Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Meminta Hujan di Kerinci Berjuluk Mandi Gading

4 April 2022   14:49 Diperbarui: 4 April 2022   17:37 1834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salat Istisqa di lapangan, sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1

Beberapa waktu yang lalu "Pawang Hujan" sempat viral dan mendunia, terlepas apakah termasuk kearifan lokal atau bukan menjadi perdebatan. Memang di beberapa daerah di Indonesia terdapat ritual pawang hujan. Dengan adanya keanekaragaman budaya di Indonesia tentu juga memiliki kearifan lokal yang beraneka pula yang sudah turun temurun dari leluhur. 

Pengertian kearifan lokal adalah nilai, norma, hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama, kepercayaan, tata nilai tradisional, pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang pada akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sehari-hari oleh masyarakat, sumber katadata.co.id.

Jika "Pawang Hujan" lebih sering peruntukannya menahan hujan, maka di Kerinci dikenal tradisi meminta hujan yang merupakan kearifan lokal yang dilakukan saat musim kemarau berkepanjangan. 

Tradisi meminta hujan ini berasal dari masyarakat adat Nenek Limo Hiang Tinggi. Wilayah adat Nenek Limo Hiang Tinggi ini meliputi tiga desa yakni Desa Hiang Tinggi, Desa Hiang Karya, Desa Hiang Sakti, tiga desa ini terletak di Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. 

Tradisi meminta hujan ini berjuluk atau bernama "Mandi Gading" yang sudah dilakukan oleh nenek moyang ratusan tahun yang lalu. 

Konon gajah peliharaan nenek moyang masyarakat Hiang yang bernama Indarjati terperosok dalam lubuk antara Desa Hiang dan Desa Kemantan dan gajah tersebut mati. 

Sejak saat itu gading gajah dengan berat lebih kurang 10 kg ini disimpan sebagai benda pusaka dan digunakan untuk ritual meminta hujan. Jadi penggunaan gading gajah bukan didapat dari perburuan gajah, karena masyarakat tempo dulu sangat menjaga alam dan lingkungannya.

Tata cara ritual minta hujan ini dimulai dengan melakukan puasa selama tiga hari yakni hari Kamis, Jum'at, dan Sabtu kemudian dilaksanakan shalat istisqa atau shalat meminta hujan. Pelaksanaan shalat istisqa dengan pembacaan khotbah dan membalikkan selendang yang dipercaya adat dapat membalikkan hari.

Salat Istisqa di lapangan, sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1
Salat Istisqa di lapangan, sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1

Ritual dilanjutkan dengan pengambilan benda pusaka yang dipimpin oleh pemangku adat. Benda pusaka tersebut berupa tanduk kerbau, tanduk kambing, gading gajah dan tikar sembahyang yang disimpan di rumah gedang. 

Nenek moyang kita dahulunya menulis di benda-benda yang terdapat di lingkungan sekitar, seperti di atas tanduk kerbau. Pada tanduk kerbau tertulis aksara kuno Kerinci yang bernama aksara Incung berisikan tentang tambo atau silsilah.

Sumber foto http://atckerinci.blogspot.com/2015/11/mandi-gading-kearifan-lokal-masyarakat.html
Sumber foto http://atckerinci.blogspot.com/2015/11/mandi-gading-kearifan-lokal-masyarakat.html

Benda-benda pusaka ini dimandikan dengan aneka macam limau (jeruk). Nanti, air limau ini ditampung dalam ember, dibungkus dengan plastik dan dibagikan ke masyarakat wilayah adat Nenek Limo Hiang Tinggi dan perwakilan masyarakat adat dari desa tetangga. 

Sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1
Sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1

Setelah benda pusaka dibersihkan/dimandikan maka disimpan kembali kecuali gading gajah untuk diperlihatkan kepada pemangku adat, alim ulama serta masyarakat. 

Gading gajah terbungkus kain sorban bermotif batik akan dibawa ke sungai Batang Sangkir, sungai yang berada di Hiang.

Sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1
Sumber foto https://dpchpisungaipenuh.blogspot.com/2017/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html?m=1

Alim ulama membacakan doa, kemudian gading gajah dimasukkan ke dalam lubuk sungai dan masyarakat turun ke sungai untuk memperebutkannya. 

Gading gajah ini berpindah tangan dari satu orang ke yang lain sampai ritual ini selesai dan gading gajah kemudian dibungkus kembali dengan kain sorban bermotif batik dan dikembalikan ke tempat penyimpanan benda pusaka.

https://incungalamkerinci.blogspot.com/2015/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html
https://incungalamkerinci.blogspot.com/2015/12/mandi-gading-tradisi-masyarakat-adat.html

Ritual mandi gading dengan salat istisqa tidak bisa dipisahkan, ini menunjukan bahwa dalam tradisi turun temurun dari nenek moyang yang merupakan kearifan lokal tapi tetap berpegang pada agama Islam yang dianut masyarakat. 

Dengan kata lain tradisi minta hujan tetap berdasarkan syariat agama Islam yakni salat sunah istisqa. Dengan memadukan tradisi dari leluhur tapi tetap permintaan hujan ini dihaturkan kepada Sang Maha Kuasa pemilik alam semesta.

Selain menjaga warisan budaya, tradisi meminta hujan ini juga dimaksudkan untuk memperat silaturahmi, kerjasama dalam masyarakat. 

Tradisi meminta hujan "Mandi Gading" tidak setiap tahun dilaksanakan tetapi dalam kurun waktu 10-20 tahun. Tahun 1995 pernah dilaksanakan kemudian tahun 2015 kembali dilaksanakan. Jadi Tradisi meminta hujan Mandi Gading ini termasuk langka.

Tradisi budaya lokal harus tetap kita lestarikan, walaupun beberapa tradisi leluhur masih menganut ajaran animisme. Budaya dan agama harus disatukan walaupun masing-masing mempunyai ruangnya sendiri. Bersatunya budaya dan agama dapat mempererat tali persatuan. 

Kebudayaan merupakan identitas, perwujudan dalam mengembangkan harkat dan martabat bangsa. Jangan sampai kita sendiri tidak menghargai budaya kita, tetapi malah negara lain tertarik dan menghargai budaya Nusantara kita nan kaya ini.

Salam Budaya Nusantara.

Sumber 1

Fatmi Sunarya, 04 April 2022

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun