Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah adalah Cinta yang Sempurna

24 Oktober 2020   19:42 Diperbarui: 25 Oktober 2020   07:46 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aba, adalah ayah yang baik hati, suka menolong, tidak pemarah. Walaupun Aba termasuk yang royal dan hobby belanja. Pakaian anak-anak malah sering Aba yang belikan. 

Saya sekali melihat Aba menangis, ketika Abang saya (saudara laki-laki satu-satunya) meninggal dalam kecelakaan motor dan saat itu Abang saya masih sangat muda, berusia 15 tahun.  Aba menjual motor itu. Untuk menghibur Aba, saya memposisikan diri sebagai pengganti Abang. Menolong cat rumah, memetik cengkeh, menyuci motor, atau saya mengganti kabel setrikaan misalnya. Dan Aba senang melihat perubahan saya tidak kolokan lagi.

Menjelang magrib, saya pasti duduk di dekat Aba. Aba memegang kepala saya sambil membacakan ayat-ayat suci. Menurutnya, itu untuk isi tubuh, pelindung tubuh. Ini berkaitan dengan ilmu putih. Namun saya tidak mau membahasnya lebih dalam.

Aba baru memperbolehkan saya jalan-jalan bersama teman-teman ketika saya sudah bekerja di sebuah LSM. Saya menangis, karena saya tidak mengenali negeri saya sendiri. Padahal saya bekerja dibidang pemetaan. Ditanya daerah ini itu tidak tahu. Aba akhirnya memberi izin berpetualang, menjelajah negeri. Betapa riangnya saya bak kijang lepas ke rimba. Tapi tetap Aba menunggui saya pulang dengan duduk di dekat jendela. Sampai saya sering di ledek teman-teman.

Aba meninggal di tahun 1996, Ibu, saya dan kakak perempuan (kami tinggal berdua bersaudara) menunggui di hari terakhirnya. Aba meminta maaf kepada kami, meminta maaf pada saya karena tidak akan bisa menikahkan saya nantinya. Dan cinta pertama itupun pergi.

Saya dalam gendongan Ibu/dokpri
Saya dalam gendongan Ibu/dokpri
Saya berpikir, buat apa seorang ayah meminta maaf pada Isteri, anak-anaknya. Padahal ayah saya adalah ayah terbaik di dunia. Ini soal tanggung jawab, ayah harus pergi dan merasa tanggung jawabnya belum selesai. 

Bukankah kasih orang tua sepanjang jalan? Dan jalan itu tak berujung. Ayah selalu di hati seorang anak perempuan. Dan saya belum menemukan lelaki seperti ayah saya, yang benar-benar mencintai saya. Manusia tidak ada yang sempurna, tetapi seorang ayah selalu memberikan cinta yang sempurna. I miss you, Aba....

FS, 24 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun