Mall seringkali mencerminkan status sosial dan bagaimana gaya hidup suatu kelompok masyarakat. Di banyak tempat, mall menjadi simbol kemewahan dan keistimewaan, dimana orang dapat menunjukkan status ekonomi mereka melalui barang-barang belanja, restoran atau kafe mewah, juga outfit yang mereka kenakan untuk pergi kesana. Mall juga menciptakan suatu tempat berkumpul yang nyaman bagi berbagai lapisan masyarakat. Mall mampu menarik pengunjung dari berbagai kalangan sosial, meskipun konsumerisme tetap menonjol.
Sore ini, saya sedang menghabiskan waktu di sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar dan mewah di tengah Kota Yogyakarta, tepatnya di Ambarrukmo Plaza atau disingkat Amplaz. Ambarrukmo plaza telah menjadi tempat tujuan belanja bagi para pengunjung dan wisatawan dari Yogyakarta, Jawa Tengah, bahkan internasional. Ambarrukmo plaza menawarkan lebih dari 230 brand lingkup lokal juga internasional.
Dapat dilihat dari judul artikel saya, tulisan ini akan membahas stranger eyes observation dengan objek observasinya adalah dua individu yang ada dalam mall tersebut. Keberadaan dua individu ini berada di tempat yang berbeda, namun mereka bersebelahan, hanya tertutup oleh dinding kaca pembatas.
 Individu yang pertama saya lihat adalah seorang perempuan muda yang mengenakan hijab, stripes cardigan, celana berwarna hitam, dan sepatu sneakers berwarna putih. Perempuan ini sedang duduk menyantap nasi dan ayam goreng bersama dua orang temannya. Mereka duduk di sebuah lounge  di dalam mall ini. Perempuan ini makan menggunakan plastik di tangannya sebagai sarung tangan, pun hal ini dilakukan oleh kedua orang temannya. Menurut saya, mereka menggunakan plastik sebagai sarung tangan karena mereka malas beranjak untuk cuci tangan di wastafel. Perempuan tersebut dan kedua temannya makan sambil membicarakan tugas-tugas kuliah yang tidak ada akhirnya. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia campur Jawa. Obrolan ini juga diselingi dengan tawa dan candaan-candaan.
Berikutnya, individu kedua yang saya lihat yaitu seorang perempuan muda yang sedang menikmati sushi di sebuah restoran mewah bersama tiga orang temannya. Perempuan ini mengenakan hijab dengan semacam hiasan di hijabnya, gamis bermerek, jam tangan mewah, dan tas bermerek. Teman-temannya pun menggunakan pakaian dan aksesoris yang sama. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia campur Inggris. Sebelum menyantap sushi, mereka sibuk berfoto ria dahulu, karena mungkin untuk bahan konten mereka. Saya rasa, mereka ini adalah sekelompok selebgram atau influencer di sebuah media sosial.
Dari observasi yang telah saya lakukan, dua individu tersebut berinteraksi dengan teman-temannya dalam konteks yang sangat berbeda. Perempuan pertama, yang sedak duduk bersama teman-temannya sambil makan nasi dan ayam goreng menunjukkan interaksi yang santai dan akrab. Mereka menggunakan bahasa Indonesia campur Jawa dan saling bercanda yang menunjukkan keakraban satu sama lain. Mereka berinteraksi berdasarkan kesamaan nasib atau situasi yang sedang dialami, yakni beratnya tugas-tugas kuliah.
 Di sisi lain, perempuan kedua dan teman-temannya yang menikmati sushi di sebuah resto mewah, menunjukkan interaksi yang lebih formal dan mungkin lebih berfokus pada penampilan. Mereka sibuk berfoto ria sebelum makan, yang menandakan bahwa perhatian mereka terhadap konten media sosial itu cukup besar. Interaksi mereka atau berkumpulnya mereka mungkin didasarkan pada status sosial juga pekerjaan yang sama sebagai konten kreator di sebah media sosial.
Kedua individu ini bertindak sesuai dengan peran mall sebagai tempat berkumpul yang inklusif dan simbol status sosial. Hanya saja perbedaanya terletak pada gaya hidup yang mereka jalani. Satunya menjalani gaya hidup yang sederhana dan simple, satunya lagi menjalani gaya hidup yang mewah dan cukup fancy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H