Mohon tunggu...
Fathir Rayyan K
Fathir Rayyan K Mohon Tunggu... Penulis - Fathir Rayyan K - XI MIPA 3 (10)

Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Henri

1 Desember 2020   19:22 Diperbarui: 1 Desember 2020   19:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Henri adalah anak seorang pemilik warung bernama Bu Sutimah. Suami Bu Sutimah sudah lama meninggal sehingga kini ia membesarkan Henri sendirian. Henri adalah anak tunggal sehingga kerap kali ia merasa bosan di rumah. 

Sehabis pulang sekolah biasanya ia membantu ibunya dengan berkeliling membawa kue-kue basah dengan sepeda lalu bermain dengan temannya. Henri juga anak yang baik-baik, ia berteman dengan teman-teman yang tingkahnya tidak macam-macam sehingga Henri juga tidak aneh-aneh. Namun, bagaimana pun juga Henri punya impian dan mimpi-mimpi yang tertahan karena kondisi keluarganya.

Henri sedang berjalan pulang bersama teman-temannya, Riza dan Juan. "Nanti ke lapangan bola ga jam tiga?" Tanya Riza kenapa Juan dan Henri. Juan mengangguk mengiyakan. 

"Aku mau bantu Ibu dulu, nanti jam setengah empat mungkin." Jawab Henri. Riza dan Juan tinggal berdekatan dengan Henri, Juan adalah teman Henri yang paling berada karena kedua orang tuanya punya sawah yang luas sedangkan Riza hampir sama seperti Henri namun kedua orang tua Riza sudah tidak ada dari ia bayi jadi sekarang ia tinggal bersama tante dan om nya.

"Sampai nanti ya." Pamit Henri lalu berbelok ke gang rumahnya. Di sebelah rumahnya ibu Henri sedang menunggui warung, ada wadah penuh dengan kue basah yang siap dibawa Henri berkeliling dengan sepeda. 

"Assalamulaikum, Bu." Henri mencium tangan ibunya lalu segera masuk rumah untuk bersih-bersih. Lima menit kemudian Henri keluar dengan pakain rapih, sudah siap untuk pergi berkeliling menjual kue-kue basah ibunya. 

Beginilah rutinitas Henri biasanya, kadang ia berpikir apakah anak-anak urban di kota sana punya rutinitas seperti dirinya? Atau mereka biasa hidup ditengah ketidakpastian dan ritme kota yang begitu cepat berjalan?

Sebetulnya, ada sesuatu. Sebentar lagi Henri lulus SMA, di kotanya itu artinya hanya dua kemungkinan. Mereka akan bekerja atau menikah. Henri tidak mau dua-duanya, Henri ingin sekolah. Ia ingin kuliah di kota sana. 

Ia ingin merasakan masuk ke gedung kampus dan memakai almamater kampus yang selama ini ia hanya lihat di warnet. Henri tahu biayanya tidak murah, jadi ia tidak pernah membicarakan ini bersama ibunya. Bila pada akhirnya memang ia tidak bisa lanjut kuliah makanya Henri akan bekerja membantu ibunya. Walau hati kecilnya sesungguhnya meneriakkan hal yang lain.

Setelah jualan ibunya habis Henri kembali ke rumah untuk menaruh sepeda dan pamit kembali untuk main bola bersama teman-temannya. Seperti biasa ibunya berpesan agar jangan pulang terlalu malam, apalagi dengar-dengar di desa sebelah ada beberapa anak diculik dan dibawa entah kemana.

Sore itu Henri asik bermain bersama teman-temannya hingga azan Maghrib berkumandang, biasanya Henri langsung pulang setelah salat berjamaah bersama di masjid tapi hari itu ada pertandingan bola yang seru di TV. 

"Mau nonton bola di tempatku ga? Bapak-bapak ramai ngumpul juga jadi banyak cemilan." Ajak Bagas. Bagas adalah anak kepala desa di desa Henri, di rumahnya ada teras luas yang biasa digunakan bapak-bapak untuk nonton bareng pertandingan bola hingga debat politik. 

Keluarga Bagas juga memfasilitasi teras itu dengan TV pintar yang besar agar bisa dinikmati seluruh warga desa. Henri dan teman-temannya mengiyakan, ibunya Henri juga pasti tahu agenda hari itu dari tetangganya jadi Henri tidak begitu khawatir.

Pertandingan bola yang mengasyikkan itu ternyata selesai agak malam, karena memang baru dimulai malam juga. Untungnya tadi Henri sempat berpesan ke salah satu tetangganya agar mengabari ibunya supaya tidak khawatir, sebenarnya jarak rumah Bagas dan Henri juga dekat. Hanya berbeda satu gang. Akhirnya setelah membantu membersihkan teras yang kotor karena bungkus lontong dan puntung rokok milik bapak-bapak Henri pamit pulang, kebetulan hanya ia yang rumahnya berbeda arah sendiri dari teman-temannya tapi tidak masalah toh memang rumahnya dekat. Jalan ke rumah Henri harus melewati jalan besar yang menghubungkan desa antar desa terlebih dahulu, jadi sebetulnya agak ramai walau sudah malam.

