Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menstruasi pada Perempuan Suku Anak Dalam

11 Desember 2021   15:00 Diperbarui: 12 Desember 2021   10:16 6461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak perempuan Suku Anak Dalam Sungai Bengkal, Tebo/dokpri
Anak perempuan Suku Anak Dalam Sungai Bengkal, Tebo/dokpri

Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana perempuan Suku Anak Dalam jika sudah mengalami menstruasi yang mereka sebut tabiyek? Mereka mungkin belum menggunakan pembalut seperti perempuan modern umumnya. Perempuan Suku Anak Dalam ternyata menggunakan kearifan lokal yakni menggunakan kulit kayu khusus sebagai pembalut. 

Kulit kayu yang digunakan sebagai pembalut adalah kulit kayu terap yang diikat dengan kain, setelah dipakai/kotor kulit kayu terap ini dibuang dan kain pengikatnya dicuci. Setelah masa menstruasi antara 3-7 hari ini juga diwajibkan mandi membersihkan diri di sungai.  

Selain itu selama masa menstruasi, perempuan juga memakan buah khusus dengan keasaman tinggi. Perempuan Suku Anak Dalam setelah mengalami tiga kali menstruasi biasanya sudah boleh dilamar oleh lelaki Suku Anak Dalam. 

Bagi ibu yang sudah menikah dan menjaga jarak anak/mencegah kehamilan, biasanya mereka mengkonsumsi beberapa tanaman alami seperti kunyit dan tanaman lain. Memang, Suku Anak Dalam dalam menjaga kesehatan menggunakan lingkungan dengan memanfaatkan daun-daun sebagai obat segala jenis penyakit.  

Foto dokpri
Foto dokpri

Walaupun Suku Anak Dalam dalam menjaga kesehatan bergantung pada alam sekitarnya, kesehatan reproduksi perempuan khususnya dalam masa kelahiran sering terjadi kematian pada ibu maupun bayi. 

Beberapa masalah kesehatan tidak sepenuhnya bisa ditangani oleh mereka dan butuh bantuan tenaga ahli medis. Hal ini tentu saja berpengaruh pada populasi Suku Anak Dalam yang semakin hari semakin menurun karena angka kematian ibu dan anak.

Perubahan fungsi hutan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) ikut berpengaruh pada tempat hidup nomaden mereka dan juga menghilangnya pohon untuk bahan makanan maupun obat-obatan tradisional mereka. 

Kearifan lokal tentang pengetahuan mereka akan obat-obatan tradisional hendaknya bisa dipertahankan. Semoga Suku Anak Dalam, salah satu peninggalan suku primitif Sumatera ini bisa bertahan. Salam lestari.

"Rimbo nia halom awok, putih halom mati awak", hutan adalah alam kita, hutan musnah kita  semua mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun