Mohon tunggu...
Fatah Saiful Anwar
Fatah Saiful Anwar Mohon Tunggu... Guru - Guru terbaik adalah pengalaman

Merdeka adalah bebas dari segala duka dan damba

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ternyata Begini Puasanya Seorang Sufi

24 April 2022   14:31 Diperbarui: 24 April 2022   14:49 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUDAHKAH KHUSUK PUASA KITA INI? 

Bulan Puasa Tahun ini masih sama dalam masa pandemi Covid-19, namun akan sedikit berbeda mengingat sudah lamanya masa pandemi mungkin akan membuat rasa penerimaan seseorang terhadap pandemi Covid ini lebih terkondisikan dari pada sebelumnya. Selain itu vaksin untuk penjagaan diri dari Covid-19 pun telah ada. Otomatis  Keadaan lahir maupun batin pun sudah lebih baik. Bahkan mungkin sudah ada yang bisa bertindak seolah-olah tak ada pandemi.

Daripada tahun sebelumnya, secara Psikologis Ramadhan Tahun ini akan sedikit sama dengan Ramadhan Normal ditahun-tahun sebelumnya ketika belum ada pandemi Covid-19 ini. Oleh karena itu artikel singkat ini pada intinya akan mengajak seluruh kaum muslim untuk fokus dalam memaknai puasa di bulan Ramadhan ini secara yakin dan khusuk, selain itu di Bulan Ramadhan ini pun do,a- do'a akan dikabulkan oleh Alloh SWT, dengan syarat "Imaanan wahtisaaban" (dengan iman dan me ngharap pahala Allah SWT), dalam menjalankan amal ibadah di bulan suci ramadhan nanti.

Ada beberapa hal yang musti dipahami oleh seorang muslim terkait Ramadhan, di antaranya adalah: Puasa Dalam prespektif Fikih maupun puasa dalam prespektif non fikih yakni tasawuf.

Puasa dalam Prespektif Fikih dan tasawuf

Dalam Al-Baqarah : 183 Alloh SWT berfirman :

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,".  (QS. Al- Baqarah : 183)

Secara fikih ayat tersebut dipahami sebagai perintah kewajiban berpuasa bulan Ramadhan oleh semua umat muslim. Secara historis ayat tersebut memiliki latar sejarah kenapa ayat tersebut di turunkan (asbabunnuzul). Dalam riwayat Ibnu Jarir dan Muadz Bin Jabal dijelaskan bahwa pada awal mulanya Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Rasululloh SAW berpuasa  tiga hari pada tanggal 8, 9, dan 10 bulan Muharrah atau biasa disebut puasa Asyura'.  

            Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah  turunlah ayat perintah puasa bulan ramadhan. Dan puasa Asyura' sendiri menjadi amalan Sunah umat Islam. Sedangkan penurut ahli tafsir kontemporer Yusuf Qardawi menjelaskan bahwasanya perintah kewajiban berpuasa turun di Madinah dikarenakan ayat-ayat tentang ketegasan Syari'at Islam merupakan fase  madinah, sedangkan fase Makah adalah penegakan tauhid dan keimanan.

Kembali lagi pada puasa dalam prespektif Syariah dalam kitab Al Wajiz fi Ahkamishiyam karya Habib Abdullah Bin Mahfudz Bin Muhammad Al Haddad dijelaskan bahwa :

Meliputi Syarat dan Rukun yang harus dipenuhi. Pertama terlebih dahulu memahami apa yang disebut puasa. Secara rinci adalah sebagai berikut :

  1. Islam
  2. Berakal (memiliki akal sehat/ normal)
  3. Baligh (Untuk wanita ditandai dengan keluarnya daerah haid atau jika sudah mencapai umur 12 tahun, sedangkan untuk laki-laki ditandai dengan mimpi basah atau jika telah mencapai umur 15 tahun)
  4. Tidak Murtad/ kafir
  5. Tidak gila
  6. Mumayyiz (bisa membedakan perkara baik dan buruk tetapi jika anak-anak tidak diwajibkan berpuasa karena belum baligh)
  7. Tidak sedang haid atau nifas (bagi wanita) tetapi wajib mengqodho' nya di kemudian hari

Sedangkan perkara yang dapat merusak puasa adalah sebagai berikut :

  1. Makan dan Minum
  2. Muntah dengan sengaja
  3. Bersetubuh di siang hari
  4. Masuknya sesuatu ke dalam perut lewat jalur yang meneruskannya ( hidung, kuping, mulut, dubur ( seperti kentut di dalam kolam renang).

Dalam pandangan Fikih puasa seseorang amatlah mudah untuk memahaminya karena di dalamnya memang seputar hal yang bersifat fisik, namun bagaimana puasa dipandang berdasar prespektif hati?

Dalam memandang dan mendidik hati, ada sebuah pandangan yang menarik di sampaikan oleh Ibnu Athoillah Assakandary dalam kitab hikamnya, bahwasanya :

Bagaimanakah agar kita sebagai hamba dapat melihat cahaya terang Allah bersinar dalam sanubari kita? Pertama, mari kita pahami seperti apa kualitas ibadah kita secara syari'at apakah telah sesuai dengan aturan yang telah ada. Kedua, Jika sudah sesuai mari kita pahami 3 pembagian amal ibadah di ukur dengan hati.

Manusia Ghoflah (pelupa)

Dalam kondisi seperti ini seorang hamba yang misal sedang berdzikir dengan menyebut asma Allah, Subhanalloh...Subhanalloh...Subhanalloh dst. Namun ia lupa kalau sedang mengucapkan asma Allah hingga terkesan hanya basah di mulut namun tidak ada perasaan ingat dalam hati, hatinya tidak ikut hadir dalam dzikirnya. Acap kali hati dan pikiran berada di tempat lain terutama keduniawiannya.

Manusia Yakdhoh (Sadar)

Dalam kondisi seperti ini seorang hamba yang sedang berdzikir memiliki kesadaran batin dalam dzikirnya, selain ia mengerti makna apa yang ia ucapkan ia juga merenungi berbagai keadaan lahir dan batinnya apakah sudah berjalan di atas Bumi Allah SWT ini seperti apa yang diperintahkan Allah kepada hambanya. Acap kali air mata menetes tanpa disadari, kondisi seperti inilah yang membuat hati seseorang menjadi lunak, karena asma-asma Allah yang baik dan suci telah mempengaruhi kondisi lahir batinnya.

Manusia Fana' (melebur)

Seorang hamba yang telah asyik dalam amal ibadahnya tentu sudah matang secara lahir dan batin. Setiap amalnya terisi ruh keikhlasan dan terhindar dari perasaan riya' (hatinya membanggakan amal ibadahnya dan merendahkan orang lain yang jarang beramal). Fana' artinya adalah lebur, seolah-olah dirinya tidak ada dan yang ada hanyalah Allah SWT. "Ia lupa terhadap dirinya, namun ia bertindak semestinya sesuai yang dikehendaki Allah SWT" hal tersebut terjadi karena memang Allah SWT telah meridhainya.

Tiga pembagian tingkatan amal ibadah di atas amat bermanfaat ketika di praktekan dalam ibadah puasa kita, dalam puasa seorang hamba memiliki kesadaran hati yang lebih aktif dibandingkan ketika tidak berpuasa, sehingga ia harus memuasakan seluruh anggota tubuhnya secara penuh, dalam kitab lain dijelaskan bahwasanya terdapat tiga tingkatan berpuasa yaitu:

Shoumul 'aam (Puasa Orang awam)

maksudnya adalah puasanya orang yang hanya menjaga dari yang membatalkan saja dari segi fikihnya yaitu menahan lapar dan dahaga.

Shoumul Khusus (Puasa Khusus)

maksudnya adalah seorang hamba yang berpuasa tidak hanya memuasakan perutnya saja namun seluruh anggota tubuhnya.

Shoumul khususil khusus (Puasa khususnya khusus)

maksudnya adalah tingkatan puasa yang paling khusus, yakni seseorang yang menjaga pikiran dan hatinya dari pikiran dan prasangka yang tidak baik.

semoga kita semua terhitung hamba Allah yang dianugerahi kesadaran lahir dan batin ketika berpuasa atau ketika beramal lainnya. 

Sekian Wallahu a'lamu bil asshowab.

Sumber :

Kitab Suci Al-Quran dan Terjemah versi Kemenag RI

Kitab Tafsir Ibnu Katsir

kitab Al Wajiz fi Ahkamishiyam karya Habib Abdullah Bin Mahfudz Bin Muhammad Al Haddad

Tafsir kontemporer Yusuf Qardawi

Kitab Syarah Hikam Karya Ibnu Athaillah Assakandary

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun