Mengenal Siapa Lawan dan Siapa Kawan
Di dalam tulisan Bung Karno yang lain, “memang riwayat dunia selamanya menunjukkan pertentangan antara dua golongan. Adanya suatu golongan atas dan adanya satu golongan bawah yang bertentangan satu sama lain, ber-antitese satu sama lain. Dijaman feodal bergolongan ningrat dengan golongan “kawulo”, di zaman kapitalisme golongan kemodalan dengan peroletan, di zaman kolonial golongan si penjajah dan golongan terjajah. Di antitese inilah yang oleh kaum marsis yang disebutkan dialektiknya suatu keadaan,... Buta sekali lagi buta lah siapa saja yang mengungkiri adanya pertentangan ini, tabrakan ini antitese ini yang memang sudah dialektiknya alam.
Tetapi kita yang justru membentuk pergerakan yang memikul natuur dan terpikul natuur harus justru mengambil antitese ini sebagai kita punya azas perjuangan. Kita harus sekelebat mata saja sudah mengerti, bahwa dialektik ini menyuruh kita selamanya ingkar daripada kaum sana itu, tidak bekerja sama dengan kaum sana itu, sebaliknya mengadakan perlawanan zonder damai terhadap kaum sana itu sampai saat pada keunggulan dan kemenangan.”
Didalam tulisan ini kita dapat menyimpulkan meskipun kondisi Indonesia telah merdeka kita harus selalu ber antitese dan harus waspada terhadap siapa kawan siapa lawan. Penjajahan yang terjadi dewasa ini adalah penjajahan yang tidak kasat mata yang kita tidak bisa melihat sistem rodi, sistem blasting, sistem diskriminasi dan sistem penjajah masa lampau. Penjajahan sekarang yaitu penjajahan yang menajajah kita secara ekonomi, sosial dan budaya.
Kita dapat melihat bagaimana ekonomi kita tidak dapat berdiri diatas kaki sendiri, sistem sosial kita yang berantakan karena kurangnya rasa cinta tanah air dan kebudayaan kita yang semakin terkikis akibat masuknya kebudayaan asing sehingga kebudayaan kita tidak bisa dijadikan kebudayaan nasional. Secara tidak sadar, bangsa-bangsa imprealis modern menghisap kita, menghilangkan jati diri kita, dan menghilangkan semangat kita sehingga kita masih menjadi bangsa kuli diantara bangsa-bangsa. Mahasiswa harus cepat kembali menjadi motor penggerak, pembaharuan dan kemajuan bangsa ini, kembali berfokus kepada cita-cita trisakti yang merupakan pengejawantahan dari pancasila itu sendiri.
Suharto dan Sarwo Edhie, hakikat pahlawan nasional?
Di akhir tulisan ini saya ingin kita semua kembali melihat isu-isu yang ada ditengah masyarakat. Penganugrahan pahlawan nasional kepada dua tokoh kontroversial didalam sejarah adalah bukti bahwa nasionalisme bangsa ini semakin hilang sehingga bangsa ini dapat begitu saja melupakan sebuah fakta sejarah.
Kita harus membahas secara holistik tidak parsial. Sebuah anomali presiden dilarang meminta maaf atas nama negara untuk korban ’66, namun dalangnya diminta menjadi pahlawan nasional. Ini akan memberi justifikasi secara tidak langsung bagaimana negara memandang sebuah keadilan. Neraca yang digunakan haruslah neraca keadilan karena objektifitas dan fakta sejarah, bukan karena simpatik golongan,ikatan, himpunan, dan perkumpulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H