Mohon tunggu...
fathia hammany
fathia hammany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga

senang berbicara, sedikit senang menulis, suka dengan dunia fashion dan lifestyle

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Integrasi Makro-Mikro di Lingkungan Pesantren

16 Desember 2024   23:04 Diperbarui: 16 Desember 2024   23:04 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pamflet Pemilihan Lurah Pondok. Sumber: instagram @komplek.hindunbeta

Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, mulai dari perilaku sosial, interaksi sosial, dan hubungan sosial dalam masyarakat. Menjadi seorang santri sekaligus mahasiswa sosiologi tentu memaksa saya tanpa sadar untuk memahami masyarakat dan perilaku sosial manusia dari berbagai sudut pandang. Kali ini saya akan membahas bagaimana aspek-aspek mikro dan makro serta integrasi keduanya dalam lingkup pondok pesantren, salah satunya di pondok pesantren Krapyak ini. Di pondok pesantren, integrasi mikro dan makro ini sangat relevan untuk memahami dinamika kehidupan sehari-hari santri dan bagaimana mekanisme struktur pesantren membentuk perilaku sosial para santrinya.

Aspek-Aspek Mikro

Menurut Ritzer (Alimandan: 1992), perspektif mikro dalam sosiologi adalah pendekatan yang berfokus pada pemahaman bagaimana individu membentuk dan memelihara makna sosial melalui interaksi mereka dalam kelompok yang relatif kecil. Perspektif ini mencakup beberapa aspek seperti interaksi sosial, agen sosial, struktur mikro (norma, peran, dan status sosial yang berpengaruh), dan proses sosial. Interaksi sosial di pesantren adalah inti dari kehidupan sehari-hari santri. Para santri terbiasa melakukan hampir seluruh rutinitasnya bersama-sama. Hal ini sudah menjadi tradisi dan adat di lingkungan pesantren, mulai dari makan, pergi mengaji, bersekolah, mencuci, sholat berjamaah, muthala'ah, dan tidur. Adanya pola 'serba bersama' ini terbentuk disebabkan mereka hidup hanya didampingi oleh ustadz dan teman-teman, bukan dengan orang tua sehingga tumbuhlah pemahaman terhadap nilai-nilai gotong royong, kebersamaan dan solidaritas.

Kebiasaan melakukan aktivitas serba bersama ini memperkuat rasa kebersamaan dan menjadi lebih saling mengenal satu sama lain. Selain itu fasilitas yang disediakan oleh pesantren memang dirancang untuk segala aktivitas yang sifatnya kolektif sehingga makin memperkuat rasa kebersamaan satu sama lain. Penanaman nilai dan norma seperti yang telah disebutkan tentu membutuhkan pengawasan dan bimbingan langsung dari ustadz atau guru-guru mereka. Maka dari itu, terbentuklah struktur mikro (munadzomah) seperti adanya musyrif (pembimbing asrama), mudabbiroh (pengurus keamanan dan ketertiban asrama), pengurus harian, dan lain-lain. Para asatidz merupakan agen sosial dari struktur tersebut. Mereka berperan penting sebagai mentor dan figur sentral dalam proses sosialisasi dan pembentukan identitas santri.

Gambar anak-anak pulang mengaji. Sumber: Dokumen pribadi.
Gambar anak-anak pulang mengaji. Sumber: Dokumen pribadi.

Aspek-Aspek Makro

Pendekatan makro dalam sosiologi adalah cara untuk memahami karakterirtik umum masyarakat melalui beberapa aspek yaitu struktur sosial, sistem dan proses sosial, budaya dan ideologi, aktor sosial, dimensi ekonomi dan politik, serta konflik dan integrasi. Pesantren sebagai institusi pasti memiliki struktur sosial serta hierarki kekuasaan untuk mewariskan nilai-nilai serta norma-norma dari generasi ke generasi seperti ketaatan, disiplin, dan solidaritas. Biasanya alur hierarkinya seperti ini: Kyai (pemimpin yayasan) - putra/putri Kyai - lalu para asatidz. Disinilah terjadinya distribusi kekuasaan. Apabila pemimpin yayasan wafat atau sudah sepuh dan kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk mengurus yayasan, biasanya semua hal yang berkaitan dengan yayasan akan dialihkan kepada keturunannya atau kerabat pemimpin tersebut untuk melanjutkan kiprah pemimpin tersebut. Kemudian untuk posisi para asatidz ini hanyalah sebagai badal atau pengganti apabila Kyai atau anak Kyai berhalangan mengajar pengajian saja, bukan untuk mengambil alih pondok. Yang jelas, mereka semua bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk perilaku dan moral santri-santri berbasis keagamaan.

Pamflet Pemilihan Lurah Pondok. Sumber: instagram @komplek.hindunbeta
Pamflet Pemilihan Lurah Pondok. Sumber: instagram @komplek.hindunbeta

 Adapun budaya dan ideologi khas pesantren selain kebersamaan adalah zuhud. Sebenarnya, zuhud adalah nilai pokok ajaran Islam, namun pesantren menjadikan sikap ini menjadi prinsip yang khas. Zuhud adalah sikap mengendalikan diri dari godaan duniawi dan metrialisme yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan spiritual. Santri didorong untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan, seperti mengenakan pakaian yang sederhana, mengonsumsi makanan yang cukup, dan tidak mengejar kemewahan. Selain itu konsep zuhud disini juga diimplementasikan dalam bentuk ibadah yang khusyuk, memperbanyak zikir, dan puasa sebagai tameng agar tidak menjadi hubbuddunya (cinta dunia). Saya atau mungkin kalian yang pernah berada di lingkungan pondok, sering melihat santri yang ketika habis dijenguk, pasti mereka langsung membagi-bagikan makanan yang dibawakan oleh orang tua mereka. Sikap filantropi ini telah menjadi budaya mereka dan ini juga termasuk sikap zuhud dalam mengelola harta.

Foto sikap filantropi. Sumber: dokumen pribadi 
Foto sikap filantropi. Sumber: dokumen pribadi 

Selain sikap zuhud dan filantropi, pesantren juga memiliki budaya yang khas yaitu menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan badan ketika Kyai/ Bu Nyai lewat. Para santri juga terbiasa berjalan menggunakan lutut saat akan masuk ke majelis pengajian Kyai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ta'zhim dan tawaddhu' para santri kepada sang guru. Perilaku ini dilakukan sesuai dengan yang tertuang dalam kitab Ta'lim Muta'alim: "Termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya, memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya, berbicara macam-macam darinya, dan menanyakan hal-hal yang membosankannya, cukuplah dengan sabar menanti diluar hingga ia sendiri yang keluar dari rumah".

Gambar membungkukkan badan sebagai bentuk hormat.
Gambar membungkukkan badan sebagai bentuk hormat.

Integrasi Mikro-Makro Sosiologi di Pesantren

Perspektif mikro-sosiologi dan makro-sosiologi keduanya memiliki peran penting dalam memahami dinamika di pondok pesantren. Menurut George Ritzer, perspektif mikro dalam sosiologi berfokus pada bagaimana individu membentuk dan memelihara makna sosial melalui interaksi mereka dalam kelompok kecil. Di pondok pesantren, ini tercermin dalam interaksi sehari-hari santri yang mencakup makan bersama, pergi mengaji, bersekolah, mencuci, sholat berjamaah, muthala'ah, dan tidur bersama. Tradisi ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan pesantren, di mana santri hidup bersama teman-teman dan ustadz, tanpa pendampingan orang tua. Pola hidup kolektif ini membentuk pemahaman santri tentang nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas.

Interaksi yang dilakukan bersama-sama memperkuat rasa kebersamaan dan saling mengenal satu sama lain. Fasilitas di pesantren pun dirancang untuk mendukung aktivitas kolektif, makin memperkuat rasa kebersamaan di antara santri. Penanaman nilai dan norma ini membutuhkan pengawasan dan bimbingan langsung dari ustadz dan guru-guru mereka. Terbentuklah struktur mikro di pesantren seperti musyrif (pembimbing asrama), mudabbiroh (pengurus keamanan dan ketertiban asrama), dan pengurus harian yang memastikan tatanan kehidupan santri berjalan dengan baik. Para ustadz ini berperan sebagai agen sosial, mentor, dan figur sentral dalam proses sosialisasi serta pembentukan identitas santri.

Di sisi lain, perspektif makro-sosiologi memberikan pandangan yang lebih luas mengenai pesantren sebagai institusi sosial. Pendekatan ini meneliti struktur sosial yang lebih besar, sistem dan proses sosial, budaya dan ideologi, serta dimensi ekonomi dan politik yang mempengaruhi pesantren. Pesantren memiliki struktur sosial yang jelas dan hirarki kekuasaan yang bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai serta norma-norma dari generasi ke generasi. Kyai sebagai pemimpin yayasan memiliki posisi tertinggi dalam hierarki ini, diikuti oleh putra/putri kyai dan para ustadz. Struktur hierarkis ini memastikan adanya distribusi kekuasaan yang merata dan kesinambungan dalam pengelolaan pesantren, terutama ketika pemimpin yayasan tidak lagi dapat mengurus yayasan karena usia atau kondisi fisik.

Gambar santri usai majelis sholawat. Sumber: dokumentasi pribadi.
Gambar santri usai majelis sholawat. Sumber: dokumentasi pribadi.

Budaya dan ideologi khas pesantren juga mencakup konsep zuhud, yaitu sikap hidup sederhana yang menekankan pengendalian diri dari godaan duniawi dan materialisme. Santri didorong untuk hidup sederhana, tidak berlebihan dalam berpakaian, makan, dan perilaku sehari-hari. Konsep zuhud juga diimplementasikan dalam ibadah yang khusyuk, zikir, dan puasa sebagai tameng dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Selain itu, pesantren memiliki budaya filantropi, di mana santri terbiasa membagikan makanan atau barang yang mereka miliki kepada teman-temannya sebagai wujud kedermawanan dan kebersamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun