Saat ini isu tentang lingkungan hidup tidak lagi "seksi", masyarakat sudah tak peka lagi dengan masalah lingkungan hidup. Biarlah menjadi urusan pemerintah, benarkah demikian? Kelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab kita bersama.Â
Berbeda dengan Eropa, kesadaran masyarakat akan lingkungan sangat tinggi. Ada istilah "Partai Hijau" yakni partai politik yang mengangkat isu lingkungan hidup sebagai agenda politiknya.
Bagaimana dengan Indonesia? Boro-boro partai politik memikirkan tentang lingkungan hidup.
Kondisi yang memprihatinkan adalah luas hutan Indonesia tiap tahun semakin berkurang karena aktivitas pembukaan lahan, penebangan pohon, pembakaran hutan, dan penambangan secara ilegal.Â
Mengenai penambangan ilegal atau lebih kita kenal dengan PETI (Pertambangan Tanpa Izin), berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa sampai kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara.
Saya pernah mengunjungi kabupaten tetangga, terlihat ekskavator sedang mengeruk material dari sungai.
Di sini bertebaran PETI emas, keberadaan PETI emas ini berbahaya karena merusak ekosistem sungai.Â
Di samping itu, penggunaan merkuri untuk mengikat emas sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Apalagi lokasi PETI berada di dekat permukiman.
Indonesia menjadi darurat PETI karena harga komoditas pertambangan melonjak.
Faktor ekonomi juga menjadi penyebab masyarakat menjadikan penambangan liar ini menjadi mata pencaharian mereka walaupun penuh risiko.
Mengenai PETI sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pasal 158 dinyatakan bahwa "Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).
Dalam pasal 35 dinyatakan bahwa “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat".
Baru-baru ini, masyarakat adat di Desa Muara Hemat, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci menemukan aktivitas PETI di wilayah mereka, dan yang lebih parah lagi berada di zona inti Taman Nasional Kerinci Seblat yang merupakan kawasan konservasi.Â
Lokasi PETI ini masuk dalam wilayah adat Kedepatian Muara Langkap Kerinci. Depati Muara Langkap, Mukri Soni membenarkan aktivitas PETI ini dan sudah menurunkan orang adat untuk mengecek ke lokasi. Lebih kurang 11 unit alat berat di lokasi melakukan aktivitas ilegalnya.Â
Depati Muara Langkap menyatakan bahwa tidak pernah memberi izin aktivitas PETI di wilayah Kedepatian Muara Langkap karena merusak hutan lindung dan meminta aparat penegak hukum menghentikan aktivitas PETI ini.
Perkembangan terakhir, alat berat sudah tidak ada di lokasi setelah aparat penegak hukum dalam hal ini Polres Kerinci turun tangan. Namun beberapa pekerja masih bekerja dengan alat manual di lokasi PETI untuk menambang emas.Â
Masyarakat adat berharap aktivitas PETI ini benar-benar tidak ada lagi secara permanen di wilayah Kedepatian Muara Langkap.
Belajar dari kejadian PETI di Kedepatian Muara Langkap Kerinci, masyarakat adat di sekitar kawasan konservasi mampu menjaga kelestarian lingkungannya.Â
Masyarakat adat mengambil perannya dalam melestarikan lingkungan alam dan bertindak tegas akan kerusakan yang terjadi. Masyarakat adat menjadi harapan, menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan di wilayah adatnya.Â
Demi menjaga hutan di wilayah adatnya, beberapa daerah di Kerinci menetapkan hutan tersebut sebagai hutan adat.
Sebagai contoh adalah hutan adat Temedak di desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci.Â
Menjadi hutan adat pelopor dengan luas sekitar 23 hektare, sudah hampir 70 tahun yang lalu menjadi hutan adat tetapi baru dikukuhkan oleh Bupati Kerinci pada tahun 1992. Dan hutan adat Temedak ini berhasil mendapat penghargaan Kalpataru.Â
Pemangku adat memiliki kewenangan dalam mengelola dan menjaga hutan dengan menerapkan peraturan hutan adat. Tentu saja masyarakat adat ikut berperan dalam menjaga kelestarian hutan adat ini.
Dan masih banyak lagi hutan-hutan di wilayah adat yang masyarakat adat memegang kewenangan mengelola dan menjaga hutan serta menjadikannya tetap lestari.Â
Sesungguhnya sebelum hutan-hutan yang tersebar di wilayah Indonesia "bernama" dan ditetapkan sebagai kawasan konservasi, masyarakat adat sudah mendiaminya dari zaman nenek moyang dahulu.
Keberhasilan masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan alamnya dari generasi ke generasi telah dicapai dengan pemanfaatan secara bijak.Â
Banyak bukti telah menunjukkan, bahwa saat ini masyarakat adat telah diakui mampu menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem di sekitarnya.
Masyarakat adat, terbaik dalam menjaga kehidupan satwa liar, di mana sebanyak 80% keanekaragaman hayati yang tersisa dari hutan di seluruh dunia berada di dalam wilayah masyarakat adat.
Kalau bukan kita, siapa lagi. Masyarakat semestinya berada di garis terdepan dalam melestarikan lingkungan hidup, salam lestari.
Fatmi Sunarya, 04 Oktober 2022
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H