Mohon tunggu...
Fathan Muslimin Alhaq
Fathan Muslimin Alhaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Writer

Anak pesisir pantai selatan yang memiliki hobi berkelana di kota orang. Berkeinginan untuk berbagi informasi tentang Indonesia sebagai bentuk kontribusi saya sebagi anak muda kepada Indonesia dalam hal penyebaran informasi yang nyata tanpa asumsi semata.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik RUU Penyiaran: Bagaimana Tanggapan Dewan Pers?

5 Juni 2024   20:32 Diperbarui: 5 Juni 2024   20:33 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Unsplash/Adrian Artanto)

Revisi Undang-Undang Penyiaran yang diusulkan oleh DPR melalui Komisi I memicu polemik di kalangan komunitas pers. Melalui konferensi pers yang digelar pada Selasa (14/5), Dewan Pers bersama para konstituen menyatakan sikap tegas menolak draf revisi tersebut. RUU ini dianggap membatasi kemerdekaan pers dengan adanya pasal-pasal yang bertentangan dengan UU No. 40/1999 tentang Pers dan melarang praktik jurnalisme investigasi.

Sikap Dewan Pers Terhadap RUU Penyiaran

(Unsplash/Sam McGhee)
(Unsplash/Sam McGhee)

Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, larangan pada liputan investigatif sangat bertentangan dengan mandat yang ada di dalam UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 4. "Seharusnya kita tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional. Dewan Pers dan konstituen menolak draf RUU Penyiaran, karena tidak mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi yang dijamin dalam UUD 1945," tegas Ninik.

Respons Komunitas Pers

(Unsplash/Adrian Artanto)
(Unsplash/Adrian Artanto)

Tidak hanya Dewan Pers, sejumlah organisasi pers juga menyuarakan penolakannya terhadap draf RUU Penyiaran ini.

Kamsul Hasan, Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Kamsul Hasan mengkritik keras usulan RUU ini karena tidak sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999. "Kode etik itu dimandatkan, dibuat, dan difasilitasi oleh Dewan Pers, sehingga kemudian menjadi peraturan yang diawasi oleh Dewan Pers. Sangat berbeda dengan RUU ini, yaitu sengketa pers diselesaikan oleh KPI. Draf ini kita tolak! Kita berharap bahwa karya jurnalistik terutama penyiaran itu diselesaikan berdasarkan undang-undang P3SPS, bukan dengan apa yang ada di draf tersebut."

Herik Kurniawan, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

Herik menekankan pentingnya menjaga independensi dan kebebasan pers. "Kami meminta jangan sampai RUU ini disahkan secara buru-buru, lebih baik DPR memulai lagi proses perevisiannya supaya hasil bisa maksimal. Posisi kami adalah untuk menjaga independensi, serta kebebasan pers. Kita sepakat bahwa jurnalisme investigasi adalah dasar dari sebuah jurnalisme. Apabila RUU ini disahkan, maka publik hanya akan mendapatkan informasi dengan alakadarnya dan tidak mendalam."

Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Nany Afrida mengungkapkan bahwa jurnalisme investigatif adalah strata tertinggi dari jurnalisme. "Tidak jarang aparat keamanan dibantu jurnalis investigasi dalam mendapatkan informasi. RUU Penyiaran ini sedikit berlebihan. Kami menolak undang-undang ini. Kalau bisa ditunda hingga periode DPR yang baru dan kemudian melibatkan semua orang agar bisa tetap mempertahankan kemerdekaan pers."

Soemarsono, Ketua Bidang Pengembangan Program Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI)

Soemarsono juga menolak rancangan RUU Penyiaran. "Pada prinsipnya, kami memiliki semangat yang sama dengan konstituen Dewan Pers yang lain. Kami keberatan dan menolak rancangan yang telah dibuat. Kami meminta draf ini untuk tidak dilanjutkan."

Wahyu Dhyatmika, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)

Ketua dari AMSI ini juga menegaskan penolakan terhadap revisi UU Penyiaran. "Kami dengan tegas memberikan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran. Sebagai asosiasi publisher digital dengan kurang lebih 400 media online di seluruh Indonesia, kami akan menyuarakan penolakan ini bersama rekan-rekan dari semua asosiasi. Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers."

Makali Kumar, Ketua Bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Kumar menyoroti dampak negatif dari larangan tayangan jurnalistik investigasi. "RUU yang mengatur tentang pelarangan tayangan jurnalistik investigasi memberikan dampak terhadap kebebasan pers serta merugikan kita. Kami menolak dan menegaskan pengkajian ulang terhadap draf revisi ini. Apabila memang harus direvisi, maka kami meminta dilakukan dengan prosedur dan ritmis yang benar."

M. Rafiq, Ketua Persatuan Radio Siaran Seluruh Indonesia (PRSSNI)

Rafiq juga menolak pasal yang melarang penyiaran investigatif. "Pasal yang melarang penyiaran investigatif itu bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers, hingga menjadi diskriminasi bagi radio juga televisi. Adapun pasal dan ayat yang memperbolehkan KPI menyelesaikan sengketa pers itu, sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Perlu ditegaskan bahwa Dewan Pers serta konstituen dipilih oleh komunitas pers, tidak ada campur tangan pemerintah dan bersifat sangat independen. Dengan berat hati, kami menolak draf Revisi Undang-Undang Penyiaran."

Harapan RUU Penyiaran

(Unsplash/The Climate Reality Project)
(Unsplash/The Climate Reality Project)

Penolakan terhadap draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang disusun oleh DPR melalui Komisi I ini menunjukkan kekhawatiran serius dari komunitas pers terhadap pembatasan kebebasan pers di Indonesia. 

Dewan Pers dan berbagai organisasi pers mengajak semua pihak untuk berdialog dan mencari solusi yang lebih baik demi menjaga independensi dan kebebasan pers. Mereka berharap agar revisi ini tidak disahkan secara terburu-buru dan melibatkan semua pihak terkait untuk memastikan bahwa hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi tetap terjaga.

Referensi:

(Instagram/@officialdewanpers)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun