Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gotong Royong pada Saat Panen Padi

28 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 28 Mei 2020   20:59 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persawahan di Pinggir Danau Kerinci - foto Fatmi Sunarya/dokpri

Kemarin tanggal 26 Mei 2020, setelah wajib lapor ke kantor karena hari libur lebaran yang telah selesai. Dan juga belum ada kegiatan, masih suasana lebaran, saya memutuskan  untuk berkeliling ke Danau Kerinci. Jaraknya sekitar 17 km dari pusat kota. Untunglah kamera sederhana saya masih tersimpan di tas. Dalam berkeliling ini, saya tidak mampir dirumah siapapun, tidak belanja ditoko, tidak makan siang dirumah makan juga tidak memasuki kawasan wisata. Walaupun kawasan wisata ditutup, warga tetap saja memenuhi tempat-tempat wisata. Saya benar-benar tetap menerapkan "physical distancing".

Di sepanjang jalan yang saya lalui, ternyata aktifitas warga sudah kembali seperti biasanya. Petani kembali ke sawah atau ke kebun, nelayan kembali mencari ikan, yang berdagang di pasar juga kembali menggelar dagangan. Anak-anak muda masih wara wiri dalam suasana lebaran. Mereka sepertinya tidak peduli dengan masa pandemi ini.

Petani disepanjang pinggir Danau Kerinci dalam masa panen padi. Tapi ada juga yang mulai mengolah sawah (mencangkul). Benih-benih sudah tumbuh besar dan harus segera di tanam. Kesibukan petani sangat menarik hati saya. Ketika masih kecil, saya pernah ikut kesawah dengan Bapak (alm). Pernah melihat proses dari mulai menyemai benih, mencangkuli sawah, lalu menanam benih, menyianginya, memberi pupuk dan memanen. Perputaran itu harus dilakoni petani tiap periode.

Saya melambai pada sekelompok Ibu yang memanen padi. Istilah lokalnya menyabit padi. Saya heran, kenapa tidak ada laki-laki dalam kelompok mereka. Saya memutuskan bercakap dari pinggir jalan. Ibu-ibu, piyo batino galo yang nyabit padi ? Terjemahannya, Ibu-ibu kenapa perempuan semua yang menyabit padi ? 

Ternyata kelompok mereka memang beranggotakan perempuan semua. Dalam proses pengerjaan sawah, biasanya mereka membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 10-20 orang. Kelompok ini akan bergotong royong secara bergiliran membantu pengerjaan sawah anggotanya. Misalnya hari ini sawah si A, lusa sawah si B atau minggu depan sawah si C. 

Apakah mereka dalam bergotong royong ini saling memberi upah? Itu tergantung kesepakatan kelompok. Jika sepakat saling memberi upah maka  hari ini si D sebagai tuan rumah, dia akan memberikan upah ke pada A, B, C, E. Begitu juga giliran selanjutnya. Juga menanggung "minum kawo" (snack dan minum) dan makan siang. Semuanya sesuai kesepakatan kelompok apakah memakai upah, snack/minum, atau makan siang.

Berikut foto Kelompok Ibu-ibu yang mengerjakan sawah dalam hal ini memanen padi secara bergotong royong.

Foto Fatmi Sunarya/dokpri
Foto Fatmi Sunarya/dokpri

Foto Fatmi Sunarya/dokpri
Foto Fatmi Sunarya/dokpri

Foto Fatmi Sunarya/dokpri
Foto Fatmi Sunarya/dokpri

Walaupun kelompok yang beranggotakan perempuan ini mandiri memanen padi, mereka tetap butuh pria yang akan mengangkut padi dari sawah ke rumah sipemiliknya. Dari areal persawahan ke pinggir jalan lalu dibawa memakai motor atau mobil pick up. 

Saya melihat kelompok ini sangat istimewa, karena pekerjaan memanen padi sangat berat dan biasa dikerjakan pria. Menyabit padi memakai sabit lalu merontokan padi dengan cara membanting-banting. Sebagian petani ada yang sudah memakai mesin perontok padi dan sebagian lagi masih manual memakai tangan. 

Gotong royong secara berkelompok ini tidak hanya dalam pengerjaan sawah, tapi dalam berkebun juga masih menerapkan pengerjaan kebun dengan gotong royong berkelompok. Ibarat pepatah ringan sama di jinjing, berat sama di pikul. Kita berharap agar "budaya gotong royong" dalam segala bidang tetap diterapkan dalam masyarakat. Mengingat kian hari kita dihadapkan pada budaya individualisme. Gotong royong adalah warisan dari leluhur kita yang mempunyai nilai manfaat yang sangat tinggi.

Perempuan tetaplah perempuan, mempunyai batas kemampuan. Kita berharap perempuan di Indonesia tetap kuat. Saya melambai mengucap selamat tinggal pada kelompok Ibu-ibu ini, dan berujar tetap semangat Ibu-Ibu....Mereka tertawa, jangan lupa dimasukan foto kami ke Facebook ya, ujar mereka sambil tertawa. Emak-emak ternyata tetap mau eksis he he....

FS, 28 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun