STEREOTIPÂ GENDER
Gender dapat menjadi sebuah faktor penting yang membentuk konteks dan mempengaruhi hasil akhir temperamen (Blakemore, Barenbaum & Liben, 2009). Gender sudah mewarnai kehidupan manusia, bahkan sebelum manusia tersebut dilahirkan.Â
Siapapun tidak pernah meminta untuk dibesarkan dengan identitas gender tertentu, lingkunganlah yang membesarkan dan membentuk manusia untuk dapat berlaku dan berkarakter sesuai dengan tuntutan gender yang sudah dikonstruksikan sejak sebelum dilahirkan.
Baca juga :Â Stereotip Gender-Cowok Gak Boleh Nangis?
Kontrol sosial yang bersifat menentukan preferensi sikap maupun perilaku terhadap kedua gender yang dianggap ideal dan dapat diterima oleh masyarakat, dan disertai dengan konsekuensi tertentu jika seseorang bersikap atau berperilaku di luar preferensi tersebut disebut dengan stereotip gender. Stereotip juga dapat didefinisikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu.
Stereotip dapat dilukiskan seperti "gambaran dalam kepala seseorang" dan terdiri dari sejumlah sifat dan harapan yang berlaku bagi suatu kelompok. Padahal, bisa saja gambaran-gambaran tersebut sebenarnya tidak akurat, karena stereotip merupakan suatu generalisasi tentang sifat-sifat yang dianggap dimiliki oleh orang-orang tertentu tanpa perlu didukung oleh fakta objektif.Â
Baca juga :Â Stereotip Gender dalam Animasi Spongebob dan Superhero
Misalnya, perempuan cenderung cerewet, sedangkan laki-laki bersifat rasional. Sebenarnya, hal tersebut dapat dikatakan benar, tetapi justru menyesatkan karena stereotip menjadi tidak perlu konsisten. Ini pula yang menyebabkan stereotip tidak mudah untuk diubah.Â
Stereotip memberikan arah pada perilaku seseorang karena sering kali menentukan cara seseorang memandang suatu kelompok atau cara seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Stereotip gender cukup luas karena anak-anak kecil belum memahami variasi individual dalam hal maskulin dan feminin. Ketika seorang anak berusia 5 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan memberikan stereotip pada laki-laki sebagai penguasa dan istilah negatif lainnya, seperti kejam. Sedangkan, untuk anka perempuan istilahnya lebih positif, misalnya ramah, lemah lembut,dll. Dari contoh ini, sekaligus menjelaskan bahwa stereotip sudah mulai ada sejak masa anak-anak.
Baca juga :Â Apa "Hilo Teen" Iklan yang Mendukung Stereotip Gender?
Anak laki-laki dan perempuan didorong untuk mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang berbeda. Seperti anak laki-laki tidak boleh cepat menangis, sedangkan untuk anak perempuan pada usia yang sama dikatakan biasa jika menangis. Pandangan tentang laki-laki seperti bersuara keras, bertubuh atletis, agresif, kasar an kurang berperasaan.Â
Anak laki-laki juga diharapkan lebih pintar dari anak perempuan. Sebaliknya, anak perempuan diharapkan menjadi makhluk yang patuh atau mau mengalah, emosional, rapi dan bersih. Mereka tidak dibenarkan untuk mengekspresikan pendapatnya. Anak perempuan lebih didorong untuk memilih seni dan bahasa serta diharapkan lebih menyukai aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan peran sebagai ibu.
Stereotip yang banyak sekali kita jumpai misalnya anak laki-laki dicap lebih kuat dan anak perempuan lebih lemah. Atau laki-laki menyukai sifat maskulin dan anak perempuan menyukai sifat feminin.Â
Stereotip bisa merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Tentu saja karena bersifat negatif, stereotip gender menjadi sesuatu yang dapat memberatkan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan jelas hal ini merupakan sebuah hak manusia yang tidak seharusnya terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H