Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tungku Bercabang Tiga Menjadi Ketentuan Perkawinan dalam Suku Kerinci

14 Agustus 2022   15:35 Diperbarui: 14 Agustus 2022   16:00 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: kompas.com

Pernikahan dan perkawinan, penulis lebih memilih kata "perkawinan" dalam artikel ini. 

Perkawinanan dalam arti yang luas bukan saja peleburan antara dua orang dalam membentuk sebuah keluarga tetapi juga merupakan proses terjadinya perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan golongan. Sedangkan pernikahan adalah hubungan yang sah menurut agama dan negara.

Nenek moyang kita telah membuat aturan dalam masyarakat yang dinamakan ketentuan adat yang dibuat berdasarkan akal, pikiran dan lingkungan pada masa tersebut serta diwariskan secara turun temurun. Lain daerah lain pula adatnya. 

Namun setelah masuknya agama, aturan tersebut menyesuaikan dengan agama yang dianut. Selanjutnya, karena kita hidup dalam tatanan negara maka ada undang-undang dan peraturan yang mengatur sehingga ketentuan adat ikut menyesuaikan. 

Begitu juga dengan perkawinan suku Kerinci, suku yang berdiam di lembah Kerinci, Provinsi Jambi, adat tidak bertentangan dengan agama dan undang-undang. 

Dalam perkawinan suku Kerinci, perkawinan bukan hanya antara dua orang saja tapi juga menjadi urusan kedua belah pihak orangtua, tengganai, ninik mamak. Tengganai dalam adat Kerinci adalah saudara laki-laki dalam keluarga pihak Ibu, sementara ninik mamak adalah orang yang dituakan/menjadi pemimpin dalam sebuah kalbu (kalbu terdiri dari beberapa keluarga).

Perkawinan bagi suku Kerinci adalah ikatan yang sakral, mengikat kedua belah berdasarkan ketentuan "Tungku Bercabang Tiga" yakni :
1. Memenuhi ketentuan adat
2. Memenuhi ketentuan syarak (bersendikan ajaran Islam)
3. Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan

Ada 3 sistem perkawinan yakni Endogami adalah sistem perkawinan di mana seseorang hanya boleh mengambil pasangan hidupnya dalam lingkungan suku kerabatnya, Eksogami adalah sistem perkawinan di mana seseorang hanya dibolehkan mengambil pasangan hidupnya di luar lingkungan suku kerabatnya dan Eleutherogami adalah sistem perkawinan di mana seseorang bebas mengambil pasangan di dalam ataupun di luar suku kerabatnya.

Untuk suku Kerinci, ada yang masih mengutamakan perkawinan dengan satu suku/kerabat sendiri, namun tidak ada larangan untuk melakukan perkawinan dengan pasangan dari luar suku/kerabat, dengan kata lain suku Kerinci menganut sistem Eleutherogami.

Mengenai proses perkawinan dalam adat Kerinci pernah penulis tulis dalam artikel yang bisa disimak di sini. Setelah terjadi perkawinanan, maka suami akan ikut tinggal di rumah keluarga istri (matrilokal) sampai mampu memiliki rumah sendiri. 

Namun tidak ada larangan jika istri tinggal di rumah keluarga suami yang disebut Semendo Surut, di mana istri dipandang menjadi anak batino (anak perempuan) dalam keluarga suami tanpa keluar dari suku kerabatnya.

Dalam perkawinan tak jarang terjadi perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Cerai mati, jelas di luar kuasa kita sebagai manusia. Namun cerai hidup tak jarang juga terjadi karena dalam perkawinan banyak cobaan dan ketidakcocokan. 

Bercerai menjadi jalan terakhir ketika terjadi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah dan saat semua cara telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, namun tetap tidak ada perubahan. 

Sumber foto: buktihukum.com
Sumber foto: buktihukum.com

Dalam suku Kerinci, proses perceraian, harus melalui runding keluarga, tengganai dan ninik mamak. Tengganai dan ninik mamak akan berusaha mencari solusi maupun jalan damai dan bertindak arif bijaksana untuk mempertahankan pasangan agar tidak bercerai. Keruh dijernihkan, kusut diselesaikan.

Setelah penyelesaian secara adat namun tetap kepada keinginan bercerai maka diupayakan menyelesaikan ke pengadilan agama secara hukum perundang-undangan. 

Aturan Harta Perkawinan

Tentang aturan harta perkawinan juga telah diatur dalam adat Kerinci.  Aturan pembagian harta perkawinan jika terjadi perceraian baik cerai mati ataupun cerai hidup diatur sebagai berikut :

1. Harta Bawaan, harta bawaan suami ke rumah istri atau harta ketika masih bujang. Harta ini akan kembali kepada pihak pembawa atau ahli warisnya. Misalkan, suami ketika masih bujang mempunyai rumah dan ketika cerai hidup akan tetap menjadi milik suami, atau ketika cerai mati akan menjadi milik ahli waris sang suami (anak/kerabat).

2. Harta Tepatan, harta milik isteri yang didapatnya sewaktu gadis, atau harta warisan yang didapat istri dari keluarganya, maka harta ini tetap akan menjadi milik istri atau ahli warisnya (anak/kerabat).

3. Harta Pencaharian Bersama, harta hasil dari usaha bersama suami dan istri yang terkumpul dalam perkawinan, maka jika terjadi perceraian maka harta pencaharian bersama ini dibagi dua. Namun jika memiliki anak maka akan jatuh kepada sang anak.

Bagaimana jika suami beristri dua? "Duo plak duo kandang, duo penunggu duo ungguk, plak bakandang sawah bapematang". Artinya seseorang yang mempunyai dua istri maka harta pencahariannya juga dua tumpuk dengan batas-batas yang jelas pula.

Nah, kalau sudah ada ketentuan adat, ketentuan agama dan ketentuan undang-undang, untuk apa perjanjian pranikah? 

Walaupun perjanjian pranikah dibolehkan dalam agama dan diatur dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Pada pasal tersebut menyatakan bahwa kedua pihak yang akan melangsungkan pernikahan dapat membuat perjanjian tertulis khusus yang dicatat oleh petugas pencatat perkawinan selama isi perjanjian tersebut tidak melanggar norma hukum, agama, dan kemanusiaan. 

Bagi suku Kerinci dengan adat yang masih kental, semua masalah diselesaikan secara adat terlebih dahulu. Ketika tidak terjadi kata mufakat, baru dilanjutkan ke pihak yang berwenang, misalnya ke pengadilan. 

Jika agama, adat dan undang-undang perkawinan telah menjadi landasan, tiang, dan payung, tentu ikatan perkawinan memiliki ketentuan-ketentuan yang jelas dan melindungi hak mereka yang terikat dalam perkawinan.

Perjanjian pranikah sah-sah saja untuk mendapatkan hak legalitas dalam perkawinan dan jika ada kekuatiran perkawinan tidak berjalan sesuai harapan. 

Tapi bagi daerah-daerah di Indonesia dengan adat istiadat yang kental, tentu perjanjian pranikah bukanlah menjadi pilihan. Bukankah perkawinan adalah ibadah, bukan perjanjian antar manusia saja tapi juga perjanjian suci dengan Tuhan.

Referensi 1

Sunge Pnoh, 14 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun