Bau rendang dan gulai daging begitu cepat menyebar sehari sebelum Iduladha. Yang akan menjadi santapan di hari raya. Bau yang berasal dari rumah bertembok itu menyusup ke gang sempit dengan rumah berhimpitan.
Dan Menul menciumnya. Bocah berumur sembilan tahun itu mengendus. Ah, sedap sekali.
"Bu, aku lapar dan ingin makan rendang," rengeknya.
Si ibu hanya terdiam dan duduk melongok di jendela.
Menul kembali berbicara dengan suara kering, dia masih lapar dan haus.
"Ibu menunggu siapa?" Suaranya pelan.
"Biasanya, sehari sebelum Iduladha sudah ada yang mengantar kupon daging," suara ibu penuh harap.
Menul membatin, bahwa tahun kemarin mereka juga tidak mendapat kupon pembagian daging kurban. Pak RT bilang musim korona tidak dilakukan penyembelihan hewan kurban.
Mungkin tahun ini juga tidak, Menul menduga. Berarti sudah dua tahun tidak mencicipi masakan daging. Menul pamit dengan alasan bermain, sesungguhnya Menul ingin ke suatu tempat.
Menul berjalan menyusuri gang sempit, berbelok ke arah sebuah rumah. Kemarin, ketika Menul lewat, si penghuni membuang sisa makanan lumayan banyak. Menul mengambil beberapa yang masih dalam kemasan.
Menul kadang berpikir, kenapa mereka yang kaya begitu tega membuang makanan. Sementara dia, dari pagi belum makan sebutir nasipun. Menunggu ayah pulang, begitu selalu alasan ibu.
Di depan pagar, Menul menatap rumah megah. Ada anak perempuan, mungkin seumuran dengan dirinya, Sedang memainkan biola. Menul hampir tertidur mendengar gesekan indah biola. Menul akhirnya benar-benar duduk tertidur di depan pagar.
"Hei, hei bangun," suara membangunkannya. Anak orang kaya itu menatapnya lekat.
Menul terkesiap dan langsung bertanya.
"Apa keluargamu berkurban tahun ini, aku ingin sepotong daging sapi, tanya Menul spontan.
Mimpi memakan rendang masih menyelimuti Menul. Anak orang kaya itu menggeleng.
"Nanti kutanyakan pada ayah," ujarnya.
Menul sedikit kecewa dan berpikir apa sebab orang kaya tidak berkurban. Menul beranjak pergi dan menyusuri rumah kumuh di pelataran rel kereta api.
Dan Menul bertemu mbok Siti, penjual kue keliling yang sering memberinya kue.
"Nul, ayo mampir di rumah," sapa mbok Siti.
"Tahun ini, mbok Siti ikut berkurban. Nah, ini kupon buatmu dan ibu," mbok Siti menyodorkan dua kupon.
Menul melompat riang dan berlari pulang. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Takbir berkumandang, Menul selesai salat Iduladha dan sabar menunggu hewan kurban disembelih, dan nanti dibagikan.
Menul menyodorkan dua buah kupon dengan wajah sumringah dan mendapatkan dua onggok kecil daging. Menul segera berlari pulang.
"Bu, ini daging kurban buat ibu," katanya terengah.
Menul membantu sang ibu memasak rendang dan tak sabar menunggu matang.
Menul menyantap dengan nikmat, rasa rendang masih sama seperti dua tahun yang lalu. Menul teringat mbok Siti. Mbok Siti pasti bekerja keras mengumpulkan uang untuk ikut berkurban. Sementara, orang kaya malah tidak "berkurban".
Menul, harus bersabar menunggu menyantap masakan daging selanjutnya. Mungkinkah tahun depan ada yang berkurban?
FS, 19 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H