Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cerita dari Manokwari

16 April 2010   03:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Yopmeos, pulau kecil yang terletak di wilayah kabupaten teluk Wondama, terus terngiang di kepala saya. Semuanya berawal dari cerita Naftali mengingat masa lalunya bertahun-tahun mengabdi di pulau tersebut. Mengingat waktu saya yang terbatas Naftali mencoba mengusahakan supaya saya bisa melihat langsung kondisi pulau tersebut. Meskipun hingga pagi hari kedua saya di Manokwari masih belum ada kejelasan ketersediaan transportasi. Kendala utama adalah transportasi dari Manokwari menuju Kabupaten Teluk Wondama.

Hari kedua di Manokwari saya kembali diajak berkeliling ke pelosok pinggiran kota. Tujuan awal adalah SD Inpres Prafi Warmare. Sebuah angkot warna merah melaju menelusuri jalanan menuju Sekolah dimana Naftali mengajar.

Waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi. Siswa-siswi SD Inpres Prafi berada di kelas masing-masing. Saya masuk ke salah satu kelas dimana Naftali mengajar. Bagaimana suasana pembelajaran? Jangan dibayangkan seperti yang ada di kota-kota besar. Kelas yang hanya berisi belasan anak dan seorang guru dengan segala keterbatasan kemampuan mengajar namun memiliki tekad memajukan masyarakat sekitarnya. Suasana pembelajaran yang bahkan jika dibandingkan belasan tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar masih kalah.

Dari satu kelas saya mengunjungi kelas yang lain. Suasana yang hampir sama terlihat. Namun memang seperti inilah kondisi di pelosok. Ada banyak hal yang perlu ditingkatkan. Menutup kegiatan di SD Prafi kami sempat berfoto bersama. Untung saja saya membawa tripod sehingga bisa dengan menggunakan timer bisa mengabadikan momen-momen di sekolah ini.

Dari SD Naftali membawa saya bernostalgia dengan masa lalunya.Setelah sempat mampir kerumah mengajak istri dan anak-anaknya kami menuju wilayah pesisir pantai tempat orang-orang dari pulau Yop tinggal.

Kampung tempat orang-orang dari Yopmeos bermukim tertata cukup rapi. Sebagian besar terdiri dari rumah-rumah terbuat dari bahan kayu. Mereka adalah orang-orang yang mencari penghidupan dari hasil laut. Saya diperkenalkan tokoh masyarakat yang saat ini tinggal di Warmare, namanya Baldus Ayomi. Dari tokoh ini saya mendapat banyak kisah seputar kehidupan sehari-hari orang-orang pulau Yopmeos.

Sebagian besar penduduk Yopmeos bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat hanya menggantungkan diri pada hasil laut. Tidak ada yang mau menanam tanaman sebagai bahan makanan, seperti singkong, umbi-umbian dan lain-lain. Mereka hanya mencari hasil dari laut kemudian dijual untuk membiayai kebutuhan lain.

Mereka menukar hasil tangkapan lautnya dengan kebutuhan sehari-hari di Tanah Besar. ”Mereka berkebun agak susah, karena belum tahu cara berkebun. Biasanya mereka suka cari ikan, hasilnya dibawa ke Wasior. Di sana ditukar sama sagu, pisang, pokoknya hasil kebun,” kata Baldus Ayomi.

Menurut Baldus Ayomi, nelayan dalam mencari hasil laut masih menggunakan alat-alat sederhana. ”Nelayan masih memakai lidi sagu,” katanya. Lidi sagu itu dibuat jala yang di kalangan masyarakat disebut jala mumu. ”Jadi pagi-pagi, nelayan menangkap ikan diam-diam di atas pohon, atau di atas batu. Nanti ada ikan baru mereka tangkap. Hasil tangkapan tersebut dikeringkan nanti sudah kering baru dibawa ke Wasior atau Wondama Tanah Besar,” kata Baldus Ayomi.

Karena terlalu bergantung pada hasil laut dan itulah yang menyebabkan penduduk kesulitan memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Karena meskipun mereka pelaut makanan pokoknya juga sama dengan orang-orang Papua lain yaitu sagu. Sedangkan di Pulau Yopmeos tidak ada tanaman tersebut.

Yang menjadi permasalahan adalah ketika musim gelombang besar.Masyarakat akan kesulitan menukar ikannya dengan berbagai kebutuhan makan. Tentu saja mereka tak berani menanggung risiko untuk berlayar di tengah hantaman ombak besar. ”Dari kota ke pulau kalau menggunakan perahu dayung, biasanya butuh satu hari perjalanan. Mereka biasanya berangkat dalam satu rombongan, sekitar sepuluh orang. Tidak ada yang berani berangkat seorang diri,” kata Baldus

Mendengar cerita Naftali dan orang-orang tentang pulau Yopmeos keinginan saya bisa menuju kesana makin membesar. Namun semua masih diperjuangkan. Jadwal penerbangan pesawat perintis menuju kesana dan ketersediaan tempat duduk menjadi kendala. Meskipun Naftali masih mencari cara bagaimana menuju kesana. Meski sebenarnya bisa langsung menggunakan perahu boat namun keterbatasan waktu menjadi penghambat.

Kabupaten Teluk Wondama beribukota di Rasiei. Kabupaten ini terletak pada bagian tengkuk ”kepala burung” Bumi Papua. Luas kabupaten ini 4.966 km2. Daerahnya kaya potensi sumber daya alam, di antaranya perikanan laut, pariwisata, kehutanan, dan perkebunan.

Meski berdiri sendiri sebagai kabupaten sejak era otonomi, Teluk Wondama masih ”terisolir” dari jalan darat ke luar masuk kabupaten. Teluk Wondama hanya dapat dijangkau melalui jalur udara dan laut. Gerbang utamanya adalah Wasior, sekitar 110 mil laut dari Manokwari, Ibu Kota Papua Barat. Wasior mempunyai lapangan terbang perintis. Bandar udara Wasior berada pada ketinggian 16 meter di atas permukaan laut. Landasan pacu (runway) bandara hanya sepanjang 900 meter dengan lebar 30 meter.

Rute Manokwari-Wasior dan sebaliknya hanya dilayani satu penerbangan dalam sepekan. Pesawat yang menyambangi Wasior hanya jenis twin-otter berkapasitas 18 orang. Waktu tempuhnya kurang lebih 50 menit.

Sedang jalur laut menuju Teluk Wondama bisa dicapai melalui Pelabuhan Laut Wasior dan Windesi. Keduanya membuka rute dari dan menuju Manokwari setiap hari. Waktu tempuh dari Manokwari-Wasior berkisar antara 7-14 jam, tergantung jenis kapal.

Pulau Yopmeos bisa dijangkau dari pelabuhan Wasior dan Windesi. Rute tersebut dilayani dengan perahu kecil dan boat. Dengan perahu kecil yang harus didayung, jarak keduanya ditempuh dalam 10 jam. Sedangkan dengan boat, jarak tersebut hanya ditempuh selama sejam. Di Pulau ini di tahun 1991 Naftali memulai perjuangan luar biasa menjadi guru daerah terpencil.

Naftali ditempatkan di Pulau Yopmeos, karena ia mendaftar programSatuan Tugas Guru Daerah Terpencil (Satigu). Program kerjasama Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Sosial ini kegiatannya berupa pengiriman guru ke daerah terpencil. Para gurutidak saja melaksanakan tugas sebagai pendidik, namun juga mengemban tugas melaksanakan kegiatan kemasyarakatan yang lain.

Naftali merupakan salah seorang yang terpilih untuk mengikuti program tersebut. Sebelum diberangkatkan, ia mendapat pelatihan selama 5 pekan, 14 Januari - 1 Maret 1991. ”Kami merupakan angkatan pertama di Provinsi Irian Jaya,” katanya.

Gaji awal Naftali Rp 63.000/bulan. ”Gaji itu bagi saya sudah mencukupi. Sebab harga kebutuhan sehari-hari pada waktu itu masih relatif rendah,” katanya. Naftali menunjukkan harga sebungkus rokok hanya Rp 600. Gula hanya Rp 1500/kg, beras Rp 12.000/25 kg. ”Masih bisa mencukupi,” katanya menegaskan kembali.

Pada Oktober 1991, semua peserta program Satigu turun lapangan memulai kerja. Sebelum sampai di pulau terpencil ini, banyak kawannya yang mengatakan bahwa Yopmeos memang sangat membutuhkan guru. Tapi, “Tidak ada guru yang bersedia bertugas di sana karena menjumpai banyak kesulitan,” katanya.

Kawan-kawan Naftali banyak yang meragukan ia bisa bertahan di Yopmeos. Bahkan ada seorang rekannya yang tahu persis kondisi Yopmeos, mengatakan, ”Di Yopmeos hanya ada orang kelaparan. Di sana tidak ada makanan. Kok bapak bersedia ke sana?”

Pertanyaan tersebut dipahami Naftali mengingat ia bukan terlahir sebagai pemuda laut. Aitinu kampung halamannya adalah kawasan pegunungan. Habitat dan budaya yang ia jalani selama ini jelas berbeda dengan masyarakat yang lebih akrab dengan laut. ”Saya memang anak gunung, yang tidak tahu bagaimana cara menyeberang laut, mendayung pun juga tidak bisa,” kata Naftali.

Mendengar pertanyaan rekannya tersebut Asmuruf balik bertanya. ”Benar seperti yang Anda sampaikan. Tapi saya ingin bertanya. Di sana ada burung?”

”Tidak ada,” jawab temannya.

”Di sana ada manusia?” tanya Asmuruf.

”Ada,” jawab sang teman.

”Hidup atau mati?” kembali Asmuruf bertanya.

”Hidup,” sang teman menjawab.

”Kalau mereka bisa hidup, saya juga hidup,” kata Asmuruf menegaskan.

Naftali pun mantap untuk menuju tempat tugasnya di pulau seluas 35 km2 itu.

Ia berangkat dari Manokwari, tempat tinggal Naftali sebelum diberangkatkan ke Yopmeos. Tempat tinggalnya itu sekitar 10 kilometer dari pelabuhan. Tiket kapal kayu menuju Yopmeos, pada tahun 1991, seharga Rp 15.000. ”Kapal berangkat sekitar pukul 10 malam,” katanya.

Bersambung

Catatan Perjalanan September 2008

Fathoni Arief

(Karena rumah yang selalu membuatku tegak adalah perjalanan dengan segala kisah dan serba-serbinya)

Baca Juga tulisan sebelumnya:

- Menjejak Langkah di Bumi Papua 1

- Menjejak Langkah di Bumi Papua 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun