Hari lahir Pancasila ini harus menjadi momentum penabur benih kembali rasa nasionalisme dikalangan kaum muda terutama mahasiswa. Betapa tidak? Ditengah himpitan globalisasi ini telah membuat beberapa mahasiswa menjadi buta dalam kehidupan berbangsa. Ini sangatlah ironis, bagaimana dahulu Bung Karno mengikat suku-suku, bahasa-bahasa, adat-istiadat, dan juga segala kearifan lokal dengan rasa kemauan untuk bersatu atas dasar kaum yang terjajah menjadi sebuah bangsa. Jika nasionalisme itu sendiri semakin terkikis ditengah golongan muda, maka istilah bung karno tentang “Berikan aku 10 pemuda maka akan ku guncang dunia” yang sering kita dengung-dengungkan itu tak akan pernah tercapai. 1 Juni ini harus kita jadikan sebagai waktu penemuan kembali revolusi Indonesia (rediscovery our Revolution).
Semua elemen bangsa harus insyaf, kita harus kembali kepada nilai-nilai nasionalisme itu sendiri, nilai-nilai yang tertanam didalam pancasila. Tak akan ada bangsa yang ingin bersatu apabila tidak mencintai bangsa dan negaranya. Mari kita tinggalkan nasionalisme yang usang, nasionalisme yang hanya tumbuh ketika momen pemilu saja, atau nasionalisme yang hanya tumbuh ketika 17 Agustus saja, nasionalisme yang hanya tumbuh jika melihat teatrikal hari pahlawan saja, nasionalisme yang tumbuh ketika menonton film saja.
Ini hanyalah nasionalisme yang usang, nasionalisme ‘ala lipstick yang hanya dipakai saat berhias aja, tidak menusuk hingga urat nadi dan tulang sumsum. Nasionalisme seperti ini hanya akan dapat terkikis dihantam imperialisme model baru, kolonialisme model baru sehingga secara tidak sadar kita telah kembali menjadi bangsa kuli ditengah bangsa-bangsa. Kita dapat melihat bagaimana teknologi dapat menghilangkan budaya “gotong royong”, bagaimana teknologi merusak moral sebuah bangsa, dan inilah yang kita sebut racun neo-kolonialisme dan imperialisme.
Kaum nasionalis khususnya kita, haruslah bersatu menjadi petani penabur benih nasionalisme ditengah-tengah ladang pergaulan sosial kita, ditengah-tengah pergaulan sehari-hari kita. Kepada kita Bung Karno menitipkan roh pancasila, jiwa pancasila, dan adalah tugas kita untuk terus menyuarakannya dimana nasionalisme menjiwai didalamnya.
Bung Karno dan Bangsa
Ernest Renan (1823-1892) mengemukakan bahwa bangsa adalah “le desir d’entre ensemble”yaitu kehendak untuk bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est une ame.Selain itu, une nation est un grand solidarite’,Satu bangsa merupakan suatu kesetiakawanan yang besar. Bung Karno juga mengutip pemikiran Otto Bauer (1881-1938), dimana bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak dimana persatuan karakter dan watak ini tumbuh, lahir ,terjadi karena persatuan pengalaman.
Dari definisi Renan dan Bauer maka Bung Karno berkesimpulan bahwa, “maka tetaplah rasa nasionalistis itu menimbulkan rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri sendiri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadan yang mau mengalahkan kita”. Rasa percaya diri kawan-kawan, rasa percaya diri. Mari kita menilai apakah mahasiswa pada saat ini telah percaya diri? Apakah mahasiswa dapat berkata bangga dengan kearifan lokal yang ada, tidak mengelu-ngelukan kelebihan bangsa asing, kemajuan teknologi bangsa luar dan melupakan keharusan bergiat-giat dalam kemajuan bangsanya?
Selanjutnya Bung Karno memahami bahwa didalam nasionalisme itu terdapat kekuatan, energi, inovasi, inspirasi, kreativitas dan vitalitas yang sangat mencengangkan. Sejarah dunia telah mencatat arti penting utama peran nasionalisme dalam kehidupan manusia. Nasionalisme mampu menghimpun semua kekuatan, ketetapan hati dan tekad yang diperlukan untuk mengubah keseluruhan sistem ekonomi umat manusia dari sistem ekonomi bertani yang membumi menuju sistem teknologi yang lebih dinamis. Dalam kaitan semua itu, nasionalisme sebagai manisfetasi kesadaran nasional sudah pasti memiliki cita-cita luhur bagi kehidupan bangsa.
Bung Karno menyadari bahwa setiap pergerakan terjadi sebagai akibat kesengsaraan rakyat. Perbaikan nasib ini hanya bisa datang seratus persen bila didalam masyarakat tidak ada kapitalisme dan imperialism. Sebab stelselini tumbuh benalu diatas tubuh kita, hidup dan subur daripada kita, hidup dan subur daripada kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, dan zat-zat masyarakat kita. Oleh karena itu, menurut Bung Karno , pergerakan kebangsaan pada hakikatnya adalah suatu pergerakan yang mengubah sama sekali sifatnya masyarakat. ”Suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat hingga ke akar-akarnya.” Suatu pergerakan yang secara total ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme.
Dari dialektika ini, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah obat mujarab yang dapat menghilangkan penyakit-penyakit yang diderita ditengah bangsa ini khususnya kalangan muda. Apatisme, Hedonisme, Pragmatisme, hingga Premanisme dapat digulung habis apabila kaum muda kita menghirup apinya nasionalisme. Ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara masalah-masalah yang sering timbul seperti konflik vertical dan horizontal, korupsi, terorisme, dan ancaman disintegrasi masih terus mengada dan bahkan semakin mengkhawatirkan. Disini juga peran nasionalisme dapat menjadi solusi terhadap masalah-masalah bangsa seperti yang dikemukakan tadi.
Menggali kembali pemikiran Bung Karno barangkali merupakan awal yang baik dalam upaya merajut masa depan bangsa yang lebih berharkat. Roh dan selamat merdeka yang merasuki pemikiran Bung Karno dapat menjadi inspirasi dan suluh yang menerangi jalan kehidupan bangsa Indonesia kedepan secara lebih berkemanusiaan, berkemandirian, berkeadilan dan berkemakmuran sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Mengenal Siapa Lawan dan Siapa Kawan
Di dalam tulisan Bung Karno yang lain, “memang riwayat dunia selamanya menunjukkan pertentangan antara dua golongan. Adanya suatu golongan atas dan adanya satu golongan bawah yang bertentangan satu sama lain, ber-antitese satu sama lain. Dijaman feodal bergolongan ningrat dengan golongan “kawulo”, di zaman kapitalisme golongan kemodalan dengan peroletan, di zaman kolonial golongan si penjajah dan golongan terjajah. Di antitese inilah yang oleh kaum marsis yang disebutkan dialektiknya suatu keadaan,... Buta sekali lagi buta lah siapa saja yang mengungkiri adanya pertentangan ini, tabrakan ini antitese ini yang memang sudah dialektiknya alam.
Tetapi kita yang justru membentuk pergerakan yang memikul natuur dan terpikul natuur harus justru mengambil antitese ini sebagai kita punya azas perjuangan. Kita harus sekelebat mata saja sudah mengerti, bahwa dialektik ini menyuruh kita selamanya ingkar daripada kaum sana itu, tidak bekerja sama dengan kaum sana itu, sebaliknya mengadakan perlawanan zonder damai terhadap kaum sana itu sampai saat pada keunggulan dan kemenangan.”
Didalam tulisan ini kita dapat menyimpulkan meskipun kondisi Indonesia telah merdeka kita harus selalu ber antitese dan harus waspada terhadap siapa kawan siapa lawan. Penjajahan yang terjadi dewasa ini adalah penjajahan yang tidak kasat mata yang kita tidak bisa melihat sistem rodi, sistem blasting, sistem diskriminasi dan sistem penjajah masa lampau. Penjajahan sekarang yaitu penjajahan yang menajajah kita secara ekonomi, sosial dan budaya.
Kita dapat melihat bagaimana ekonomi kita tidak dapat berdiri diatas kaki sendiri, sistem sosial kita yang berantakan karena kurangnya rasa cinta tanah air dan kebudayaan kita yang semakin terkikis akibat masuknya kebudayaan asing sehingga kebudayaan kita tidak bisa dijadikan kebudayaan nasional. Secara tidak sadar, bangsa-bangsa imprealis modern menghisap kita, menghilangkan jati diri kita, dan menghilangkan semangat kita sehingga kita masih menjadi bangsa kuli diantara bangsa-bangsa. Mahasiswa harus cepat kembali menjadi motor penggerak, pembaharuan dan kemajuan bangsa ini, kembali berfokus kepada cita-cita trisakti yang merupakan pengejawantahan dari pancasila itu sendiri.
Suharto dan Sarwo Edhie, hakikat pahlawan nasional?
Di akhir tulisan ini saya ingin kita semua kembali melihat isu-isu yang ada ditengah masyarakat. Penganugrahan pahlawan nasional kepada dua tokoh kontroversial didalam sejarah adalah bukti bahwa nasionalisme bangsa ini semakin hilang sehingga bangsa ini dapat begitu saja melupakan sebuah fakta sejarah.
Kita harus membahas secara holistik tidak parsial. Sebuah anomali presiden dilarang meminta maaf atas nama negara untuk korban ’66, namun dalangnya diminta menjadi pahlawan nasional. Ini akan memberi justifikasi secara tidak langsung bagaimana negara memandang sebuah keadilan. Neraca yang digunakan haruslah neraca keadilan karena objektifitas dan fakta sejarah, bukan karena simpatik golongan,ikatan, himpunan, dan perkumpulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H