuburan. Masih terkait dengan legenda dewi Sri. Hal ini diperkuat dengan lingkungan di sekitar candi yang kurang subur, sehingga dengan memuja Dewi Sri diharapkan kondisi tanah bisa menjadi subur.

Melihat kami datang dengan membawa kamera anak-anak kecil yang tadi berada di pelataran mendekati kami. Mereka ingin menunjukkan sesuatu dan minta kami memotret mereka. Saya penasaran juga apa yang mereka bakal tunjukkan.

Setelah mencari-cari lokasi yang pas dan enak untuk memotret saya menunggu apa yang bakal mereka pertontonkan. Mereka berempat. Kedua anak tetap berdiri sementara dua yang lain berada pada posisi seperti orang hendak berguling. Sesaat kemudian tiba-tiba saja mereka bergerak-gerak. Seperti ada yang memasuki tubuh mereka. Gerakan antara satu dengan yang lain juga tidak sama. Tak lama dua dari mereka memegang dengan mengeluarkan kertas putih dan mengucapkan entah apa satu persatu hingga semuanya tersadarkan.

[caption id="attachment_149067" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Saya hanya mengikuti dan ketika selesai baru saya tanya apa ini? Kata salah satu dari mereka ini jathil. Sambil merogoh isi tas kamera saya mengeluarkan ampyang makanan dari kacang dan gula jawa yang kemarin saya beli sewaktu di bis. Ketika saya tawarkan makanan tersebut kontan menjadi rebutan mereka. Mereka bocah-bocah kecil yang tinggal di desa sekitar candi ini. Mereka datang dengan naik sepeda dan mereka parkir di bawah. Mereka cukup sering bermain di sini.

Matahari makin meninggi teriknya makin terasa di kulit begitu juga dengan demam yang sedari pagi melanda. Akhirnya saya menyerah kali ini hanya berkunjung di lokasi ini padahal masih ada beberapa lokasi yang tak kalah menarik salah satunya candi Ijo yang terletak di bukit tertinggi di wilayah sini. Saya harus beristirahat sebelum kembali ke ibukota.

Yogyakarta 16 Mei 2010

Fathoni Arief

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun