[caption id="attachment_52473" align="aligncenter" width="300" caption="Foto 1"][/caption]
Angkot berwarna merah itupun melaju menyusuri jalanan di pinggiran pantai sekitar Pelabuhan Ratu. Di sepanjang jalan ada beberapa penumpang yang ingin naik. Kami mempersilahkan si sopir tetap membawa penumpang. Meskipun hanya beberapa tentunya lumayan buat tambahan baginya.
Nama sopir itu Kang Kus. Kami sempat mencatat nomor ponsel. Meskpiun ponsel itu bukan miliknya, ia tidak memiliki ponsel. Ia memanggil seorang rekannya dan kamipun mendapatkan nomornya. Nomor tersebut tentunya sangatlah berguna bagi kami. Nanti setiap saat kami berencana berkunjung ke daerah ini lagi bisa kembali menyewa angkot.
[caption id="attachment_52474" align="aligncenter" width="300" caption="Foto 2"][/caption]
Menyewa angkot meskipun sedikit lebih mahal ada keuntungannya juga. Keuntungan pertama kami pasti mendapat tempat dan bisa duduk dengan lega tanpa harus bersusah payah, berhimpitan dengan penumpang lain atau bahkan harus duduk diatas kendaraan jika benar-benar penuh. Keuntungan yang lainnya setiap saat kami bisa minta berhenti jika ingin memotret hal yang kami anggap menarik.
Kami sempat singgah di tempat pelelangan ikan tak jauh dari Cibangbang. Kebetulan hari ini bertepatan dengan hari Jumat sehingga nelayan tidak melaut. Waktu seperti ini mereka manfaatkan untuk memperbaiki jaring-jaring yang biasa digunakan untuk menangkap ikan. Mereka mengecek dan memperbaiki satu bagian demi bagian jala yang teramat panjang tersebut.
[caption id="attachment_52475" align="aligncenter" width="300" caption="Foto 3"][/caption]
Di lokasi ini bisa kita jumpai perahu-perahu berwarna warni yang biasanya mereka gunakan untuk melaut. Nampak pula di lokasi ini tempat untuk mengolah ikan-ikan hasil tangkapan mereka menjadi ikan asin. Ikan-ikan tersebut dijemur dan disusun sedemikian rupa diatas rak-rak yang terbuat dari bambu. Setelah merasa cukup mengambil foto suasana sekitar tempat pelelangan kamipun melanjutkan perjalanan.
Rute selanjutnya menuju Bayah adalah melintasi kawasan hutan pinus di karet di kiri dan kanan. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati suasana hutan dengan hawa udara yang masih begitu sejuk dan alami.
Di tengah jalan ada seorang penumpang yang ikut hingga ke Bayah. Lelaki tersebut tinggal di daerah Bayah. Dari bapak-bapak yang sebenarnya orang asal Indonesia Timur itu kami mendapat banyak cerita tentang penambangan batu bara dan hutan ini.
Di kiri dan kanan sepanjang perjalanan di depan rumah penduduk memang banyak kami jumpai tumpukan benda berwarna hitam mirip arang. Ternyata itu adalah batu-bara. Tumpukan itu nantinya diambil oleh pembeli untuk diolah untuk beragam kebutuhan. Satu diantaranya dimanfaatkan menjadi briket. Mereka menambang batu bara dengan cara tradisional. Mereka menggali lubang yang dianggap terdapat batu bara jika beruntung mereka bakal mendapatkan sisa-sia tumbuhan di jaman purba yang telah mengeras dan berwarna hitam tersebut.
Keberadaan batu-bara ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Sejak jaman kolonialisme Bayah memang terkenal sebagai salah satu tempat penambangan batubara. Karena dianggap memiliki potensi yang sangat besar pada masa penjajahan Jepang dibangun jalan kereta api dari Saketi ke Bayah. Jalan yang memiliki panjang sekitar 90 km. Pembangunan yang dibangun dengan cucuran keringat dan puluhan ribu korban jiwa. Konon hingga 93.000 orang romusha mati sia-sia.
Sepanjang perjalanan saya sempat tertidur dengan pulas. Semalaman kurang tidur dan udara yang begitu segar membuat saya terlelap meskipun sambil duduk bersandar. Ternyata tidak hanya saya yang terlelap Andi, Opi dan Agus menikmati tidur diatas angkot meskipun hanya sekian puluh menit. Namun sudah cukup sekedar mengambalikan sedikit kesegaran kami.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H