Di pinggir jalan sebelum berbelok ke gang rumahnya Henri melihat sebuah mobil travel yang dibuka dan diatur sedemikian rupa seperti sedang mempromosikan sesuatu. 

Dekat mobil itu juga ada banner yang dipasang bertuliskan 'Masuk PTN impian di ibukota gratis? Gampang!' dan foto gedung kampus impian Henri, tulisan itu membuat Henri tertarik dan mendekat. Kok ada orang malem-malem masih disini? Batin Henri dalam hati, agak janggal. Ketika ia mendekat tiba-tiba ada seorang bapak paruh baya mendekat, "Eh adik tertarik? Wah! Kebetulan nih saya baru mau beres-beres. Yuk boleh ditanya-tanya." Sapanya dengan ramah sambil menarik kursi yang ada di dekat situ. "Eh.. iya Pak. Ini maksudnya gratis tuh apa ya?" Tanya Henri ragu-ragu. Setaunya biaya kuliah di kota kan mahal, ada biaya tinggal juga, apa ada yang sebaik itu mau membayarkan?

"Perkenalkan DIk nama saya Salman. Nah, jadi ini saya dari Lembaga Lanjut Kuliah yang sedang mencari kandidat anak-anak berbakat untuk dibiayakan kuliah di PTN idaman, Dik. Bapak lihat kamu ini umur-umur SMA... ya? Cocok banget ini program ini buat Adik." Bapak itu menjelaskan sambil menyodorkan brosur berisi nama-nama anak yang telah diberangkatkan dan berbagai kontek promosi lainnya. Henri tampak begitu tertarik dengan brosur itu, mendengar kata kuliah gratis sudah cukup untuk menggelitik telinganya. "Saya Henri Pak. Iya Pak saya kelas dua belas SMA." Jawab Henri, matanya masih terpaku membaca brosur yang begitu mengundang itu. "Syaratnya ga susah kok Dik Henri. Kamu cuma perlu kasih Bapak pas foto dan fotocopy rapor nah udah itu aja syaratnya. Gimana? Enak kan?" Pak Salman tersenyum kepada Henri. Henri membayangkan kuliah di ibukota, tinggal di ibukota, bermain bersama teman-temannya yang berasal dari segala daerah tanpa harus memikirkan biaya kuliah dan tinggal.

"Ini nanti gimana Pak cara kerjanya?" Tanya Henri, mulai yakin. "Nah gini Dik, besok kamu bawa aja tadi yang saya bilang, pas foto dan fotocopy rapor. Terus minggu depan Bapak anterin kamu ke ibukota buat ikut tes masuknya. Jangan takut tapi, soalnya ini pakai jalur dalam jadi tes nya ngga susah. Dan juga semuanya tanpa biaya, gratis tis tis!" Jelas Pak Salman, kata-katanya begitu menghipnotis Henri. "Jadi saya besok kesini lagi Pak?" Henri memastikan sekali lagi dan dibalas dengan anggukan Pak Salman. Sehabis itu Henri pulang dengan perasaan yang begitu campur aduk, bahkan hingga ia ingin tidur pun ia masih membayangkan mimpi-mimpinya kuliah di ibukota. Menyenangkan sekali. Namun, sebelum terlelap Henri terbayang muka ibunya, ibunya yang hanya punya dirinya satu-satunya. Bagaimana ia bisa membantu ibunya bila Henri pergi jauh?

Esoknya sehabis pulang sekolah Henri pergi ke pinggir jalan tempat kemarin ia bertemu Pak Salman. Anehnya hari itu tidak ada mobil travel yang besar itu, ia hanya melihat sebuah motor yang sedang bertengger. "Dik Henri!" Pak Salman memanggil dari motornya. Ia terlihat begitu was-was, mesin motornya menyala dan helmnya tidak ia buka sedikitpun. Kadang Pak Salman tampak menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada seseorang yang menguntitnya. "Bapak gapapa?" Henri bertanya. "Ah gapapa kok Dik. Nah sini coba mana berkasnya?" Pak Salman mengalihkan pembicaraan. Henri pun memberikan amplop berisi pas foto dan fotokopi rapornya. "Nah minggu depan ketemu disini lagi ya. Jam dua siang, ya." Pak Salman mengingatkan Henri. "Saya perlu bawa apa, Pak?" Tanya Henri kemudian. "Alat tulis aja atau apa yang biasa dipakai untuk ujian. Jarak ibukota kan tidak begitu jauh, jadi tidak usah bawa banyak-banyak." Jawab Pak Salman sebelum pamit dan langsung pergi dengan kecepatan tinggi. Seperti terburu-buru.

Dari hari itu Henri terus menghitung hari dengan tidak sabar. Walau begitu sejujurnya ia gelisah. Ibunya terus menerus hadir di pikirannya dan Henri tidak bisa bilang apa-apa ke ibunya karena pasti ibunya tidak setuju. Lagipula masih ada tes masuk kan? Henri akan mengabari ibunya bila ia lulus tes masuk yang dibahas Pak Salman itu. Jalur apa yang disebutkan? Jalur dalam? Pak Salman bilang itu akan mempermudah masuk ke PTN tersebut. Tapi apakah jalur itu halal dan legal?

Tibalah tepat sehari sebelum Henri akan berangkat untuk tes. Ia telah mempersiapkan beberapa materi dasar tapi sesungguhnya ia bingung juga soal seperti apa yang akan diujikan besok, Pak Salman bilang ujiannya tidak seperti ujian masuk kuliah pada umumnya. Malam itu ketika Henri sedang berberes peralatan ibunya memanggil. "Kenapa, Bu?" Henri menjawab, ibunya sedang duduk di dapur mempersiapkan ayam goreng bumbu untuk besok. "Kamu... jadi kuliah?" Tanya ibunya, tiba-tiba. Henri sedikit kaget, kenapa bisa pas sekali? Apa ibunya tahu? Tapi brosurnya saja sudah Henri buang di tempat sampah di dekat lapangan bola. Henri memutuskan untuk menjawab seadanya.

"Mau sih, Bu." Jawabnya. Ibu Henri mengangguk-angguk, "Tapi... mahal, Bu." Lanjut Henri. Ibu Henri hanya diam lalu ia berkata, "Iya. Kamu belajar aja di sekolah yang benar, nanti kalau memang bisa lanjut kuliah kita cari caranya bersama." Lalu ia pun menyuruh Henri untuk kembali ke kamar dan beristirahat. Malam itu tidur Henri gelisah. Tawaran Pak Salman memang begitu menggiurkan, tapi apakah itu rezeki atau malah cobaan?

Esoknya selama di sekolah Henri banyak diam dan berpikir. Ia sudah menyiapkan alat tulis dan hal-hal lainnya tapi ia sesungguhnya masih ragu. Makin ragu malah.

Sekolah pun selesai dah Henri segera berjalan pulang. Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat, artinya dalam dua jam ia akan berangkat ke ibukota yang selalu didamba-dambakannya itu. Henri segera masuk rumah dan berganti baju rapih, siap-siap mau berangkat. Ia merasa agak janggal, kok rumahnya sepi? Ketika ia ingin pamit kepada ibunya di warun Henri menyadari warungnya tutup. Ia pun segera mencari ibunya ke sekitar rumah dan hasilnya nihil. Henri mulai khawatir ketika tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka, "Assalamualaikum." Suara ibunya terdengar. Henri segera bergegas ke depan rumahnya dan mendapati ibunya membawa kantung plastik putih, "Ibu darimana?" tanya Henri. "Ini... dari puskesmas aja kok. Tadi pagi Ibu agak demam dikit, kata dokternya gapapa cuma disuruh minum obat dan istirahat." Mendengar jawaban ibunya Henri langsung menghambur ke pelukannya. Ia tidak mau berangkat lagi. Henri adalah satu-satunya harapan ibunya. Ia tidak mau membuat ibunya kecewa. Ibu Henri tampak heran melihat Henri yang tiba-tiba menangis dan memeluknya padahal ia tidak apa-apa. "Loh loh Nak, kenapa? Ibu sehat-sehat aja kok ini cuma flu biasa." Henri mengelap air matanya dan dia mulai bercerita.

Beberapa minggu setelah kejadian itu desa Henri heboh. Ternyata Pak Salman adalah buronan penculikan yang sedang marak terjadi. Motifnya adalah menggunakan anak-anak SMA yang minim pengetahuan akan internet dan diiming-imingi kuliah gratis di ibukota. Nanti ketika mereka sedang 'diantar' mereka akan ditutup matanya dan dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahui. Henri tentu agak kaget karena nyatanya ia hampir menjadi korban penculikan, untungnya pada hari itu Henri sadar dan tidak jadi menemui Pak Salman. Kesaksian Henri juga mempermudah polisi menemukan jejak Pak Salman yang menyelamatkan anak-anak yang diculik, ternyata mereka diperkerjakan secara paksa dan diperlakukan semena-mena. Tidak hanya itu saja keberuntungan Henri, ternyata ia mendapat beasiswa anak berprestasi dari sekolah dan akan dibiayai untuk kuliah di PTN. Walau PTN yang Henri dapat bukanlah mimpinya tapi PTN itu tidak kalah bagus dan lebih dekat ke desa Henri jadi ia tidak perlu khawatir dan bisa sering menengok ibunya. Henri mendapat pelajaran berharga, mimpi-mimpinya tidak akan berarti tanpa dukungan orang terdekatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun