Maraknya pengemis dan Pengemis, di ruang lingkup ibukota memang tak asing lagi. Pemda setempat bahkan sudah membuat aturan tertulis melarang hal tersebut, namun tetap saja tidak berjalan dengan baik.
Pemandangan anak-anak kecil di jalanan, stasiun, terminal, pasar, dan tempat umum lainnya sudah sangat biasa bagi masyarakat. Beberapa dari mereka terkadang jengkel, dan menuding ini salah satu menjadi sebab kemacetan. Pemda Depok khususnya, dulu pernah memasang spanduk dipersimpangan lampu merah menuju arah Jembatan Juanda. Tepatnya setahun lalu, namun kini entah kemana perginya spanduk itu, seperti entah kemana juga peraturan yang telah ditetapkan.
Beberapa bulan lalu, sempat terealisasikan kebijakan ini. Tak ada lagi pengemis ataupun orang yang meminta-minta di jalanan. Namun selang beberapa minggu saja, hal itu muncul lagi berkedok penjualan tisu yang dijual oleh anak kecil. Hal ini terus saja berlanjut hingga sekarang, bahkan ada diantara mereka yang hanya memberikan secarik kertas berisi tulisan kepada masyarakat yang sedang menunggu di stasiun ataupun terminal. Menit berikutnya mereka mengambil kembali kertas tersebut, lalu kita harus memberikan uang sebagai ganti telah membaca tulisan yang ada dalam kertas. Tidak begitu jelas memang, namun secara keseluruhan terlihat seperti bacaan doa-doa pendek.
Tidak ada penangan khusus tentang peristiwa ini, karna yang dilarang oleh pemerintah hanya orang yang meminta-minta, bukan berjualan tisu ataupun bentuk kasus tadi. Sebenarnya semua itu merupakan kasus yang serupa, karna mereka tetap memaksa masyarakat untuk mengasihaninya. Terlebih pelakunya adalah anak kecil, bahkan ada juga ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu-ibu ini duduk di lesehan jembatan penyebrangan, ada yang menjual tisu, masker, air mineral, lalu menyodorkan barang-barang tersebut kepada masyarakat yang melewati jembatan itu, mau tidak mau, mungkin karna kasihan, beberapa dari mereka terpaksa membeli. Beberapanya lagi menolak secara halus dengan tangan.
Siapa yang bertanggung jawab?
Yang jadi perhatian adalah, siapa dalang dari semua ini? Kenapa tega membiarkan anak-anak dibawah umur yang selayaknya mendapatkan pendidikan yang pantas. Namun mereka juga harus bekerja keras membanting tulang, kemana orang tua mereka? Apakah mereka dipaksa bekerja atau karna keinginan sendiri? Tidak inginkah mereka mengecap pendidikan dengan duduk di bangku sekolah?
Semua pertanyaan tersebut pastilah ingin diketahui masyarakat setempat tentang kejelasannya. Kebanyakan dari anak-anak tersebut masih mengenakan seragam sekolah, merah putih, seperti baru saja pulang sekolah.
Depok, Ketika ditemui (28/03/16) ada dua orang anak laki-laki yang berjualan tisu. Satunya dekat Kober, Stasiun UI. Satunya lagi di jembatan penyebrangan dari Detos menuju Margo. Keduanya anak sekolah dasar (SD) ini baru pulang sekolah, dan langsung berjualan. Diketahui bocah laki-laki kelas 6 SD yang berjualan di stasiun UI ini, bernama Fikri. Dia mengaku habis ulangan di sekolahnya, “saya nanti belajarnya dirumah aja kak. Malam harinya” jelas bocah yang bersekolah di MSI itu. Fikri berdomisili di daerah Beji, Depok.
Anak kedua bernama Kiky. Ia berjualan di jembatan penyebrangan Detos menuju Margo, Kiky kelas 5 SD di salah satu madrasah di kota Depok. Ia berdomisili di daerah Kober, Depok.
Kedua anak ini, mengaku berjualan tisu karna ingin membantu keuangan orang tua mereka. Ide ini merupakan inisiatif mereka sendiri, kiky bahkan terang-terangan mengatakan, setoran jualan ini akan diberikan pada mamanya, dipergunakan untuk membayar kontrakan rumah.
