Pada Mei 2024, sebanyak 233 karyawan Pabrik Sepatu Bata harus menghadapi kenyataan pahit, kehilangan pekerjaan karena penutupan pabrik secara mendadak. Keputusan PHK massal ini tidak hanya mengguncang stabilitas finansial mereka, tetapi juga membawa dampak emosional dan sosial yang berat. Banyak karyawan merasa tidak mendapatkan keadilan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pemberian kompensasi yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Kasus ini menjadi cerminan nyata bagaimana ketidakadilan dalam PHK dapat merusak kehidupan seseorang. Melalui sudut pandang Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, kita dapat memahami dampak psikologis yang dialami para karyawan yang menjadi korban PHK tersebut (Mustofa, 2022).
Ketika Kebutuhan Dasar Tidak Terpenuhi
Menurut Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan, tempat tinggal, dan kesehatan merupakan fondasi dasar kehidupan manusia yang harus dipenuhi (Muazaroh & Subaidi, 2019). Ketika seorang karyawan kehilangan pekerjaan karena PHK, sumber pendapatan utama mereka turut hilang. Dalam laporan tentang PHK massal di Pabrik Sepatu Bata, sebagian besar karyawan menghadapi ancaman ketidakstabilan finansial. Mereka yang sebelumnya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan pekerjaan kini harus berjuang keras hanya untuk makan, membayar sewa rumah, atau membiayai pendidikan anak-anak. Situasi ini menciptakan tekanan emosional yang besar. Stres berkepanjangan karena kehilangan pendapatan dapat memicu gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan atau bahkan depresi.
Ketidakamanan: Ancaman yang Tak Terlihat
PHK juga mengancam rasa aman seseorang, baik secara ekonomi maupun sosial. Ketidakpastian tentang menemukan pekerjaan baru menimbulkan rasa cemas yang mendalam. Dalam kasus ini, perusahaan tidak memberikan kompensasi sesuai dengan undang-undang, yang memperburuk rasa ketidakadilan. Karyawan yang tidak mendapatkan dukungan dari perusahaan merasa kehilangan pegangan, tidak hanya pada pekerjaan tetapi juga pada harapan masa depan. Dampak ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga keluarga yang bergantung pada penghasilan karyawan tersebut.
Kehilangan Rasa Memiliki
Tempat kerja bukan hanya ruang untuk mencari nafkah; bagi banyak orang, ia juga menjadi ruang sosial. Hubungan dengan rekan kerja dan komunitas kantor memberikan rasa cinta dan dukungan emosional. Ketika PHK terjadi, hubungan ini ikut terputus. Karyawan yang terkena PHK massal sering merasa terisolasi, kehilangan rasa memiliki, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Hal ini membuat mereka semakin sulit bangkit dari tekanan yang mereka alami.
Harga Diri yang Terancam
Pekerjaan tidak hanya memberikan pendapatan tetapi juga harga diri. Ketika seorang karyawan kehilangan pekerjaan, terutama dalam kondisi yang tidak adil, mereka cenderung merasa tidak dihargai. PHK massal di Pabrik Sepatu Bata yang dilakukan tanpa komunikasi yang empati menciptakan luka psikologis mendalam. Para karyawan merasa gagal memenuhi ekspektasi keluarga dan masyarakat. Perasaan ini memperburuk penurunan rasa percaya diri mereka, membuat mereka merasa tidak berdaya dan tidak layak.
Aktualisasi Diri yang Tertunda
Bagi sebagian orang, pekerjaan adalah jalan untuk mengembangkan potensi diri. Namun, PHK menghambat proses ini. Alih-alih berkembang, karyawan yang kehilangan pekerjaan justru merasa stagnan dan kehilangan arah. Ketika kebutuhan dasar hingga harga diri terancam, aktualisasi diri menjadi semakin sulit dicapai. Akibatnya, individu merasa kehilangan kesempatan untuk meraih tujuan hidup mereka.
Membangun Kembali Kesejahteraan Karyawan
Ketidakadilan dalam PHK tidak hanya meninggalkan dampak psikologis yang berat tetapi juga mengancam stabilitas sosial. Oleh karena itu, perusahaan memiliki tanggung jawab moral untuk meminimalkan dampak ini. Dukungan psikologis, seperti konseling dan pelatihan ulang, dapat membantu karyawan bangkit. Selain itu, transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan pemberian kompensasi yang adil adalah langkah penting untuk menciptakan rasa keadilan.
PHK memang sering tak terhindarkan, tetapi jika dilakukan dengan empati dan keadilan, dampaknya bisa diminimalkan. Bagaimanapun, pekerja bukan sekadar alat produksi; mereka adalah manusia dengan kebutuhan yang harus dihormati dan dipenuhi.
Penulis: Farah Nur Aulia
Editor: Fathimatuz Zahroh
Referensi
Muazaroh, S., & Subaidi. (2019). Dalam Pemikiran Abraham Maslow. Al-Mahazib, 7(1), 17–33.
Mustofa, A. Z. (2022). Hierarchy of Human Needs: A Humanistic Psychology Approach of Abraham Maslow. Kawanua International Journal of Multicultural Studies, 3(2), 30–35. https://doi.org/10.30984/kijms.v3i2.282
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H