Tuan, mengapa kau masih juga lekati matanya? Bukankah ia belum tentu bagian dari rusukmu? Bukankah ada aku yang mengejakan abjad cinta untuk kutelan bersamamu? Tapi kau malah meracuniku dengan luka.
Tuan, apa masih juga kaucari separuhmu? Bagaimana bisa dengan mudah kau menunjuknya menjadi bagianmu. Kau bermain-main dengan sesuatu yang sakral. Kau anggap apa cinta perempuan?
Tuan, selagi aku masih bisa memaafkanmu ... berhentilah merayu. Putar langkah menuju rumahmu. Siapa tahu Tuhan telah mengantar jodoh sampai ke gagang pintu. Tapi kau justru menguncinya bersama seseorang yang entah siapa.
Tuan, siapa dia? Andai aku bisa meraba wajahmu, kan kucambuk kau dengan hujat berkali lipat. Sebab tak bisa sabar menungguku.
Tuan, bisa kaujelaskan seperti apa rasanya menggandeng jemari yang belum menjadi hakmu? Apa bisa kaujelaskan, perempuan lancang, bagaimana rasanya dipeluk lengan yang mungkin saja jodohku? Lalu bisa kalian pertanggungjawabkan padaku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H