Bandara Soetta suatu pagi,
Aku menarik masker rapat-rapat. Ini kali pertama terbang di masa pandemi. Dari bandara Sultan Thaha Jambi jam 06.00 wib dan tiba di Jakarta jam 07.20 wib. Aku menguap, sekarang baru jam 10.00 wib. Huh, cukup lama transit di Jakarta, jadwal untuk ke Semarang 12.30 wib.
Menunggu di kedai kopi mungkin cara mengusir kebosanan. Walau  secangkir kopi di bandara seharga sepuluh bungkus nasi rames di dusun, agak mahal tentunya. Hanya ada aku dan seorang lelaki yang duduk di seberang meja.
"Mari ngopi," tawaran sekedar basa basi padanya.
Dia hanya mengangguk berucap terima kasih. Dia berdiri, dan menghampiri mejaku.
"Sepi tanpa teman itu seperti ruang kosong di antara kata, boleh ya aku duduk disini," sapanya ramah.
Lelaki dengan jaket warna hijau gelap dengan mata setajam mata elang, membawa sebuah ransel dan buku ditangan.
"Mau terbang kemana?" tanyaku.
"Ada deh," katanya menggoda.
"Dari mana memangnya?" Â
"Aku dari Borneo," nona.Â
Kata nona, aku teringat pada seseorang yang jika aku mulai cerewet bertanya dan dia akan kesal sambil melontarkan kata nona. Iya, nona. Baik, nona. Betul sekali, nona.
Borneo?
Aku mulai mengingat pelajaran sekolah dasar dulu, oh Borneo adalah Kalimantan. Dia mulai bercerita tentang negerinya yang bernama Borneo. Pulau terbesar ketiga di dunia, alam yang kaya raya. Seribu sungai, hangatnya rumah panjang Lamin. Ada rasa bangga dan ironi. Negeri kaya, hutan yang mulai hilang.
Suara lembutnya memercikkan api kagum. Sampai kami lupa bahwa waktu mengajak berlari.
"Oh jadwal terbang sebentar lagi. Siapa namamu, nona?
Kami berjabat tangan.
"Namaku Marianna," jawabku tersipu.
Dia segera terburu-buru pergi, aku hanya terpana. Siapa nama lelaki dari Borneo, aku lupa menanyakannya. Aku segera bersiap untuk terbang ke Semarang. Dalam perjalanan, entah kenapa percakapan dengan lelaki dari Borneo terngiang-ngiang.
Semarang menyambut dengan panas menyengat. Usai mengikuti acara rapat selama tiga hari membuatku ingin segera menyegarkan diri. Jogja, Jogja memanggil rasa rindu dan hanya butuh waktu dua jam lebih dari Semarang.
Hanya sekilas tidur dalam bus, aku sudah sampai di Jogja. Bersandal jepit, menikmati jajanan khas Jogja, rasanya kebebasan milik diri. Menyusuri Malioboro nan ramai, aku melihat sekelebat bayang. Oh, lelaki dari Borneo.
Borneo! Borneo!
Dia menoleh dengan terkejut, aku sedikit terengah mengejarnya.
"Ah engkau, nona Marianna. Senang berjumpa kembali, ujarmu bahagia.
Matanya menghujam jantung melahirkan debar dan rona di pipi.
"Tempo hari aku lupa menanyakan namamu," kataku tersipu malu.
"Panggil saja Lelaki Borneo", sambil dirimu memperlihatkan KTP.
Kita berpisah, engkau entah dimana berada. Sejak saat itu, selalu lahir bulir-bulir rindu yang terbit kala aku memandang gelang simpai yang engkau beri. Bercakap-cakap dengannya menyampaikan rindu nan tak sudah.
FS, 29 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H