Aku bergegas pulang ke rumah hanya untuk mengambil topi. Panas terik tak boleh menghalangi untuk bermain layangan. Aku adalah anak perempuan berusia sepuluh tahun dan hobi bermain layangan.
Tempat bermain layangan adalah di lapangan nan luas, walau panas tapi angin bertiup cukup kencang di sana dan meliuk-liuklah layang-layang terbawa angin.
Di palasa, beranda pada rumah panggung kayu khas Kerinci, aku bertemu Tino. Dalam bahasa Kerinci, sebutan Tino sama dengan nenek.
Tino sedang bersugi tembakau, beliau terkekeh melihat diriku memakai topi.
"Kau mirip Nippon," ujar Tino.
"Nippon, apa itu Tino?" balasku.
"Mainlah kau dulu, nanti malam kita bakunun," sahut Tino.
Bakunun adalah mendongeng atau bercerita dalam masyarakat Kerinci, kata kunun berasal dari kata konon artinya cerita, bakunun sangat diminati anak-anak zaman dahulu yang minim hiburan.
Aku segera berlari kembali ke lapangan untuk bermain dan patuh dengan aturan yakni harus pulang sebelum magrib. Setelah mandi dan makan malam, aku segera menemui Tino guna menagih janji.
Tino sedang duduk bersila sambil menggulung selembar sirih bersama gambir dan diberi kapur, mengunyahnya kadang bersama pinang atau tanpa pinang.
"Ayo No, ceritakan padaku tentang Nippon dan mengapa aku dibilang mirip Nippon," bujukku.
"Matamu sipit dan memakai topi sehingga mirip Nippon," gurau Tino.
Tino mulai bercerita, Nippon adalah sebutan untuk Jepang pada zaman penjajahan Jepang. Masa penjajahan Belanda sampai tahun 1942 dan dilanjutkan dengan penjajahan Jepang dari tahun 1942 hingga 1945, Tino pernah merasai hidup dalam zaman penjajahan tersebut.