Hal ini sebenarnya tidak mempu menggambarkan adanya ketertinggalan jauh sekitar 250 tahun antara kekaisaran usmani dengan eropa. Penolakan dari para ulama yang merasa terancam, juga perlu dipertimbangkan. Karena Para ulama memainkan peran penting di Kesultanan Usmaniyah dalam hal ini.
Mesin cetak memiliki potensi untuk tidak hanya mendobrak standar estetika media karya, tapi juga mendemokratisasi pengetahuan di dalam karya itu sendiri. Sebagai tokoh penafsir agama, hal ini dapat mengguncang otoritas mereka. Para ulama saat itu memegang peranan sebagai penyalin Al-Qur’an, sehingga adanya mesin cetak dianggap dapat menghilangkan mata pencaharian mereka.
Selain itu juga terdapat ketidakseimbangan sumber daya manusia yang beredar di industri percetakan. Setidaknya ada 80.000 orang yang bekerja di industri manuskrip, yang meliputi penyalin, kaligrafer, dan seniman. Sementara itu, hingga tahun 1630, diperkirakan bisnis buku cetak hanya mempekerjakan 300 orang (The Beginnings of Printing in the Ottoman Capital: Book Production and Circulation in Early Modern Istanbul - N Pektaş/2015).
Menurut Ahmet T. Kuru, kesenjangan jumlah ini hanya dapat diatasi oleh kesultanan yang memiliki otoritas dan pengaruh politik yang kuat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, Mehmed Said Effendi (diplomat usmaniyah) terinspirasi untuk mendirikan sebuah percetakan bersama Ibrahim Müteferrika membutuhkan persetujuan dari otoritas birokrasi. Ia dan Müteferrika berhasil meyakinkan Wazir Agung dan Sultan Ahmed III tentang manfaat besar yang dapat diberikan oleh percetakan. Dalam esainya yang berjudul Tasheel at-Tıbaa, ia menyebutkan 10 (sepuluh) manfaat dari percetakan, yaitu :
- Percetakan mendorong pembelajaran
- Percetakan memungkinkan umat Islam untuk melihat kembali karya-karya hebat di masa lalu mereka
- Percetakan membuat tulisan yang indah dan akurat dengan tinta yang “aman dan terjamin dari kebocoran” tidak seperti penulisan dengan pena biasa
- Bentuk komoditas baru untuk perdagangan dalam pembuatan buku, yang nilainya tidak mahal
- Mencetak pengetahuan yang terorganisir dalam "ringkasan" dan "detail"
- Pencetakan “mengurangi ketidaktahuan” dengan menyebarkan buku baik di kota dan desa
- Mendorong ketertiban dan ketenangan di daerah terpencil diluar daerah kekaisaran dengan memberikan pencerahan kepada masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjadi fondasi kekuatan bagi kekaisaran
- Sebagai mitra yang lebih layak sebagai sebuah kehebatan yang diperlihatkan
- Memungkinkan “umat Islam untuk menjadi yang terdepan dalam perdagangan buku" dengan menangani buku-buku cetakan Eropa berkualitas rendah yang dijual di dalam kekaisaran, dan
- Menjamin kesultanan Turki Usmani menjadi terkenal atas percetakannya.
Namun, baik Müteferrika maupun Said Effendi sadar bahwa konfrontasi terbuka dengan para ulama akan menjadi kontraproduktif bagi pekerjaan mereka. Akibatnya, upaya untuk membujuk Grand Mufti (Abdullah Rum Effendi) terus berlanjut.
Setelah adanya persetujuan dari Grand Mufti dan adanya keputusan dari Sultan Ahmed III, kesultanan Usmani mulai mengejar ketertinggalannya dalam menyebarkan literasi di kalangan masyarakat Muslim. Namun karena Müteferrika maupun Said Effendi yang tetap harus menjalankan perannya sebagai diplomat, akibatnya perhatian mereka terpecah. Namun demikian, sektor percetakan tumbuh dalam kecepatan sedang.
Jika pada masa keemasan Islam terdapat lebih banyak buku di perpustakaan-perpustakaan Muslim daripada di Eropa, maka pada akhir abad ke-19, yang terjadi justru sebaliknya. Menurut buku tahunan statistik Utsmaniyah pertama, yang ditulis pada tahun 1897, terdapat 324 perpustakaan umum dengan total hanya 193.000 buku (74.000 manuskrip, 49.000 buku cetak, dan sisanya tidak ditentukan). Sebaliknya, di Prancis - negara dengan koleksi perpustakaan terbesar di Eropa - terdapat 7.298.000 buku di 505 perpustakaan pada tahun 1880.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H