Pekerjaan yang saya lakoni pertama kali adalah bekerja di sebuah radio swasta, sebagai tenaga administrasi. Berapa gaji pertama saya? Tiga puluh ribu rupiah sebulan. Termasuk besar buat gadis unyu-unyu seperti saya.Â
Bayangkan, baju kaos oblong saat itu harganya cuma tiga ribu rupiah. Dibandingkan penyiar radio cuma dapat Rp. 750/jam, itu pun mereka bergiliran siaran.Â
So, gaji saya lebih besar dari penyiar. Cuma saya dari pagi hingga jam dua siang harus tetap di kantor, kalau ada penyiar yang absen, saya harus rangkap tugas menggantikannya. Tentu saja gaji di radio swasta ini tanpa negosiasi, ditawarin segitu ya terima saja.Â
Suatu hari, kakak perempuan saya yang bekerja di bagian tata usaha SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) memberikan informasi bahwa banyak anak-anak tamatan SMEA legalisir ijazah untuk melamar di sebuah kantor LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).Â
Sayapun mencoba memasukkan lamaran, seminggu kemudian mendapat panggilan wawancara. Saya benar-benar "bukan tenaga profesional", ibarat peran maka saya berperan sebagai gadis dusun yang lugu.Â
Saya tidak tahu tata cara atau teknik dalam wawancara. Dalam wawancara, jawaban saya sangat jujur. Di akhir wawancara, Â saya ditanya berapa gaji yang saya inginkan. Saya menjawab, terserah bapak.Â
Pak Erwin, yang mewawancarai saya saat itu tertawa. Â
"Kamu harus mengatakan berapa gaji yang kamu inginkan," kata pak Erwin.
Sayapun bingung.
"Oke, gaji kamu di radio berapa?" tanya pak Erwin.