Mohon tunggu...
Fathiyah Sabila
Fathiyah Sabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Indonesia

Terbuka untuk diskusi atau berbagi wawasan terkait isu-isu terkini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Langkah Strategis untuk Meningkatkan Hak Perempuan di Era Modern

6 Desember 2024   15:01 Diperbarui: 6 Desember 2024   15:18 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Jika satu pria bisa menghancurkan semuanya, kenapa seorang perempuan tidak bisa mengubahnya? Mari ambil buku dan pena kita, itu adalah senjata yang paling kuat"

-Malala Yousafzai

Perempuan kerap kali termarjinalkan dalam masyarakat. Perempuan dianggap hadir hanya untuk mengurus pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Ia tidak bisa masuk ke berbagai aspek kehidupan terutama urusan publik seperti politik, ekonomi, hingga kehidupan sosial. Bahkan, dalam catatan sejarah, peran perempuan dalam gerakan-gerakan revolusioner atau peristiwa penting justru tidak dianggap. Bahkan, sempat dipertanyakan apakah perempuan sebenarnya seutuhnya manusia atau memang diciptakan hanya untuk menjadi budak bagi laki-laki? Perempuan justru dianggap sebagai objek atau properti milik laki-laki sehingga perempuan harus tunduk pada otoritas laki-laki. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya status sosial perempuan. Stereotip gender dan budaya patriarki semakin mendukung praktik ini. 

Padahal, demokrasi yang diterapkan di hampir seluruh dunia memiliki nilai kesetaraan yang sama bagi seluruh warga negara. Tetapi, perempuan kerap kali dikecualikan mendapatkan hak yang setara tersebut. Demokrasi yang menuntut keterwakilan juga masih belum berhasil merepresentasikan seluruh kelompok. Pemaknaan representasi politik ini harusnya menekankan pada representasi yang proporsional berdasarkan karakteristik, salah satunya adalah gender (Phillips, 1995). Dari sini lah gerakan feminis mencoba untuk memperjuangkan demokrasi deliberatif yang memperhatikan suara kelompok terabaikan oleh kelompok dominan (Phillips, 1998, 143). 

Gelombang pertama gerakan feminis mencoba memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan perempuan dengan laki-laki. Isu utama yang dibawa oleh gerakan feminis gelombang pertama adalah hak pilih di pemilu, tubuh perempuan adalah milik perempuan sepenuhnya bukan milik suami, dan hak kepemilikan properti bagi perempuan (Nichols & Rutherford, 2020). Di Amerika Serikat, gerakan ini sukses pada 1920 ketika Amerika Serikat secara resmi memberikan hak pilih di pemilu untuk perempuan. Namun, gerakan feminis tidak berhenti di sana. Gelombang gerakan feminis berlanjut hingga kini. Spektrum feminis juga semakin beragam mulai dari radikal hingga psikoanalisis.

Gerakan feminis membuat perubahan besar pada nasib perempuan hingga saat ini. Kini, perempuan sudah bisa masuk ke ruang publik untuk turut berkontribusi dan mewakili kaum perempuan. Di bidang politik, saat ini perempuan tidak hanya mendapat hak pilih melainkan bisa maju sebagai kandidat politik. Terlebih lagi, banyak negara sudah memberikan kuota afirmasi sebagai bentuk dukungan representasi perempuan di bidang politik. Perempuan juga sudah leluasa untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.

Namun, gerakan feminis masih perlu diperjuangkan lebih kencang lagi. Meski sudah banyak perubahan yang mendorong keterlibatan perempuan di ruang publik, masih banyak PR bagi kita terkait perempuan. Misalnya, di bidang politik, perempuan memang disiapkan kuota gender sebesar 30%. Tetapi, kuota gender tersebut hanya sampai tahap pencalonan. Ketika sampai di parlemen, kehadiran perempuan hanya 21,9% (Cakra Wikara, 2024). Hal ini hanya naik 1,4% dari angka keterwakilan perempuan di DPR hasil pemilu 2019 yakni 20,5% (Cakra Wikara, 2024). Pada pencalonan, perempuan juga kerap kali mendapat nomor urut akhir sehingga mengurangi kemungkinan terpilihnya mereka. Masalahnya, partai pun kurang menghadirkan saksi untuk mengawal caleg perempuan. Ketidaksetaraan ekonomi juga masih dirasakan oleh perempuan di Indonesia. Indeks ketimpangan gender Indonesia tahun 2023 sebesar 0,447 poin. Meski begitu, angka ini hanya mengalami kenaikan 0,012 poin dari tahun 2022. Perempuan juga masih mengalami kesenjangan dengan laki-laki dalam mendapatkan upah. Berdasarkan data BPS 2023, perempuan mendapatkan upah yang lebih rendah sebesar 28% dibanding laki-laki meski memiliki latar belakang pendidikan yang sama (Pristiandaru, 2024). Bahkan, untuk pekerjaan tertentu, misalnya nelayan perempuan, seringkali mendapatkan upah yang sangat kecil. Selain itu, seringkali perusahaan sulit memberikan hak cuti melahirkan atau menstruasi. Oleh karena itu, hak-hak perempuan masih perlu ditingkatkan. Langkah yang harus diambil adalah dengan memperkuat kebijakan afirmasi perempuan, pemberdayaan perempuan, kampanye kesadaran publik, dan dukungan ekonomi bagi perempuan.

Kebijakan afirmasi perempuan perlu diperkuat dengan pengawasan seluruh pihak. Hal ini merupakan salah satu cara penguatan kebijakan afirmasi dari segi regulasi dan hukum. Organisasi pemberdayaan perempuan harus mengawal pemenuhan kuota gender minimal 30% terutama dalam lembaga-lembaga negara. Saat ini BPHN juga sudah merekomendasikan RUU Kesetaraan Gender dan RPerpres Strategi Nasional Penurunan Kekerasan Gender pada Perempuan masuk ke daftar Prolegnas (Badan Pembinaan Hukum dan Nasional, 2024). Keterwakilan perempuan juga harus diiringi dengan kualitas perempuan yang ada di lembaga terkait sehingga menghasilkan kebijakan yang pro perempuan (Faisal et al., 2024).

Peningkatan kualitas perempuan ditingkatkan lewat pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Indikator pemberdayaan perempuan dilihat melalui banyaknya perempuan 25 tahun ke atas yang memiliki ijazah SMA atau pendidikan tinggi (Lukman, 2024). Akses perempuan ke pendidikan perlu ditingkatkan lagi dengan program beasiswa, bantuan finansial, dan fasilitas pendidikan yang memadai. Tidak hanya pendidikan formal, perempuan juga harus dilibatkan di pendidikan informal misalnya pelatihan kerja atau kursus keahlian tertentu. 

Entry point dukungan ekonomi bagi perempuan adalah wirausaha atau UMKM. 60% dari 64 juta dari usaha mikro di Indonesia dimiliki oleh perempuan (Lukman, 2024). Hal ini membuktikan perempuan punya peluang besar untuk berwirausaha guna meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan. Pemenuhan hak ekonomi perempuan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Keterlibatan aktif perempuan terbukti memiliki peran vital sebagai peningkatan pembangunan ekonomi dari tingkat lokal (Judijanto, et al., 2024).

Terakhir, ketiga langkah tersebut tidak akan berhasil sepenuhnya tanpa kampanye kesadaran publik. Kampanye bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pemberdayaan perempuan dan dukungan terkait kesetaraan gender. Kesadaran publik membuat masyarakat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif terhadap perempuan. Di masa modern ini, kampanye lebih efektif dengan media sosial. Kampanye dengan cara ini lebih efektif karena mampu menjangkau lebih banyak audiens. Semakin banyak masyarakat yang sadar akan menghilangkan stereotip gender dan diskriminasi yang menghambat perempuan. Sebagai penutup, kita perlu sadar perjuangan untuk meningkatkan hak perempuan dan membuat kesetaraan gender masih panjang. Perjuangan ini bukan hanya dilakukan oleh perempuan, melainkan seluruh pihak termasuk laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun