Temu merupakan sebuah platform marketplace milik Tiongkok yang berpusat di Boston, Amerika Serikat. Aplikasi ini diluncurkan pada September 2022 dan digunakan sebagai platform yang menyediakan tempat bagi konsumen untuk menelusuri dan membeli produk yang ditawarkan oleh berbagai penjual.
Sejak diluncurkan di Amerika Serikat, Temu telah menjadi platform dengan pertumbuhan tercepat. Dalam dua bulan terakhir, tepatnya sejak September 2022, aplikasi ini telah mencatatkan diri sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh di negara tersebut.Â
Pertumbuhan yang signifikan ini dapat dimaklumi karena Temu secara aktif memberikan berbagai promosi kepada konsumen. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan  memberikan barang gratis kepada pengguna yang mempromosikan aplikasi di media sosial dan mengundang teman serta keluarga mereka untuk mendaftar.
 Aplikasi Temu pada dasarnya tidak jauh berbeda dari aplikasi marketplace lainnya, berperan sebagai perantara yang menghubungkan penjual dengan pembeli untuk melakukan transaksi.Â
Fungsinya tampak serupa dengan platform e-commerce lainnya yang sudah ada. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi permasalahan dari kehadiran aplikasi ini? Jika memang fungsinya mirip dengan aplikasi serupa, mengapa negara kita perlu merasa khawatir?
Temu menerapkan model bisnis yang dikenal sebagai F2C (Factory to Consumer), di mana produsen atau pabrik dapat menjual produk mereka langsung kepada konsumen tanpa melibatkan perantara seperti distributor atau pengecer.Â
Dengan menerapkan pendekatan ini, Temu mampu menawarkan harga barang yang jauh lebih kompetitif. Bahkan, biasanya berkali-kali lipat lebih murah dibandingkan dengan platform e-commerce lainnya.
Seperti yang kita ketahui, UMKM merupakan salah satu elemen terpenting bagi negara kita. Di Indonesia, sebagian besar UMKM terdiri dari usaha rumah tangga yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.Â
Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2019, terdapat sekitar 65,4 juta UMKM di Indonesia. Dengan jumlah unit usaha sebanyak itu, UMKM mampu menyerap hingga 123,3 ribu tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa UMKM memiliki dampak dan kontribusi yang signifikan dalam mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.
Dan tidak sedikit pula UMKM tersebut yang merupakan reseller atau pengecer. Jika Temu resmi beroperasi di Indonesia, ini akan berdampak buruk bagi mereka. Banyak dari mereka yang mungkin terpaksa menutup usaha eceran mereka karena tidak dapat bersaing dengan e-commerce yang dapat menjual barang dengan harga lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan oleh reseller.Â
Situasi ini juga berpotensi menyebabkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia, mengingat mereka terpaksa menutup usaha dan melakukan PHK terhadap beberapa karyawan yang sebelumnya mereka rekrut.
Kasus ini serupa dengan yang dialami oleh TikTok Shop. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan oleh aplikasi Temu ini lebih luas dan mencakup jangkauan yang lebih besar.. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Kementerian Koperasi dan UKM telah memastikan bahwa aplikasi Temu tidak akan beroperasi di Indonesia karena dianggap sebagai ancaman serius bagi UMKM. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga menolak dengan tegas keberadaan aplikasi Temu, menilai bahwa aplikasi tersebut dapat merusak ekosistem UMKM.
Kita juga tidak boleh tinggal diam dan menganggap remeh situasi ini. Mungkin kita berpikir, jika kita bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah, mengapa hal tersebut tidak dilakukan? Namun, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menyetujui hal ini, terutama jika yang terkena dampak adalah UMKM di negara kita. Pemerintah tidak hanya fokus pada kepentingan konsumen saja.
 mereka juga harus mempertimbangkan keputusan mereka agar produsen tetap terlindungi. Hal ini penting agar ketersediaan lapangan kerja yang disediakan oleh produsen tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H