"Aku membenci waktu."
Suara perempuan mendesis dalam senja menjemput malam.
"Waktu seperti penyamun membawa engkau pergi."
Suara berlanjut pelan.
"Waktu tak pernah membawamu pulang."
Tangis itu pecah.
Perempuan berambut pendek tergugu di sudut rimba sunyi. Nurani perempuannya menyembul dalam kesepian. Bumi menerima tumpahan air mata, desau dedaunan mendengar kisah perpisahan.
Renjana, perempuan itu bernama Renjana. Pada suatu masa, Jana dan sang kekasih pernah melakukan perayaan bersama di sudut rimba. Kenduri rimba, begitu mereka menyebutnya.
Jana dan kekasihnya merayakan ulang tahun bersama-sama. Mereka berulang tahun pada tanggal yang sama dan bulan yang sama pula, 8 November.Â
Kenduri rimba, mereka berdua layak kanak-kanak. Mengumpulkan buah murbei, menyicipinya satu persatu. Mengernyitkan mata jika bertemu buah yang asam. Lalu membuat mahkota bunga dari bunga liar. Tak lupa menanak nasi kuning yang kuning sekali, karena kebanyakan kunyit.Â
"Selamat ulang tahun Tarzan."
"Selamat ulang tahun juga Jane."
Rimba mungkin telah hapal akan kelakar, gelak tawa.
Besok, tanggal 8 November. Dua insan akan kembali berulang tahun tapi tak ada perayaan berdua. Tak ada kenduri rimba lagi. Jana tak pernah melupakan momen itu, kali ini membiarkan dirinya berucap ulang tahun pada diri sendiri.
Jana mulai memasak nasi kuning menggunakan nesting, membentuk tumpeng mini nan manis. Menggoreng ayam bumbu dan tempe. Menatanya di atas daun pisang.Â
Tengah malam nanti Jana akan memotong tumpeng sendiri, kenduri rimba nan lengang. Tanpa gelak tawa, tanpa senyuman yang melumat sepi rimba.
Suara deru api unggun dalam kelam malam menghangatkan jiwa. Jana menghirup kopi pahit sambil berhitung. Ini sudah tahun ketiga tanpa kenduri rimba.
Jana mengingat pesan nenek, jika engkau merindukan seseorang maka seru namanya.
Oh rindau (Oh rindu)
Kimoklah buleang (Lihatlah bulan)
Pandanglah binteang (Pandanglah bintang)
Adea ngimok gadih murindau dalon sunyai (Ada melihat gadis merindu dalam sunyi)
Tibelah sayang, bie ratai ridek ribea (Tibalah sayang, biar hati tidak iba)
Mulut Jana komat kamit seolah membaca mantra. Jana terkantuk, mengatup mata, bibir dan kenangan sejenak. Api unggun masih menari dalam gelap, mengecil dan padam dini hari
Jana menguap, mendapati dirinya yang hangat oleh sehelai selimut. Setangkai mawar putih tergolek dalam genggaman tangannya yang pasi.
Jana terkesiap, semalam tak ada selimut yang membelit raganya pun tak ada setangkai mawar. Tak ada, tak ada siapa-siapa, pandangan Jana menyapu ke sekitarnya. Memang tak ada siapa-siapa. Apakah karena mantra dari nenek?
Hidup memang penuh misteri. Mawar putih bertanda apa? Kabar suka atau duka? Ketulusan cinta atau cinta terakhir? Entahlah, Jana tak bisa berandai-andai, bukan ahli nujum yang bisa meramal masa yang akan datang.
Jana menghampiri tumpeng mini yang masih utuh tergelar di tenda. Berucap doa akan usia, linimasa yang sampai hari ini sungguh menakjubkan. Memotong tumpeng, menikmati dengan rasa syukur.
Hari ini Jana ingin memangkas asa, melepas belenggu lega. Rindu biarlah menjadi gita pengantar menuju malam bermimpi. Selamat ulang tahun diriku dan dirimu. Semoga rindu tetap rimbun dalam bias kenang. Namun tak lagi terjerat tali rasa dan memaku langkah ke depan.
Jana berasa menjadi seekor capung betina, ringan terbang lepas di rimba. Sayap akan membawaku terbang menggapai impian dengan riak cinta tanpa batas.
SungePnoh, fiksi dari sekepal tanah surga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H