Mohon tunggu...
fathor rasi
fathor rasi Mohon Tunggu... -

Fathor Rasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasib Jokowi Nyaris Seperti MH370?

23 April 2014   23:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perayaan "Jokowi Effect"

Hasilnya, kosa kata politik populer berupa "effect" yang begitu lekat dengan kata Jokowi menjadi "efek Jokowi" atau "Jokowi effect", otomatis dikaji ulang paska hitung cepat Pileg kemaren, sebab kata "efek" kemudian lebih bersahabat dengan Rhoma Irama dan Mahfud MD. Jokowi efek berkonotasi negatif sebab efek Jokowi nyatanya hampir membungkam ekspektasi PDIP. Sedangkan yang kedua Roma Effect dipandang sebaiknya yang membuat Cak Imin (Muhaimin Iskandar) "sumringah" dikerumuni media massa mengisyaratkan kepuasan dan sesuai dengan ekspektasi.

Siapakah yang mempopulerkan istilah Jokowi effect tersebut? dan bagaimana kemunculannya? Tidak ada jawaban jelas. Kata tersebut mencuat dari Efek leadership Jokowi dengan bumbu media darlingnya. Sumber gempa dari Jokowi effect adalah Jakarta Sebagai Ibu Kota RI. Gaya blusukan Jokowi dicopy paste oleh para caleg saat kampenye sehingga cara Jokowi yang menginspirasi banyak caleg untuk melakukan hal yang sama, maka pakar dan pengamat menyebutnya Jokowi effect. Rupiah sempat menguat setelah restu Megawati, ekonompun terkaget-kaget dan langsung melempar kata Jokowi effect. Setiap gerak progressif Jokowi di Jakarta selalu disimplifikasi dengan kata Efek Jokowi. Kokohnya elektabilitas Jokowi bertengger di puncak, memicu untuk terus dikaji dan ditelaah sebab keunggulannya, untuk kemudian direduksi menjadi Jokowi efek.

Hanya segelintir pengamat yang lari dari euforia Jokowi tersebut. Adalah Nehemia Nawalata (GMNI) dalam diskusi Meneropong Capres-Cawapres Prabowo Jokowi yang di adakan Forum inteligensi Bebas di Jakarta. Peserta diskusi saat itu agak tersentak ketika beliau mengkritisi angka-angka bombastis di media massa. Nehemia meyakini bahwa "Ratu Adil tidak muncul dari survei." Apa yang saya tangkap dari inti yang disampaikannya adalah biarlah survei menjadi survei, semacam ramalan angka-anka biasa bagi Jokowi. Hasil penelitian dari berbagai survei bukanlah kitab suci mutlak ataupun jaminan untuk melenggang mulus menuju RI 1, sebab Ratu Adil beserta lektabilitasnya butuh mesin partai yang bekerja maksimal.

Adapun pendekatan Dr. Ali Munhanif, pengamat politik UIN, mencoba menakar elektabilitas Jokowi dengan premis-premis logika sederhana tanpa harus melakukan survei dengan metode ngejelimet. Apa yang diungkap Ali bahwa elektabilitas maupun popularitas Jokowi tidak sebesar SBY waktu awal pencapresannya terjawab saat Pileg kemaren. Keyakinan tersebut kemudian saya coba tafsir lebih dalam, bahwa Jokowi hanya menjadi media darling, lembaga survei darling dan pengamat politik darling yang kemudian membuat mesin PDIP ngadat dan larut dalam perayaan "terlalu percaya diri".

Gagalnya Membumikan Elektabitas Jokowi

Dalam kajian political science kata "elektabilitas" ((Philip Edward Jones 2009) didefinisikan sebagai "kemungkinan untuk memenangi pemilihan umum" (likelihood of winning the general election). Beberapa sarjana Ilmu Politik juga mendifinikan elektabilitas sebagai kemampuan untuk mengalahkan kandidat pesaing di Pemilu (an bility to defeat the other party's candidate in general election). Sosok atau figur yang "electable" adalah mereka yang dianggap berpotensi, memungkinkan, ataupun berkemampuan untuk memenangi Pemilihan Umum.

Menakar elektabilitas seseorang tentu tidak mudah termasuk mendefinisikannya di tengah maraknya serangan fajar (politik uang) seperti yang diungkap ICW baru-baru ini, di tengah himpitan ekonomi rakyat, pemilih partisan dan hiruk pikuk perang media. Dalam kondisi demikian peta politik dan dinamikanya akan menjadi sulit untuk diterjemahkan menjadi angka-angka.

Adapun Jokowi adalah sosok yang sangat memenuhi syarat elektabilitas tersebut, melalui pengalaman politiknya secara keseluruhan. Kemampuan leadershipnya dibuktikan semenjak menjadi Walikota Solo. Adapun di Jakarta meskipun banyak program yang belum tuntas, terbukti survei atas sepak terjang terhadap kepemimpinan Jokowi dinilai memuaskan. Gubernur Jakarta tersebut mampu menghadapi high pressure situation.

Argumen lain bahwa Jokowi  sangat memenuhi syarat elektabilitas tersebut adalah ia mampu menjadi daya tarik atau magnet bagi pemilih (voter appeal) termasuk memiliki "kharisma presonal". Pemilih merasa nyaman dengan kandidat yang mereka identifikasi pada level personal. Jokowi mampu memancarkan "personal charisma" tersebut, serta image berwibawa di televisi. Ia juga dilihat lebih electable dari pada kandidat yang jarang kelihatan di kerumunan media massa sedangkan Jokowi adalah media darling.

Potensi apapun yang dimiliki seorang politisi tanpa memaksimalkan mesin politik ataupun hanya terkesima pada angka  lembaga-lembaga survei tertentu, maka elektabilitas yang dimilikinya akan menguap ke udara tanpa jejak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun