Selain sikap zuhud dan filantropi, pesantren juga memiliki budaya yang khas yaitu menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan badan ketika Kyai/ Bu Nyai lewat. Para santri juga terbiasa berjalan menggunakan lutut saat akan masuk ke majelis pengajian Kyai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ta'zhim dan tawaddhu' para santri kepada sang guru. Perilaku ini dilakukan sesuai dengan yang tertuang dalam kitab Ta'lim Muta'alim: "Termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya, memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya, berbicara macam-macam darinya, dan menanyakan hal-hal yang membosankannya, cukuplah dengan sabar menanti diluar hingga ia sendiri yang keluar dari rumah".
Integrasi Mikro-Makro Sosiologi di Pesantren
Perspektif mikro-sosiologi dan makro-sosiologi keduanya memiliki peran penting dalam memahami dinamika di pondok pesantren. Menurut George Ritzer, perspektif mikro dalam sosiologi berfokus pada bagaimana individu membentuk dan memelihara makna sosial melalui interaksi mereka dalam kelompok kecil. Di pondok pesantren, ini tercermin dalam interaksi sehari-hari santri yang mencakup makan bersama, pergi mengaji, bersekolah, mencuci, sholat berjamaah, muthala'ah, dan tidur bersama. Tradisi ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan pesantren, di mana santri hidup bersama teman-teman dan ustadz, tanpa pendampingan orang tua. Pola hidup kolektif ini membentuk pemahaman santri tentang nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas.
Interaksi yang dilakukan bersama-sama memperkuat rasa kebersamaan dan saling mengenal satu sama lain. Fasilitas di pesantren pun dirancang untuk mendukung aktivitas kolektif, makin memperkuat rasa kebersamaan di antara santri. Penanaman nilai dan norma ini membutuhkan pengawasan dan bimbingan langsung dari ustadz dan guru-guru mereka. Terbentuklah struktur mikro di pesantren seperti musyrif (pembimbing asrama), mudabbiroh (pengurus keamanan dan ketertiban asrama), dan pengurus harian yang memastikan tatanan kehidupan santri berjalan dengan baik. Para ustadz ini berperan sebagai agen sosial, mentor, dan figur sentral dalam proses sosialisasi serta pembentukan identitas santri.
Di sisi lain, perspektif makro-sosiologi memberikan pandangan yang lebih luas mengenai pesantren sebagai institusi sosial. Pendekatan ini meneliti struktur sosial yang lebih besar, sistem dan proses sosial, budaya dan ideologi, serta dimensi ekonomi dan politik yang mempengaruhi pesantren. Pesantren memiliki struktur sosial yang jelas dan hirarki kekuasaan yang bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai serta norma-norma dari generasi ke generasi. Kyai sebagai pemimpin yayasan memiliki posisi tertinggi dalam hierarki ini, diikuti oleh putra/putri kyai dan para ustadz. Struktur hierarkis ini memastikan adanya distribusi kekuasaan yang merata dan kesinambungan dalam pengelolaan pesantren, terutama ketika pemimpin yayasan tidak lagi dapat mengurus yayasan karena usia atau kondisi fisik.
Budaya dan ideologi khas pesantren juga mencakup konsep zuhud, yaitu sikap hidup sederhana yang menekankan pengendalian diri dari godaan duniawi dan materialisme. Santri didorong untuk hidup sederhana, tidak berlebihan dalam berpakaian, makan, dan perilaku sehari-hari. Konsep zuhud juga diimplementasikan dalam ibadah yang khusyuk, zikir, dan puasa sebagai tameng dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Selain itu, pesantren memiliki budaya filantropi, di mana santri terbiasa membagikan makanan atau barang yang mereka miliki kepada teman-temannya sebagai wujud kedermawanan dan kebersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H