Mohon tunggu...
Fathan Mubina
Fathan Mubina Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Pelajar

Bios-Theoretikos | S1 Ilmu Politik Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta | "Paid for with pride and fate" | E-mail: fathanm96@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Islam dan Pandangan Keselamatan Non-Muslim (1)

31 Agustus 2022   19:49 Diperbarui: 31 Agustus 2022   19:58 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas.com  |Ilustrasi penyebaran agama Islam. (Wikimedia Commons)

Seluruh drama kehidupan manusia---lahir, jabang bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua; masa sekolah, mencari kerja, berkeluarga, bermasyarakat, dan sebagaimana seterusnya---akan berakhir disini: neraka atau surga.
Jikalau seseorang sudah di neraka, apakah ia akan tinggal di sana selamanya? Ataukah pada akhirnya, semua orang---setelah mengalami pembersihan di neraka---akan masuk surga? 

Apabila azab neraka itu kekal, padahal umur manusia di dunia terbatas (berarti: durasi melakukan dosa di dunia juga terbatas), apakah itu tidak bertentangan dengan sifat kasih-Nya yang meliputi segala sesuatu? Apabila neraka itu tidak kekal, bagaimana nasib Iblis dan para pendosa?

Di sisi lain, apakah surga itu kekal? Apabila surga itu kekal, apakah tidak bersanding dengan sifat kekealan Tuhan? Bagaimana orang-orang biasa macam kita bisa masuk surga: apakah harus mengalami fase pembersihan di neraka dulu? Berapa lama mesti dibersihkan di neraka?

Apakah non-Muslim---semuanya, tanpa kecuali, pasti masuk neraka? Bagaimana pula jika mereka belum pernah menerima risalah Islam, atau pernah menerima informasi Islam secara tidak lengkap, tidak tepat, dan tidak mudah dipahami? Ataukah ada kualifikasi tertentu supaya non-Muslim layak masuk surga? Apakah Muslim pasti masuk surga---entah langsung tanpa hisab atau mesti melalui pembersigan dulu di neraka?

"Apa kata Islam tentang keselamatan non-Muslim?" Pertanyaan yang kerap kali kita dengar ini tentu saja memiliki implikasi praktis sekaligus teologis yang gamblang. Bukan hanya itu, ia juga akan menimbulkan respons berdimensi tunggal. 

Satu sentimen populer adalah bahwa Islam meyakini non-Muslim sebagai orang-orang yang kekal dalam kutukan di neraka. "Mereka yang tewas dalam Peristiwa 11 September, tidak lebih dari bahan bakar bagi api abadi keadilan Tuhan," seru Sam Harris (2005) dalam karya laris versi New York Times, The End of Faith.

Tanggapan yang sama sekali berbeda meski kurang lazim namun mengundang perhatian, adalah Islam pada intinya ekumentis---artinya, mengakui tradisi-tradisi agama lain sebagai jalan ilahi menuju surga. Reza Aslan (2006), dalam bukunya No god but God, menggarisbawahi pandangan ini dengan menggambarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai "sepupu spritual" orang-orang Muslim.

Persoalan pelik selanjutnya adalah fakta adanya ceruk kosong dalam kajian Barat tentang Islam seputar topik soteriologi---istilah yang berasal dari bahasa Yunani 'soteria' (pembebasan, keselamatan) dan logos (wacana, penalaran). Ostolah itu merujuk pada diskursus dan doktrin teologis tentang keselamatan. 

Hampir empat belas abad sejak lahirnya Islam, tema ini masih menjadi subjek yang secara intensif ditulis para sarjana Muslim. Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keselamatan merupakan salah satu tema utama al-Qur'an.

Sesungguhnya, persoalan ini tidaklah sederhana, terlepas dari apakah "Islam" diartikan sebagai teks-teks keyakinan suci atau posisi teologis yang dianggap bersandar pada teks-teks keyakinan suci itu. 

Ada kesepakatan umum dikalangan cendekiawan Muslim bahwa, menurut kitab suci Islam, sebagian orang akan bahagia di surga, sementara yang lain mendapat siksa di neraka.

Surah Al-Qur'an yang paling banyak dibaca adalah al-Fatihah (Pembuka). 

Ketika membacanya, kaum muslimin menkankan peran Tuhan sebagai "Penguasa Hari Pembalasan" (QS. Al-Fatihah: 4) dan memohon petunjuk ke "jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat" (QS. 1:6-7).

Ada arti peting dalam seruan ini. Di bagian akhir Quran, kita membaca "Demi Masa. 

Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali yang beriman, mengerejakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasigan-menasehati agar menetapi kesabaran." (QS. 103:1-3). Pesan dari ayat ini tidak ambigu: orang memang harus memilih jalan hidup dengan bijaksana.

Utusan-utusan Tuhan membawa realitas ini menuju pencerahan. Quran sering dilukiskan Nabi Muhammad (dan juga nabi lain sebelumnya) sebagai "pembawa kabar gembira" (basyir, mubasysyir) dan "pemberi peringatan" (nadzir, mundzir) (QS. 2: 119) kepada umat yang diperintahkan "menyembah Tuhan dan menjauhkan diri dari Tuhan-Tuhan palsu" (QS. 16:36). 

Kabar gembira tentang nikmat kekal surgawi dikukuhkan kepada "mereka yang beriman dan berbuat baik" (QS. 2:25), sedangkan peringatan tentang siksa pedih api neraka diberikan kepada "mereka yang kafir dan mendustakan ayat-ayat-Nya" (QS. 2:39). 

Demikianlah, meski dua pencapaian itu hanya mewujud melalui kehendak Tuhan, namun dikotomi antara keselamatan dan kutukan terkait erat dengan perbedaan antara kepatuhan dan ketidakpatuhan, atau apa yang digambarkan Toshihiko Izutsu (1980) sebagai "oposisi hakiki" Quran tentang Iman (keyakinan, kepercayaan, kepaksaan, ketulusan, kesetiaan) dan kufr (ketidakpercayaan, penolakan, ketidaksepakatan, penyembunyian kebenaran, tidak berterimakasih).

Kendati ada gagasan keselamatan di dunia ini (al-dunya), tetapi penekanan Quran pada QS. 40: 38-44) adalah di akhirat (al-akhir). 

Quran memang banyak berbicara tentang Hari Pembalasan, sebagian merujuk kepada Hari Akhir (al-yaum al-akhir) (QS. 2: 8), Waktu (al-sa'ah) (QS. 6:31), Hari Kebangkitan (al-yaum al-qiyamah) (QS. 21:47), dan Hari Perhitungan (yaum al-hisab) (QS. 38:16). 

Pada "hari" itu "barang siapa melakukan kebaikan sebesar zarah, niscaya akan melihat (balasan)-nya dan barang siapa melakukan keburukan sebesar zarrah, niscaya dia juga akan melihat (balasan)-nya" (QS. 99:6-8).

Manusia pada umumnya cenderung berbuat salah dan oleh karena itu keselamatannya---dan tentu saja akan menjadi kemenangan bagi dirinya---tak terpisahkan dari perbaikan diri sendiri dan di atas semua itu, pengampunan Ilahi. 

Dengan demikian, klaim yang kerap terdengar bahwa Islam tidak memiliki konsep keselamatan sebab tidak memiliki doktrin dosa asal bisa dikatakan benar hanya jika kita menilainya dengan definisi keselamatan dalam pengertian yang sempit. 

Manakala membahas ganjara dan hukuman eskatologis, para teolog Muslim, lazim menggunakan istilah Quran, najah. Istilah ini muncul di ayat tentang seruan kepada kaum Firaun dan secara tipikal---untuk alasan yang bagus---diterjemahkan sebagai "keselamatan" atau "penyelamatan".

------ (Bersambung ke postingan selanjutnya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun