Ditulis oleh: Syamsul Yakin dan Fathiyyah Salma
Dosen dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah JakartaÂ
Akhlak merupakan reaksi alami. Bagi seorang dai, akhlak adalah reaksi spontan yang ia tunjukkan kepada mad'u. Mad'u memiliki berbagai macam perilaku. Ada yang menyenangkan, ada yang sibuk dengan dirinya sendiri dan ada pula yang menguji kesabaran seorang dai. Namun, Allah meyakinkan bahwa seorang dai dapat bersikap lembut ketika berhadapan dengan mad'u apapun situasinya. Allah menegaskan dalam al-Quran, "Maka berkat rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka." (QS. Ali-Imran/3:159).
Dalam sejarah dakwah Nabi, ayat ini merupakan jaminan dari Allah bahwa tidak peduli bagaimana pun respons mad'u terhadap Nabi saat beliau berdakwah, Allah akan melembutkan hati beliau. Jaminan ini tentu juga berlaku bagi para dai pada masa kini.
Faktanya, sejarah mencatat bahwa Nabi memperlakukan orang-orang kafir Mekah dengan lembut. Nabi melihat mad'u sebagai objek dakwah dan saudara sesama manusia yang perlu dibimbing kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu, meskipun mereka melakukan pelanggaran seberat apapun, termasuk upaya boikot, Nabi tetap bersikap lembut kepada mereka.
Di Mekah, Nabi menghadapi boikot ekonomi. Mereka mengumumkan agar barang-barang yang Nabi beli tidak dijual kepadanya dan barang-barang yang Nabi jual tidak dibeli. Padahal, ciri khas mata pencaharian masyarakat Mekah adalah berdagang dan kota tersebut dikenal sebagai pusat perdagangan.
Sebagai seorang dai, Nabi merespons situasi tersebut dengan akhlak mulia. Allah berpesan, "Dan sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka" (QS. Ali Imran/3: 159).
Dari sini, kita dapat mengenali dua akhlak penting seorang dai berdasarkan petunjuk al-Qur'an, yaitu kelemahlembutan dan sifat pemaaf. Mengenai sifat pemaaf, Allah menjanjikan, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim" (QS. al-Syura/42: 40).
Akhlak berikutnya yang harus dimiliki oleh seorang dai adalah memohonkan ampunan bagi mad'u yang telah melakukan dosa besar kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam ayat, "Mohonkanlah ampunan bagi mereka" (QS. Ali Imran/3: 159).
Saat berdakwah di Thaif, Nabi diperlakukan secara zalim oleh penduduknya. Melihat hal ini, malaikat berkata, "Hai Muhammad, jika kamu mau, aku bisa menimpakan dua gunung besar ini kepada mereka." Rasulullah menjawab, "Tidak, aku berharap Allah akan melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun" (HR. Bukhari).
Akhlak seorang dai berikutnya adalah bersedia bermusyawarah dengan mad'u. Allah mengajarkan, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran/3: 159).