"Kehilangan adalah cara terbaik untuk belajar ikhlas tanpa batas"
Kita semua, turut berduka akan kepergian Eril putra dari Bapak Ridwan Kamil. Kepergian yang tak disangka-sangka. Itulah takdir Allah, ketentuan Allah yang harus diterima. Jika manusia mengetahui akan takdirnya, tentu berusaha mencegah. Seperti peristiwa yang terjadi pada Eril, jika mengetahui akan takdir mungkin Eril tidak akan berenang di Sungai Aare, Swiss.Â
Dalam Al-Qur'an, Surat Al-Qamar ayat 49 disebutkan, "Sesungguhnya, Kami telah menciptakan segala sesuatu dengan takdir (yang telah Kami tetapkan kepadanya di Lauhil Mahfudz)". Semua kejadian di semesta ini sudah tertulis dalam catatan takdir yang menjadi ketentuan Allah SWT.
Peristiwa  kepergian yang tak disangka-sangka juga menimpa keluarga kami pada masa yang lalu. Saudara laki-laki satu-satunya, abang saya berpulang karena kecelakaan motor.Â
Abang saya saat itu berusia 14 tahun dan masih bersekolah di SMP. Saat kejadian, dia mengendarai motor dan membonceng seorang temannya mencari bahan untuk prakarya.
Ketika melewati jembatan yang belum selesai pengerjaannya dan kiri kanan jembatan masih dipagar darurat, abang saya menabrak sisi kiri jembatan dan jatuh ke sungai.Â
Dari jembatan terjun ke sungai dengan ketinggian sekitar 15 meter, bagian kepala abang saya mengalami pendarahan yang parah dan meninggal dunia di rumah sakit. Sementara teman abang saya selamat dengan kaki patah.
Kesedihan yang sangat dalam kami alami sekeluarga, bahkan sampai hari ini jika kami terkenang tetap kesedihan itu muncul kembali walaupun peristiwa itu sudah lama terjadi.
Mengenai ibu dan bapak saya, apakah menangis meraung-raung saat kejadian? Tidak, saya hanya menyaksikan ibu dan bapak menangis sekali di rumah sakit setelah itu ibu saya hanya "menangis dalam diam".Â
Dua belas tahun setelah kejadian tersebut, kakak perempuan saya juga meninggal dunia karena melahirkan dan meninggalkan seorang bayi laki-laki yang baru dilahirkan. Ibu saya tetap tegar, tabah dan kembali menangis dalam diam.
Dari empat orang anak, ibu telah kehilangan dua anak di usia muda, yakni anak pertama dan anak ketiga dan sekarang hanya tinggal saya berdua dengan kakak perempuan.Â
Saya akui ibu begitu kuat, tabah dan ikhlas. Pernah saya tanyakan kepada ibu, apa yang membuatnya kuat melepaskan anak-anak tercintanya.
Ibu memberi sebuah pelajaran, bahwa hidup ini harus ikhlas. Semua harus ikhlas, dengan ketulusan dan kerelaan hati. Menyerahkan segala sesuatu yang telah digariskan kepada Allah sang pemilik hidup. Kesedihan tentu tak akan hilang karena kita manusia biasa yang mempunyai perasaan.
Sedih boleh tapi tidak boleh terlampau larut dalam kesedihan. Harus tetap tegar dan kuat karena kehidupan terus berjalan. Kala kakak sulung saya yang meninggal karena melahirkan, ibu saya sangat tegar dan menguatkan diri mengingat ada bayi laki-laki yang harus dirawatnya.Â
Optimisme inilah yang menambah kekuatan kita untuk bertahan dan menghadapi masa depan yang masih panjang. Ibu selalu mengingatkan kami bahwa harus optimis, kuat dan selalu menjaga kesehatan. Jangan karena kita larut dalam kesedihan membuat kita sakit.
Mengucapkan kata ikhlas memang sangat mudah, tapi menjalankannya butuh waktu yang panjang. Saya sendiri juga mengalami kesedihan panjang karena abang saya adalah teman bermain dari lahir. Makanya dengan sahabat-sahabat pria saya selalu dekat dan saya anggap sebagai saudara, karena saya termasuk yang sulit menyembuhkan kesedihan. Ibu menjadi cermin bagi saya bagaimana pelajaran dari keikhlasan.
Kepergian, kematian harus diikhlaskan. Kematian pasti datang, cepat atau lambat. Siap atau tidak siap, harus rela melepaskan. Dengan mengikhlaskan kepergian seseorang akan melapangkan hati dan batin kita. Mendekatkan diri pada Allah dengan mengirim doa adalah bentuk kasih sayang kita kepada mereka yang pergi.
Karena sesungguhnya mencintai adalah mengikhlaskan. Â
FS, 05 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H