Orang yang sudah paham betul akan perbedaan pandangan antar madzhab, tentu memandang sesuatu masalah tidaklah dengan keinginan hawa nafsunya. Ia tidak mempermasalahkan antara yang benar dan salah. Karena memang perbedaan pandangan tersebut adalah karena bedanya dalil atau pendapat madzhab yang di anut.
Umat muslim awam, seringkali belum paham betul apa itu madzhab. Sehingga ketika memandang suatu masalah bukan dari sisi diskusinya tetapi dari sisi "saling melemahkan satu sama lain". Apa itu madzhab?
Madzhab memiliki 2 makna, yakni secara lafdziyah (bahasa) dan maknawiyah (terminologi). Secara lafdziyah madzhab berasal dari derivasi kata dalam bahasa arab yakni DZAHABA- YADZHABU- DZAHABAN, yang berarti "pergi" sedangkan bentuk kata Madzhab sendiri diambil dari derivasi kata masdar mimnya yaitu "MADZHABAN" yang berarti objek pergi atau tempat yang dituju. Atau sederhananya adalah rujukan.
Sedangkan, dalam bahasan terminologinya madzhab adalah suatu rujukan umat mslim untuk dijadikan referensi dalam mengambil sikap terutama dalam hal yurisprudensi Islam (hukum Islam). Maka sudah cukup jelas bukan?
Dalam dunia Islam terdapat 4 nama Imam Madzhab besar yang diakui kepakarannya. Yaitu Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Di Indonesia mayoritas mengambil dari Imam Syafi'i dan Imam Hanafi.
Dalam tulisan ini, tidak akan diuraikan seputar ikhtilaf (perbedaan) seputar sholat Tarawih. Namun dalam tulisan ini akan diuraikan seputar bagaimana bersikap atas perbedaan tersebut. Bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Maka jawabannya ada dua hal, yaitu:
Pertama, kita harus mendudukan suatu perbedaan pandangan dalam bermadzhab merupakan perbedaan yang menganduh Rahmat (Ikhtilafu Ummatiy Rahmatun) ikhtilaf umat Nabi yang berilmu adalah suatu rahmat. Logikanya bagaimana? Tentu bisa kita pikirkan bahwa perbedaan dalam peribadatan dapat memancing semangat seseorang dalam ibadahnya. Ini adalah rahmat tersendiri.
Kedua, harus dipahami bahwa perbedaan ini bukanlah masalah "Benar atau Salah" karena semua punya pijakan yang jelas. Perkaranya adalah siapa guru, ustadz, atau Kyai yang dianut seseorang maka kewajiban murid adalah ittiba' (ikut) terhadap panutannya.
Semoga perbedaan ini benar-benar menjadi rahmat, seorang Alim banyak yang melontarkan humornya ketika ditanya, berapa rakaat terawihnya? Saya Rakaat ikut Muhammadiyah tetapi kecepatannya tetap NU. Dan masalah yang lebih penting adalah yang tidak sholat yang perlu di dakwahi. Bukan sesama orang sholat terapi saling hujat
Wallohu A'lamu Bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H