Nurdin patah arang. Hutangnya semakin hari semakin rimbun berbunga. Beginilah jika meminjam uang pada rentenir, tapi tak ada pilihan lain. Nurdin membuka usaha warung makan dengan pinjaman Bank 49 itu. Warung makannya cukup ramai, angsuran pinjaman juga lancar. Sampai warung makan itu ditutup paksa, karena beberapa pelayan terkena Covid-19 dan terjangkit pada pelanggan warung makan. Apes sudah.
Angsuran pinjaman yang biasanya lancar akhirnya macet total. Nurdin tak berdaya, tanpa usaha. Hari ini sang penagih kembali menagih paksa. Nurdin memilih keluar dari rumah. Menyusuri terminal, pasar, berputar-putar tak tentu.
Sampai akhirnya, Nurdin melihat seorang ibu tua keluar dari kantor pos yang cukup ramai. Ibu tua itu berjalan pelan dan Nurdin mengikutinya. Dompet si ibu terlihat pada tas yang terbuka, lupa ditutup. Entah kenapa siang terik begini, setan membisikinya.
"Ambil, ambil dompetnya," rayu si setan.
"Ibu itu mungkin sudah menerima gaji pensiun, lumayan untuk cicilanmu," bisikan berlanjut.
Jalanan agak sepi siang ini. Dengan sangat hati-hati, Nurdin meraih diam-diam dompet si ibu. Berjalan cepat, jantungnya rasanya mau jatuh. Pertama kali ini aku mencuri, batinnya. Keringat dingin muncul di dahi, telapak tangan yang gemetar. Nurdin menengok ke belakang, aman sepertinya.
Setiba dirumah, dompet tersebut dibukanya. Berisi uang satu juta delapan ratus ribu. Lumayan untuk cicilan pinjaman bulan ini, pikirnya sambil memeriksa semua sisi dompet. Nurdin menemukan KTP si Ibu yang bernama Rosmaini.
Rosmaini? Nama itu sangat familiar rasanya. Dipandanginya foto di KTP. Iya benar, ini ibu Rosmaini, guru semasa sekolah dasar dulu. Nurdin ingat bagaimana Ibu Rosmaini mengajarnya membaca, membawanya ke pangkas depan sekolah guna memotong rambutnya yang berkutu dan gondrong.
Ibu Rosmaini juga memotong kukunya yang hitam dan panjang serta tidak pernah menghukumnya. Nurdin memang sudah yatim piatu dan tinggal dengan neneknya. Ibu Rosmaini sungguh punya kasih yang besar pada anak didiknya.
Oh Ibu Rosmaini, Nurdin mulai meraung menangis. Maafkan muridmu yang tak tahu balas budi. Engkau adalah orang tua di sekolah. Nurdin mulai meratap-ratap mengenang segala kebaikan Ibu Rosmaini.
Tidak menunggu esok, Nurdin segera merapikan dompet Ibu Rosmaini. Dompet beserta isi harus dikembalikan. Alamat rumah Ibu Rosmaini, Nurdin masih ingat. Sore itu Nurdin bertemu dengam Ibu Rosmaini. Ibu Rosmaini sudah mulai lupa karena saking banyaknya murid-murid.
"Siapa ya?" tanya Ibu Rosmaini.
"Nurdin bu, murid ibu yang miskin yang pernah ibu bantu," mata Nurdin mulai berlinang.
"Oh maaf, ibu sudah tua dan lupa. Ada apa anak ke sini?" tanya Ibu Rosmaini.
"Saya menemukan dompet ibu dipasar," ujar Nurdin berbohong.
Nurdin tak sanggup mengatakan yang sebenarnya, hal yang memalukan, hal yang diajarkan guru agamanya bahwa mencuri itu berdosa. Ibu Rosmaini berucap syukur, walaupun sebelumnya dia sudah merelakan dompetnya yang hilang. Â Nurdin lama berbincang, mengenang masa kecilnya yang penuh kepahitan dan berlanjut hingga kini.
Ibu Rosmaini menawarkan sebuah lahan untuk berternak ayam. Lahan tersebut sudah tak terurus sejak suaminya meninggal. Â Ibu Rosmaini juga yang meminta bantuan anaknya untuk membantu memodali usaha peternakan ayam buat Nurdin.
"Jangan anggap ini hutang, bayarlah jika nanti sudah sanggup membayarnya," ujar Ibu Rosmaini.
Walaupun merasa bersalah telah menyusahkan Ibu Rosmaini, namun Nurdin bertekad bekerja keras agar usahanya berhasil. Ibu Rosmaini, bukan sekedar guru yang mendidik tapi juga membantu dalam kehidupannya dari kecil hingga tiba-tiba dipertemukan kembali. Ibu Rosmaini adalah guru yang mengisi otaknya, meluruskan pikirannya juga dengan rela hati membantu dalam kesulitan. Nurdin kembali berlinang.
FS, Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H