Sangat disayangkan memang, generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan yang layak sudah harus mencari nafkah sendiri. Bisa saja yang jadi sumber kesalahan adalah orangtuanya, yang membiarkan hal ini terjadi. Namun karna desakan ekonomi, apalagi yang hendak dilakukan selain menempuh jalan tadi
Perlunya Tindakan Tegas Pemerintah
Hal yang lumrah, dengan keadaan rakyat Indonesia yang serba kekurangan. Jika membandingkan dengan para petinggi Negara, yang mungkin saja sudah banyak melakukan penyelewengan, tidak memperhatikan kesenjangan sosial di masyarakat yang terus saja merebak luas kemana-mana. Padatnya penghuni pulau Jawa, mungkin bisa jadi sebab kedua. Sejujurnya tindakan Pemda Depok khususnya, yang melarang warga nya untuk meminta-minta sudah bagus. Namun hal ini akan terasa sangat tidak adil, bagi mereka yang hidup tidak berkecukupan. Kondisi lapangan kerja yang terbatas, kurangnya pengetahuan, tidak terpenuhinya kriteria peneriamaan lowongan kerja baru, juga menjadi sebab lainnya. Sebabnya lah, masyarakat dengan ekonomi sedang ke bawah, mengambil alternative spontan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apakah penangan khusus pihak daerah ataupun pusat? Sudah ada atau belum?
Inilah yang sejatinya selalu jadi problematika di Indonesia. Bagaimanakah bentuk perhatian pemerintah terhadap warga miskin? Apakah dengan pembagian BLT (bantuan langsung tunai), beras murah, atau lainnya sudah mengurangi angka kemiskinan di Indonesia?
Belum lagi 2016 ini, Indonesia sudah memasuki area MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), dimana bebasnya jalur masuk-keluar, ketatnya persaingan, dan jalur perdagangan bebas antara sesama anggota Asean. Terkhusus bagi anak muda generasi penerus bangsa, akan sangat menyulitkan mereka kedepannya. Jangankan dengan sesama warga dalam negri, mereka juga harus bersaing dengan masyarakan di Negara Asean lainnya. Belum di era ini, tahun-tahun sebelumnya saja, tingkat pengangguran di Indonesia sudah tinggi, apalagi terkait persaingan dengan masyarakat luar negri (masyarakat Asean), Indonesia akan kalah telak.
Lalu bagaimana nasib warga miskin di Negara ini? Anak muda lulusan Sarjana saja, sudah banyak yang menganggur, dengan lapangan kerja yang terbatas, apalagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah.
Memang, tidaklah mudah bagi pemerintah untuk menangani semua masalah ini sendiri. Jika tidak adanya kerja sama para pewakil rakyat, yang masih saja bermain-main dengan tugasnya, korupsi yang semakin merajalela, menjadikan semakin miskinnya bangsa. Bukankah hutang Negara pada dunia makin menumpuk?
Entah bagaimana penyelesaian akan kasus yang tiada berujung ini kedepannya. Di era MEA ini, apakah Indonesia akan bisa mengikuti perubahannya? Ataukah semakin menambah angka kemiskinan? Tak ada yang tau, tahun demi tahun, selalu ini menjadi masalah utama. Bagimana dengan nasib generasi penerus bangsa? Pendidikan mereka kedepannya akan seperti apa? Apakah kedepan hidup mereka akan selalu jadi penjual tisu?
Harapan kedepan, ini dapat menjadi renungan bagi pemerintah, jangan hanya sibuk dengan perubahan era baru, kerjasama dengan masyarakat luar negri, lihat dulu kondisi warga ini, apakah sudah siap dengan perubahan itu sendiri?
Dewasa ini, pemerintah hanya disibukkan dengan isu politik, pembangunan yang tak berkesudahan, pertentangan antar sesama petinggi Negara. Mereka melupakan tugas yang sudah dibebankan, yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia. Apakah sudah tercapai tujuan bangsa? Lalu kenapa meributkan masalah Negara yang tidak menjadi tujuan bangsa, pemerintah seolah mengabaikan rakyat miskin. Ada apa dengan program gratis sekolah 12 tahun, jika dalam pelaksanaannya sendiri masih menguras biaya.
Bocah penjual tisu tadi merupakan contoh kecil, dari sekian banyak warga miskin, yang tidak hanya di pinggiran ibukota, namun jauh di pelosok Indonesia sana, untuk makan saja tidak terpenuhi kebutuhannya. Beruntung bocah tadi masih sekolah, beberapa bocah lain di Indonesia, jangankan untuk sekolah, mereka bahkan mengorbankan waktu juga diri mereka untuk memenuhi tanggung jawab dan membantu orangtua mereka dengan jalan yang berbeda-beda.
Semoga pemerintah dapat mengambil tindak tegas untuk kedepannya. Demi kemakmuran Indonesia raya, kesenjangan sosial seharusnya sudah teratasi dengan baik. Keadaan ekonomi di seluruh pelosok negri bisa merata, tanpa perbedaan tingkatan masyarakat, Berkurangnya penyakit busung lapar yang disebabkan kelaparan. Indonesia butuh penerus bukan? Apa jadinya jika sebagian dari mereka, apalagi anak-anak Penerus Bangsa, yang tersandung mahalnya biaya kebutuhan hidup, diantaranya bahkan harus berujung mati sia-sia hanya karna keterbatasan ekonomi?
Peka-lah! Mereka butuh kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H